Penjelasan Lengkap tentang Tawassul Beserta Dalil, Hukum, dan Macam-Macamnya

 
Penjelasan Lengkap tentang Tawassul Beserta Dalil, Hukum, dan Macam-Macamnya

DAFTAR ISI

  1. Makna Tawassul
  2. Hukum Tawassul
  3. Dalil-Dalil Tawassul
  4. Macam-Macam Tawassul
  5. Kesimpulan

 

MAKNA TAWASSUL

LADUNI.ID,  Jakarta - Arti Tawassul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah SWT.  Wasilah yang digunakan bisa berupa nama dan sifat Allah SWT, amal shaleh yang kita lakukan, dzat serta kedudukan para nabi dan orang shaleh, atau bisa juga dengan meminta doa kepada hamba-Nya yang sholeh. Allah SWT berfirman:

وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَة

Artinya : Dan carilah jalan yang mendekatkan diri (Wasilah) kepada-Nya. (Al-Maidah:35).

Menurut Jumhur Ahlus Sunnah Wal-Jamaah, tawassul dengan segala ragamnya adalah perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan. Kebolehan tawassul dengan nama dan sifat Allah SWT, amal shaleh dan meminta doa dari orang sholeh telah disepakati, bahkan oleh kelompok yang keras sikapnya terhadap tawassul ini, sehingga perlu kami paparkan dalil-dalilnya panjang lebar. Arti Tawassul dan Hukum Tawassul.
 

HUKUM TAWASSUL

Bertawassul dengan Nabi dan orang-orang shaleh kerap menjadi permasalahan. Contoh sederhana tawassul jenis ini adalah ketika seseorang mengharapkan ampunan Allah SWT. Misalnya ia berdoa, “ Ya Allah, aku memohon ampunanmu dengan perantara Nabi-Mu atau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.” Terlihat jelas dalam bertawassul, nabi atau orang sholeh hanyalah perantara, sedangkan yang dituju dengan do’a hanyalah Allah SWT semata. Dengan tawassul, ia tidak menjadikan Nabi dan orang shaleh tersebut sebagai tuhan yang disembah.

Namun kenyataan sederhana ini tidak bisa dipahami oleh sebagian orang yang mengaku mengikuti sunnah namun kenyataannya adalah jauh dari sunnah. Mereka menganggap tawassul jenis ini adalah bentuk menyekutukan Allah SWT. Seorang Syaikh Wahabi Abu Bakar Al-Jaziri berkata mengenai Tawassul: “Sesungguhnya berdoa kepada orang-orang shaleh, Istighosah (meminta tolong) kepada mereka dan tawassul dengan kedudukan mereka tidak terdapat didalam agama Allah ta’ala, baik berupa ibadah maupun amal shaleh sehingga tidak boleh bertawassul dengannya selama-lamanya. Bahkan itu adalah bentuk menyekutukan Allah SWT di dalam beribadah kepada-Nya, hukumnya haram dan dapat mengeluarkan pelakunya dari agama Islam serta mengakibatkan kekekalan baginya di neraka Jahannam.”(Aqidatul Mu’min, hal 144). Fatwa ini sangat tendensius dan tidak berbobot ilmiah.
 

DALIL-DALIL TAWASSUL

1. Dalil Pertama Mengenai Hukum Tawassul

Kebolehan bertawassul dengan nabi adalah hadits shahih tentang Syafaat yang diriwayatkan oleh para hufadz dan ahli hadits. Pada hari kiamat, ketika manusia dikumpulkan di padang Mahsyar, mereka mengalami kepayahan yang sangat. Mereka bertawassul dengan mendatangi para nabi untuk meminta pertolongan supaya Allah SWT mengistirahatkan mereka dari penantian yang panjang.

2. Dalil kedua tentang Hukum Tawassul

Kebolehan bertawassul dengan nabi adalah hadits dari sahabat Utsman bin Hunaif yang diriwayatkan oleh Imam Turmudzi, an-nasai, ath-Thabrani, al-Hakim dan Baihaqi dengan sanad yang shahih. Diriwayatkan dari Utsman bin hunaif bahwa seorang lelaki buta datang kepada Nabi SAW Memohon kepada Rasulullah SAW berdoa untuk kesembuhannya. Rasulullah SAW bersabda: “Jika engkau ingin, aku akan doakan. Namun jika engkau bersabar maka itu lebih baik.”Lelaki itu tetap berkata, “Doakanlah.”Nabi SAW lalu memerintahkan kepadanya untuk berwudhu dengan sempurna, shalat dua rakaat dan berdoa dengan doa berikut: “Ya Allah, aku memohon dan menghadap kepada-Mu dengan (perantara) Nabi-Mu Muhammad, nabi yang rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Tuhanku denganmu agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, izinkanlah ia memberikan syafaatnya kepadaku…” kemudian lelaki itu bisa melihat.

Hukum Tawassul di dalam hadits riwayat Thabrani dan Baihaqi terdapat tambahan bahwa shabat Utsman bin Hunaif di kemudian hari mengajarkan doa tersebut kepada seorang lelaki agar hajatnya terpenuhi setelah wafatnya Rasulullah SAW. Tambahan hadits ini dishahihkan oleh ath Thabrani. Al-Haitsami dalam Majma Zawaid menetapkan pendapat ath Thabrani mengenai keshahihannya. Dalam hadits tersebut dijelaskan bahwa lelaki buta meminta doa kepada Nabi SAW, namun Nabi tidak mendoakannya melainkan mengajarkan doa yang berisi bertawassul dengan nabi saw. Ini menunjukkan bertawassul dengan nabi saw. boleh.

Seandainya tawassul ini syirik maka tidak mungkin Nabi SAW mengajarkannya kepada orang buta tersebut. Para pengingkar tawassul akan berusaha memalingkan makna hadits tersebut dengan takwil yang jauh dari makna dzohirnya. Mereka yang mengatakan yang dimaksud orang buta tersebut bukan bertawassul dengan nabi saw melainkan bertawassul dengan meminta doa Nabi saw. Perkiraan ini keliru sebab hadits tersebut tidak menjelaskan bahwa Nabi saw. berdoa. Bahkan yang disebutkan adalah bahwa Nabi saw. meminta orang buta itu berdoa dengan menyebut nama beliau dalam doanya sebagai perantara. Jika itu adalah bentuk tawassul dengan doa, pasti Nabi saw. tidak perlu repot-repot mengajarkan doa yang panjang itu. Beliau hanya perlu menengadahkan tangan dan berdoa.

3. Dalil lain mengenai Hukum Tawassul

Kebolehan bertawassul dengandzat adalah hadits yang disebutkan dalam shahih Bukhari bahwa sayidina Umar ra meminta hujan pada masa kekeringan dengan sayidina Abbas, paman Nabi saw. seraya berkata:“Ya Allah, sesungguhnya kami dahulu bertawassul kepada-Mu dengan Nabi-Mu SAW, dan sesungguhnya kami sekarang bertawassul kepadamu dengan paman Nabi kami.” Maka hujanpun turun.Para ulama menyebutkan bahwa tawassul sayidina Umar ini bukan dalil tidak bolehnya bertawassul dengan nabi saw setelah wafatnya, sebab telah berlalu dalil mengenai tawassul para sahabat dengan Nabi saw setelah wafat. Ini adalah dalil mengenai kebolehan bertawassul dengan hamba yang sholeh selain nabi. Hadits ini juga menunjukkan bahwa tawassul tidak harus dilakukan dengan hamba yang paling utama. Shabat Ali bin Abi Thalib lebih utama dari sahabat Abbas, tapi justru sahabat Abbas yang dijadikan wasilah. Tawassul dengan sahabat Abbas pada hakikatnya juga tawassul dengan Rasulullah SAW. Kalau bukan karena dia adalah kerabat dengan posisinya dengan Rasulullah saw., maka tidaklah beliau dijadikan tawassul. Berarti ini adalah bentuk bertawassul dengan nabi juga.

Imam as-Subki dan Ibnu Taimiyah Tentang Hukum Tawassul

Pendapat mengenai hukum Tawassul – Kebolehan bertawassul dengan Nabi diperkuat dengan kesepakatan para ulama salaf dan kholaf. Imam as-Subki mengatakan: “Bertawassul, meminta pertolongan dan meminta syafaat dengan perantara Nabi kepada Allah adalah baik. Tidak ada seorangpun dari kaum salaf dan kholaf yang mengingkari hal ini sampai datang Ibnu Taimiyah. Ia mengingkari hal ini dan melenceng dari jalur yang lurus, memunculkan ide baru yang tidak pernah dikatakan oleh ulama sebelumnya sehingga terjadilah keretakan dalam islam.”

Dalam ucapannya, Imam as-Subki menegaskan bahwa kebolehan bertawassul dengan Nabi disepakati sampai datang Ibnu Taimiyah. Namun faktanya, Ibnu Taimiyah sendiri sebenarnya tidak mengingkari kebolehan bertawassul kepada Nabi. Yang beliau ingkari adalah istighosah (meminta pertolongan) kepada Nabi SAW, bukan Tawassul.

Ibnu Katsir salah satu murid Ibnu Taimiyah menceritakan mengenai tuduhan yang ditujukan kepada Ibnu Taimiyah: “Kemudian Ibnu Atho’ menuduhnya (Ibnu Tiaimyah) dengan banyak tuduhan yang tidak bisa dibuktikan satu pun. Beliau (Ibnu Taimiyah) berkata, “Tidak boleh beristighosah selain kepada Allah, tidak boleh beristighosah kepada Nabi dengan istighosah yang bermakna ibadah. Namun boleh bertawassul dan meminta syafaat dengan perantara Beliau (Nabi SAW) kepada Allah.” Maka sebagian orang menyaksikan menyatakan, ia tidak memiliki kesalahan dalam masalah ini.” (Bidayah Wa Nihayah juz 14 hal 51).

Jadi tampak jelas bahwa (Hukum Tawassul) bertawassul dengan Nabi sama sekali tidak diingkari oleh Ibnu Taimiyah, sedangkan tuduhan yang dialamatkan kepada beliau itu keliru. Bahkan fatwanya, Ibnu Taimiyah menegaskan bahwa hukum tawassul dengan Nabi disyariatkan dalam berdoa. Beliau mengatakan:“Termasuk ke dalam hal yang disyariatkan adalah bertawassul dengannya ( Nabi SAW ) di dalam doa sebagaimana terdapat di dalam hadits yang diriwayatkan at-Turmudzi dan dishahihkan olehnya bahwa Nabi SAW mengajarkan seorang untuk berdoa, “Wahai Allah, sesungguhnya aku bertawassul kepada-Mu dengan perantara Nabi-Mu Muhammad, Nabi yang rahmat. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku bertawassul dengan perantaramu kepada Tuhanku agar Dia menunaikan hajatku itu. Wahai Allah, jadikan ia orang yang memberi syafaat kepadaku.”Tawassul yang seperti ini adalah perbuatan yang baik. Sedangkan berdoa dan beristighosah kepadanya ( Nabi SAW ), maka itu merupakan perbuatan yang haram.

Perbedaan di antara keduanya telah disepakati dikalangan umat muslim. Orang yang bertawassul sebenarnya hanya berdoa kepada Allah, menyeru kepada-Nya dan memohon pada-Nya. Ia tidak berdoa selain pada-Nya. Ia hanya menghadirkannya ( Nabi SAW ). Adapun orang yang berdoa dan meminta tolong, maka berarti ia memohon kepada yang ia seru dan meminta darinya, serta meminta tolong dan bertawakal kepadanya, sedangkan Allah merupakan Tuhan semesta alam. (Majmu Fatwa juz 3 hal 276). Berdoa dan beristighosah yang dilarang Ibnu Taimiyah seperti sudah dijelaskan adalah dengan makna beribadah. Semua ulama bersepakat bahwa beribadah kepada Nabi Muhammad SAW adalah Syirik, berbeda dengan beribadah kepada Allah dengan melalui Nabi Muhammad yang malah disyariatkan.

Muhammad bin Abdul Wahab Tentang Hukum Tawassul

Berbeda dengan pengikutnya mengenai hukum tawassul yang menghukumi syirik kepada orang yang bertawassul dengan Nabi SAW dan orang Sholeh, ternyata pendiri Wahabi Muhammad bin Abdul Wahab manganggap masalah tentang hukum tawassul adalah masalah ijtihadiyah yang tidak perlu diperselisihkan.

Dalam kumpulan tulisannya, disebutkan bahwa beliau pernah berfatwa: “Mengenai adanya sebagian ulama yang memperbolehkan untuk bertawassul dengan orang-orang sholeh dan sebagian lain yang hanya mengkhususkan kebolehan itu dengan Nabi SAW saja, maka mayoritas ulama melarangnya dan tidak menyukainya. Ini merupakan satu masalah fiqih walaupun pendapat yang benar menurut kami adalah pendapat jumhur yang menyatakan bahwa bertawassul adalah makruh. Namun kami tidak mengingkari orang yang melakukannya karena tidak ada ingkar atas permasalahan-permasalahan ijtihadiyah. Namun pengingkaran kami hanya ditujukan bagi orang yang berdoa kepada makhluk dengan lebih mengagungkannnya daripada kita menyeru kepada Allah”.(Majmu Mualafat Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab juz 2, hal 41 cetakan Darul Qasim)

Pernyataan beliau keliru dalam hal bahwa jumhur ulama tidak menyukai tawassul dengan Nabi SAW dan orang sholeh, sebab kenyataannya justru para ulama sepakat menganggap hal itu baik. Namun sikap beliau tentang tawassul jelas itu adalah masalah ijtihadiyah. Muhammad bin Abdul Wahab tidak mengingkari tawassul. Yang beliau ingkari adalah jika seorang mengagungkan orang sholeh lebih daripada pengagungannya kepada Allah SWT. Tidak ada seorang muslim pun yang bertawassul dengan menganggap wasilahnya lebih agung dari Allah SWT.

Jika Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahab tidak pernah mengingkari bertawassul dengan Nabi maupun orang Shaleh, dari mana kaum Wahabi mendapat ajaran yang menganggap syirik orang yang bertawassul?
 

MACAM-MACAM TAWASSUL

KH Wazir Ali, Wakil Rais Syuriyah Pengurus Cabang Nahdlatul Ulama (PCNU) Jombang menyampaikan bahwa kunci kebahagiaan hidup di dunia ada empat, salah satunya adalah tawasul. Hal ini disampaikan KH Wazir Ali, dalam kegiatan Lailatul Ijtima’ PCNU Jombang di MWCNU Tembelang, pada tahun 2016. Dalam hal ini Kiai Wazir menyampaikan definisi dan macam-macam tawasul.

Mengacu pada surat al Maidah ayat 35:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَابْتَغُوا إِلَيْهِ الْوَسِيلَةَ وَجَاهِدُوا فِي سَبِيلِهِ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ

"Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya (wasilah) dan berjihadlah pada jalan-Nya supaya kalian mendapat keberuntungan".

Kiai Wazir dengan merujuk pada beberapa kitab tafsir mengatakan, "Ada yang mengartikan wasilah itu surga, ada yang mengartikan amalan-amalan yang bisa mendekatkan diri kepada Allah SWT, dan ada yang mengartikan, seseorang bisa menjadi perantara, karena orang tersebut alim dan dekat kepada Allah SWT, misalnya seorang wali.”

Lebih lanjut, Kiai Wazir menerangkan tentang macam-macam tawassul sebagai berikut.

1. Tawassul bi asmaillah (tawassul dengan nama Allah)

Tawassul ini adalah tawasul yang paling tinggi. Misalnya dengan perkataan a‘ûdzu biqudratillah, a‘udzu bi izzatillah dan yang lainnya. Seperti tawasul kepada Allah agar disembuhkan dari sakit. Tawassul ini juga bisa dilakukan dengan menyebut asmaul khusna, secara lengkap atau sebagian. Atau dengan ismul a'dham. Ismul a'dham, menurutnya merupakan password berdoa. Ismul a'dham ini disamarkan, tetapi bisa dipelajari, misalnya dalam kitab Imam Nawawi, Fatawa Nawawi, disebutkan tentang ismul a'dham.

2. Tawasul bi a'mal shalihat (tawassul dengan amal yang baik)

Kiai Wazir menjelaskan, dalam kitab Riyadus Shalihin dikisahkan, ada 3 orang sahabat, yang dalam perjalanan mereka menemukan gua. Karena penasaran, ketiganya memasuki gua tersebut. Saat sudah masuk, tiba-tiba ada angin kencang, yang merobohkan batu besar sehingga menutupi gua. Mereka mengalami kesulitan, seminggu tidak makan, dan memanggil-manggil orang tidak ada yang dengar, lalu ketiganya muhasabah. Seorang dari mereka berdoa dan bertawassul dengan perbuatan birrul walidain (berbuat baik kepada orang tua). Akhirnya batu terdorong angin besar, dan ada sinar matahari. Kemudian yang lain berdoa dengan amal unggulannya, akhirnya batu tergeser sedikit demi sedikit.

3. Tawassul bis shalihin (tawassul dengan orang-orang shalih)

Tawasul kepada orang-orang shalih, baik masih hidup atau sudah meninggal. Apa bisa tawasul kepada yang masih hidup. Diceritakan dalam hadits shahih, ada salah satu sahabat buta, yang ingin bisa melihat, kemudian ia tawassul Allahumma inni as'aluka wa atawajjahu bi nabiyyika fi hajati hadzihi... (Ya Allah saya meminta dan menghadapmu dengan wasilah kepada Nabi dalam memenuhi kebutuhan saya ini...). Akhirnya sahabat tersebut bisa melihat.

“Tawasul kepada orang yang sudah meninggal, yang ditawassuli Nabi SAW. Para nabi itu masih hidup di kuburannya, apa yg dilakukan? Para Nabi melakukan shalat. Bahkan orang yang memiliki kelebihan (khos) bisa kontak dan belajar kepada mereka.

Bahkan, tamah Kiai Wazir, Nabi Adam AS juga pernah tawassul kepada Nabi Mahammad SAW, padahal Nabi Muhammad belum lahir. “Ketika Nabi Adam AS melakukan kesalahan, beliau berdoa ya rabbi as'aluka bihaqqi muhammdin. Ini juga dari Hadits Shahih. Selanjutnya, Imam Syafii pernah mengatakan: ‘Saya punya masalah berat, saya tawasul dan ambil berkah kepada guru saya, yaitu Abu Hanifah. Saya datang ke makam beliau setiap malam sepanjang masalah berat masih menimpa saya, dan sebelum datang makam, saya shalat dulu 2 rakaat’,” paparnya.

4. Tawassul bi dzat (tawassul dengan dzat)

Cara melakukan tawassul macam ini, misalnya bi jahi (dengan kedudukan), bi hurmati (dengan kemuliaan), bi karamati (dengan kemurahan). Shalawat Nariyah merupakan tawassul bi dzat.  Tawassul yang keempat ini diperselisihkan oleh para ulama'.

"Menurut sebagian besar ulama, tawassul dengan empat macam di atas tidak masalah, tetapi menurut Ibn Taimiyah, semua tawassul bisa diterima secara syariat kecuali tawassul bi dzat," ulas Kiai Wazir.
 

KESIMPULAN

Tawassul adalah mendekatkan diri atau memohon kepada Allah SWT dengan melalui wasilah (perantara) yang memiliki kedudukan baik di sisi Allah SWT. Menurut Jumhur Ahlus Sunnah Wal-Jamaah, tawassul dengan segala ragamnya adalah perbuatan yang dibolehkan atau dianjurkan.

Kebolehan tawassul dengan nama dan sifat Allah SWT, amal shaleh dan meminta doa dari orang sholeh telah disepakati, bahkan oleh kelompok yang keras sikapnya terhadap tawassul ini, sehingga perlu kami paparkan dalil-dalilnya panjang lebar.

Bertawassul dengan Nabi dan orang-orang shaleh kerap menjadi permasalahan. Contoh sederhana tawassul jenis ini adalah ketika seseorang mengharapkan ampunan Allah SWT. Misalnya ia berdoa, “ Ya Allah, aku memohon ampunanmu dengan perantara Nabi-Mu atau Syaikh Abdul Qadir al-Jailani.”

Terlihat jelas dalam bertawassul, nabi atau orang sholeh hanyalah perantara, sedangkan yang dituju dengan do’a hanyalah Allah SWT semata. Dengan tawassul, ia tidak menjadikan Nabi dan orang shaleh tersebut sebagai tuhan yang disembah.

Semoga bermanfaat.


*) Naskah ini telah terbit di Laduni.id pada tanggal 26 Maret 2019 dan diperbarui kembali dengan banyak penambahan agar lebih lengkap. Semoga bermanfaat.