Orang Indonesia Kurang Terlatih Menggunakan Otaknya

 
Orang Indonesia Kurang Terlatih Menggunakan Otaknya

LADUNI.ID, Jakarta - Di kantor saya, MACS909, ada seorang temen namanya Adhi Djimar (Sekarang udah almarhum). Dia sering bercerita tentang pengalamannya dulu sewaktu kuliah di New York. Ada satu kisahnya yang sangat menarik. Waktu itu Adhi sedang mengikuti mata kuliah Business Development. Adhi berkisah bagaimana selama 1 semester itu dosennya mengajar dengan cara yang unik.

Hari pertama, semua mahasiswa dalam kelas ditanya bisnis apa yang akan mereka bangun. Jawaban ditulis di kertas lalu kertas tersebut dikumpulkan di meja dosen. Adhi menulis bahwa dia akan membangun sebuah cafe. Hahahaha... Adhi itu satu spesies sama saya. Dulu kami doyan banget hang out di kafe.

"Okay, selama 1 semester ini kalian harus membuat proposal bisnis ke investor. Jadi silakan susuri kota New York untuk merealisasi business plan kalian," kata Sang Dosen.

"Ke investor? Yang nyari investornya siapa?" tanya seorang mahasiswa.

"Saya yang akan bawa investornya," jawab Pak Dosen.

"Jadi tiap kuliah kita akan diskusi rame-rame ngebahas proposal masing-masing?" tanya yang lain.

"Kita gak ada jadwal kuliah lagi. Jadi siapa yang mau menyampaikan progress report bisnisnya, silakan telepon saya. Kita akan bikin janji bertemu. Kalian akan saya hadapi satu persatu."

"Gak ada kuliah di kelas sama sekali?" tanya Adhi keheranan.

"Gak ada. Kuliahnya berlangsung one on one. Kita bisa ketemu di resto, kafe atau di perpustakaan."

Minggu depannya, setelah blusukan di kota Big Apple untuk mencari lokasi, Adhi menelpon Sang Dosen dan bikin janji untuk mempresentasikan progress reportnya.

"Kamu mau buat kafe di distrik ini?" tanya Sang Dosen sambil menunjuk peta yg digelar Adhi di meja.

"Betul, Pak."

"Pertanyaan saya. Ada berapa kafe di sana? Apakah ada pengkategorian dari kafe-kafe tersebut? Kafe yang terdapat dalam 1 kategori punya diferensiasi apa dibanding yang lain?"

Adhi yang tidak siap mendengar pertanyaan dosennya langsung gagap. Dia minta waktu untuk untuk menjawab pertanyaan itu di pertemuan berikutnya. Sang dosen mengangguk tanda setuju.

"Jadi kapan kita bisa ketemu lagi, pak?" tanya Adhi.

"Kamu gak usah tanya kapan waktunya. Silakan atur waktu sendiri. Pokoknya setiap kamu merasa ada progress yang pantas dilaporkan, silakan telpon saya."

Di pertemuan kedua, Adhi sudah siap dengan jawaban dan dengan PD langsung mempresentasikannya pada Sang Dosen.

"OK, jadi kamu punya 20 kompetitor. Nah, berapa sewa lokasi yang harus kamu keluarkan? Datanya harus tepat. Tidak boleh berdasarkan perkiraan."

"OK, nanti saya cari datanya."

"Hitung juga berapa biaya untuk design interiornya. Perhitungannya harus akurat dari interior designer beneran."

Di pertemuan ketiga, Sang Dosen mempertanyakan soal target audience. "Target yang akan kamu tuju apakah konsumen baru atau merebut pasar kompetitor?"

"Mencari konsumen baru..." jawab Adhi ragu-ragu.

"Mereka itu siapa? Kenapa selama ini mereka gak pernah nongkrong di kafe? Lalu apa strategi kamu supaya orang-orang tersebut akhirnya mau pergi ke kafe dan memilih kafe kamu?"

Adhi makin bingung, "Eeee...mungkin saya akan merebut konsumen kafe lain juga. Jadi saya punya dua target sasaran."

"Konsumen biasanya sangat loyal pada tempat nongkrongnya. Mereka sulit diajak berpindah tempat. Strategi apa yang membuat kamu berharap mereka akan eksodus ke kafe kamu."

"Harga bir di kafe saya jauh lebih murah..." jawab Adhi sekenanya.

"Berapa harga bir di tempat lain?"

"Belum saya cek."

"Silakan dicek harga bir di 20 kafe kompetitor kamu. Apakah semua harganya sama. Supaya datanya akurat, kamu bisa memotret harga-harga tersebut di buku menu yang terdapat di sana."

"Ok, Pak."

"Kalo harganya beda, coba cek kenapa bisa beda. Pilih yang paling murah lalu hitung, kafe kamu bisa ngasih lebih murah sampe berapa persen. Perhitungannya harus akurat dari orang finance beneran. Karena berbisnis gak boleh rugi."

Pertemuan berikutnya, Adhi kembali dicecar pertanyaan. "Apakah kamu menyediakan entertainment? Kalo iya, berapa biaya yang harus kamu keluarkan untuk itu. Seberapa signifikan entertainment itu mempengaruhi jumlah pengunjung?"

Pertemuan selanjutnya, "Kamu mau bikin dapur gak? Apa pengunjung cuma dikasih snack-snack aja? Kalo pake dapur berapa investasi yang harus dikeluarkan?"

Karena capek harus bolak-balik melulu, Adhi nanya, "Bisa gak semua pertanyaan Bapak disampaikan sekarang sekaligus? Supaya kerja saya lebih efisien..."

"Gak bisa. Saya tidak pernah menyiapkan pertanyaan apapun. Pertanyaan saya spontan berdasarkan progress report yang kamu sampaikan."

"Okay kalo begitu. Saya sempurnakan lagi proposalnya." Kata Adhi dengan hati gundah. Sudah berbulan-bulan dia mengerjakan proposal tersebut tapi dosen ini gak pernah puas. Selalu saja dia menemukan suatu kesalahan yang gak terpikirkan oleh Adhi.

"Kalo datanya sudah lengkap, coba kamu ulik lagi strategi bisnis kamu berdasarkan data yang baru."

"Baik, Pak."

"Yang paling penting, kamu harus bikin estimasi berapa lama bisa mencapai Break Even Point. Makin singkat waktunya, investor makin tertarik."

"Siap, Pak."

"Jika proposal kamu sudah selesai dan saya anggap layak present, saya akan bawa investor untuk penilaian akhir proposal kamu." sahut Si Dosen menepuk-nepuk pundak Adhi lalu meninggalkannya sendiri di resto kecil tempat diskusi mereka.

Waktu berlari begitu kencang dan tau-tau Adhi sudah berada di ujung semester. Akhirnya hari yang mendebarkan itu tiba. Di sebuah resto, Adhi mempresentasikan proposal bisnisnya. Semua sudah dilengkapi dengan detil sampai ke angka-angkanya pun sudah aktual.

Sesuai janji, hari itu Sang Dosen mengajak investor untuk ikut menilai tugas Adhi. Selesai presentasi, ketiganya terdiam. Adhi menunggu masukan dari Sang Dosen sementara Si Dosen menunggu komentar Sang Investor.

Setelah menghela napas panjang, Si Investor berkata, "Bisnis Kafe di New York sudah red ocean. Selama 5 tahun belakangan ini, saya tidak pernah melihat ada kafe baru yg sukses."

Adhi mulai putus asa. Sementara Sang dosen masih terdiam sampai si investor melanjutkan omongannya.

"Kecuali kalo kamu punya sesuatu yang breakthrough, mungkin saya akan pertimbangkan. Tapi saya gak menemukan sesuatu yang baru. Dari segi bisnis, proposal ini terlalu basic. Saya tidak tertarik sama sekali. Sorry."

Hancurlah perasaan Adhi. Dengan langkah lunglai, dia pun pulang ke apartemennya. Hampir setengah tahun dia menghabiskan waktu mengubek-ubek kota New York demi membuat proposal bisnis yang keren. Dan tragisnya, jerih payah itu berakhir cuma dengan kalimat, "Proposal kamu terlalu basic. Saya tidak tertarik. Sorry."

Tapi Tuhan itu memang maha humor. Di papan pengumuman ternyata nama Adhi tercantum sebagai mahasiswa yang lulus. Bukan cuma lulus tapi lulus dengan nilai A. Yeay! Saking senengnya, Adhi langsung menelpon dosennya dan menanyakan alasannya kenapa dia bisa lulus.

"Kok pake ditanya segala? Alasannya pasti karena proposal bisnis kamu keren. Yang kamu lakukan selama 1 semester ini adalah beneran yang ada di dunia nyata." Terdengar jawaban dosen di ujung telepon.

"Tapi investor itu menolak proposal saya?" tanya Adhi masih bingung.

"Semua investor pasti akan menolak proposal kamu. Tapi itu bukan berarti proposal kamu jelek, kan?"

Adhi masih belum mengeluarkan suara sampai terdengar lagi suara dari seberang sana.

"OK, congratz Adhi. Go somewhere and celebrate. Bye!" kata Pak Dosen menutup teleponnya.

Saya terkagum-kagum mendengar cerita Adhi. Selama jadi mahasiswa, saya selalu kuliah beramai-ramai. Dan biasanya kami sering memilih tempat duduk paling belakang biar gak ditemukan dan ditanya-tanya sama guru.

Yang terjadi pada Adhi adalah sebaliknya. Dia yang harus mencari dosennya. Dia harus berhadapan sendiri di depan dosen tanpa teman. Bahkan Adhi jugalah yang harus menentukan sendiri jadwal kuliahnya.

Tapi yang paling saya suka dari cerita Adhi adalah cara dosennya mengajar. Metode yang digunakannya sangat membuat mahasiswanya BERPIKIR. Membuat mahasiswanya terlatih untuk senantiasa menggunakan otaknya. Keren ya?