Perbedaan Antara Ada', Qadha, dan I'adah dalam Shalat

 
Perbedaan Antara Ada', Qadha, dan I'adah dalam Shalat
Sumber Gambar: Foto Farrukhjon Tojidinov / Pexels (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Shalat merupakan perintah Allah SWT dan rukun Islam yang menjadi kewajiban bagi umat Islam. Pelaksanaan shalat secara syariat sudah diatur sangat rinci dalam Islam termasuk dalam prihal penentuan waktu pelaksanaannya. Dalam hal penentuan waktu tersebut Allah SWT berfirman dalam surat An-Nisa ayat 103:

فَاِذَا قَضَيْتُمُ الصَّلٰوةَ فَاذْكُرُوا اللّٰهَ قِيَامًا وَّقُعُوْدًا وَّعَلٰى جُنُوْبِكُمْ ۚ فَاِذَا اطْمَأْنَنْتُمْ فَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ ۚ اِنَّ الصَّلٰوةَ كَانَتْ عَلَى الْمُؤْمِنِيْنَ كِتٰبًا مَّوْقُوْتًا

"Maka apabila kamu telah menyelesaikan shalat(mu), ingatlah Allah di waktu berdiri, di waktu duduk dan di waktu berbaring. Kemudian apabila kamu telah merasa aman, maka dirikanlah shalat itu (sebagaimana biasa). Sesungguhnya shalat itu adalah fardhu yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman"

Namun karena satu dan lain hal, kita kadang melaksanakan shalat tidak sesuai dengan alokasi waktu yang telah ditentukan oleh syariat Islam. Sehingga dari kondisi tersebut lahirlah istilah yang dikenal dengan Ada', Qadha, dan I'adah.

Baca Juga: Hukum Shalat Tanpa Mengetahui Posisi Arah Kiblat

Ada' dalam pengertiannya adalah ketika kita melaksanakan shalat tepat pada batas waktu yang sudah ditentukan. Terdapat perbedaan pendapat tentang batas waktu pelaksanaan shalat Ada'. Menurut madzhab Hanafi yang termasuk dalam waktu shalat Ada' apabila seseorang mendapatkan kira-kira sekedar takhbiratul ihram di akhir waktu shalat. Sedangkan menurut Madzhab Syafi'i, termasuk dalam waktu shalat Ada' apabila mendapatkan satu rakaat sebelum berakhir waktunya.

Sedangkan yang dimaksud dengan Qadha adalah ketika kita melaksanakan shalat di luar waktu yang ditentukan sebagai pengganti shalat yang ditinggalkan karena unsur kesengajaan, lupa, memungkinkan atau tidak memungkinkan dalam pelaksanaan shalat tersebut. Para ulama sependapat bahwa shalat wajib harus diqadha bila dilaksanakan tidak tepat pada waktunya. Hal ini dijelaskan dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab karangan Imam Nawawi:

أجمع العلماء الذين يعتد بهم على أن من ترك صلاة عمدا لزمه قضاؤها، وخالفهم أبو محمد علي بن حزم فقال: لا يقدر على قضائها أبدا ولا يصح فعلها أبدا، قال: بل يكثر من فعل الخير وصلاة التطوع ليثقل ميزانه يوم القيامة ويستغفر الله تعالى ويتوب، وهذا الذي قاله مع أنه مخالف للإجماع باطل من جهة الدلي

"Para ulama mu'tabar telah sepakat, bahwa barangsiapa yang meninggalkan shalat karena sengaja, maka ia harus mengqadha (mengganti). Pendapat mereka ini berbeda dengan pendapat Abu Muhammad bin Ali bin Hazm yang berkata: bahwa ia tidak perlu mengqadha selamanya dan tidak sah melakukannya selamanya, namun ia sebaiknya memperbanyak melakukan kebaikan dan shalat sunar agar timbangan (amal baiknya) menjadi berat pada hari kiamat, serta istighfar kepada allah dan bertaubat. Pendapat ini bertentangan dengan ijma' dan bathil berdasarkan dalil yang ada"

Baca Juga: Hukum Orang Shalat namun Sedang Junub

Secara tinjauan hukum antara Ada' dan Qadha dua-duanya bersifat wajib sebagaimana diungkapkan Imam Al-Ghazali dalam kitabnya Fawatikhu rakhamut bahwa kewajiban itu ada dua yaitu Ada’ dan Qadha’. Hanya saja pelaksanaan dan nilainya yang berbeda. yang satu dilaksanakan tepat waktu, satu yang lain tidak, sehingga berdosa. Tetapi terlepas dari berdosa atau tidak, qadha’ adalah tindakan indisipliner yang akan mengurangi nilai seorang hamba dengan Tuhannya.

Sedangkan I'adah secara ringkas dapat diartikan sebagai mengulangi shalat. Dijelaskan dalam kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam Al-Syafi’i sebagai berikut:

أما الإعادة: فهي أن يؤدي صلاة من الصلوات المكتوبة، ثم يرى فيها نقصاً أو خللً في الآداب أو المكملات، فيعيدها على وجه لا يكون فيها ذلك النقص أو الخلل.

"Adapun i‘adah ialah ketika seseorang telah melaksanakan shalat fardhu, namun kemudian melihat ada cacat atau cela dalam kesempurnaan ataupun tata krama shalat, dan selanjutnya ia melaksanakan kembali shalat tersebut menurut tata cara yang tidak ada cela ataupun cacat"

Dari keterangan di atas bisa kita fahami bahwa I'adah dilaksanakan bukan karena shalat kita tidak sah, melainkan karena ada kekurangan atau ketidaksempurnaan dalam pelaksanaan shalat kita. Menurut istilah para fuqaha, I'adah diartikan dengan menjalankan shalat yang sama untuk keduakalinya pada waktunya atau tidak. Karena dalam shalat yang pertama terdapat cacat atau ada shalat kedua yang lebih tinggi tingkat keutamaannya.

Secara hukum I'adah ada yang wajib, tidak wajib, dan sunah. Untuk I'adah yang wajib diantaranya ketika kita tidak menemukan air untuk bersuci. Dalam kondisi waktu yang terbatas, kita tetap wajib shalat meski tidak bersuci dan kemudian wajib i'adah pada waktu yang lain setelah mendapatkan sesuatu yang bisa dipergunakan untuk bersuci. Hal ini mengingat bersuci adalah syarat shalat. Dalam salah satu poin Rekomendasi Bahtsul Masail Ad-Diniyah Al-Waqi'iyah Muktamar XXX Nahdlatul Ulama di Pesantren Lirboyo Kediri dijelaskan sebagai berikut:

"Menjelaskan kepada para jama'ah haji bahwa tayamum di pesawat hukumnya tidak sah, sedangkan kedudukan shalatnya hanya semata-mata menghormati waktu (lihurmatil waqti). Sesudah sampai di Bandara King Abdul Aziz shalatnya wajib diulangi (I'adah) menurut Imam Syafi'i. Sebab ketiadaan air itu merupakan halangan yang jarang terjadi. Sedang sesuatu yang jarang terjadi itu seperti tidak ada. Maka kewajiban mengulangi shalat tanpa wudhu itu tidak gugur"

Adapun I'adah yang tidak wajib adalah seperti seorang yang tanpa menutup sebagian atau seluruh aurat karena memang tidak punya sama sekali. Sedangkan I'adah  yang sunnah adalah apabila ada shalat kedua yang lebih utama, semisal ada orang yang sudah melakukan shalat secara munfarid (sendirian) atau berjama’ah. Namun dalam waktu yang tidak lama ada jamaah yang lebih banyak, maka ia disunahkan I'adah mengikuti jama’ah yang kedua yang lebih banyak.

Wallahu A'lam


Referensi:
1. Kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab
2. Kitab Al-Fiqh Al-Manhaji ‘ala Madzhabi Imam Al-Syafi’i 
3. Kitab Ahkamul Fuqoha, Problematika Aktual Hukum Islam