Hukum Shaf Shalat Perempuan Sejajar dengan Shaf Laki-laki

 
Hukum Shaf Shalat Perempuan Sejajar dengan Shaf Laki-laki
Sumber Gambar: Foto Subuh Berjamaah/UNNES (ilustrasi foto)

Laduni.ID, Jakarta - Pahala dan ganjaran yang diberikan kepada orang yang shalat berjama'ah adaah 27 derajat dibanding dengan shalat sendirian. Dalam pelaksanaan shalat berjama'ah terdapat aturan yang harus terpenuhi agar mendapatkan keutamaan shalat berjama'ah. Salah satu aturan yang harus diperhatikan adalah posisi shaf shalat. Dalam ilmu fiqih posisi shaf shalat berjama'ah telah diatur secara berurutan mulai dari laki-laki dewasa, anak kecil, dan shaf terakhir ditempati oleh perempuan. Sehingga, ketika ketentuan penataan shaf dengan formasi demikian dilanggar, maka dihukumi makruh.

Penataan posisi shaf sebagaimana di atas sebagaimana keterangan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Muslim berikut ini:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها 

"Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal"

Baca Juga: Hukum Anak Kecil Menjadi Imam Shalat

Namun dalam kenyataannya sering kita temukan dalam shalat berjama'ah di beberapa masjid atau mushala bahwa jama'ah perempuan menempati posisi shaf sejajar di sebelah kiri atau sebelah kanan jama'ah laki-laki yang dibatasi dengan sebuah penghalang biasanya berupa kain. Hal yang mendasari hadis di atas tentang penempatan shaf wanita berada di akhir adalah dikarenakan konteks penempatan shalat berjama'ah dalam hadis di atas yaitu ketika antara laki-laki dan wanita berada di satu tempat yang sama (ikhtilath). Sehingga ketika wanita berada di shaf awal, secara otomatis mereka bersanding dengan jamaah laki-laki dan hal ini jelas dianggap tidak pantas. Oleh sebab itu, wanita dianjurkan untuk menjauh dari jamaah laki-laki dengan menempati shaf yang paling belakang agar dapat terhindar dari fitnah serta larangan percampuran antara laki-laki dan perempuan dalam satu ruangan.

Sehingga ketika wanita dalam shalat berjama'ahnya berada di ruangan tersendiri atau dipisah dengan penghalang yang mencegah pandangan jama'ah laki-laki dari jama'ah wanita, maka dalam keadaan demikian, posisi shaf yang paling utama bagi wanita adalah shaf yang paling awal, sebab illat (alasan yang mendasari sebuah hukum) kesunahan menempati shaf paling belakang bagi wanita yang berupa menghindari fitnah dan percampuran dengan laki-laki dalam satu tempat, dalam keadaan ini illat tersebut sudah tidak wujud, sehingga hukum yang dihasilkan menjadi berbeda. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam  kitab Tafsir Ruh Al-Bayan sebagai berikut:

خير صفوف الرجال أولها وشرها آخرها وخير صفوف النساء آخرها وشرها أولها قال في فتح القريب هذا ليس على عمومه بل محمول على ما إذا اختلطن بالرجال فإذا صلين متميزات لا مع الرجال فهن كالرجال ومن صلى منهن في جانب بعيد عن الرجال فأول صفوفهن خير لزوال العلة والمراد بشر الصفوف في الرجال والنساء كونها أقل ثواباً وفضلاً وأبعدها عن مطلوب الشرع وخيرها بعكسه

"Shaf yang paling baik bagi laki-laki adalah shaf yang paling awal, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling akhir. Dan shaf yang paling baik bagi wanita adalah shaf yang paling akhir, sedangkan shaf yang paling buruk bagi mereka adalah shaf yang paling awal. Dalam kitab Fath Al-Qarib dijelaskan bahwa hadis ini tidaklah bermakna seperti halnya keumumannya akan tetapi diarahkan ketika wanita berkumpul bersama dengan laki-laki (dalam shalat berjamaah). Ketika para wanita shalat secara terpisah, tidak bersama dengan laki-laki, maka dalam hal ini mereka seperti laki-laki (dalam hal shaf yang paling utama adalah shaf yang di depan). Wanita yang shalat di tempat yang jauh dari jangkauan jamaah laki-laki maka awal shaf bagi wanita tersebut adalah shaf yang paling baik, dikarenakan hilangnya illah (alasan yang mendasari sebuah hukum). maksud dari seburuk-buruknya shaf bagi laki-laki dan wanita bahwa menempati shaf tersebut mendapatkan pahala yang paling sedikit dan dianggap menjauhi anjuran syara’, sedangkan hal yang paling baik adalah kebalikannya"

Baca Juga: Apakah Shalat Jum'at dapat Menggantikan Shalat Dzuhur bagi Wanita?

Jadi illat yang mengharuskan wanita menempati shaf paling belakang ketika shalat berjama'ah bersama jama'ah laki-laki adalah untuk menghindari segala bentuk fitnah yang akan timbul akibat dari percampuran tersebut. Imam Nawawi menjelaskan hal yang sama dalam kitab Syarah Shahih Muslim sebagai berikut:

وإنما فضل آخر صفوف النساء الحاضرات مع الرجال لبعدهن من مخالطة الرجال ورؤيتهم وتعلق القلب بهم عند رؤية حركاتهم وسماع كلامهم ونحو ذلك

"Diutamakannya shaf akhir bagi para wanita yang hadir bersamaan dengan lelaki dikarenakan hal tersebut menjauhkan mereka dari bercampur dengan laki-laki, melihatnya lelaki (pada mereka), dan menggantungnya hati para wanita kepada lelaki ketika melihat gerakan lelaki dan mendengar ucapan lelaki dan semacamnya"

Sehingga jika dalam shalat berjama'ah yang keadaan ikhtilath, maka diwajibkan menggunakan penghalang untuk mencegah pandangan jama'ah laki-laki terhdap perempuan dan tidak terjadi percampuran antara laki-laki dan perempuan yang diharamkan oleh syari'at. Hal ini dijelaskan oleh Imam Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin sebagai berikut:

ويجب أن يضرب بين الرجال والنساء حائل يمنع من النظر فإن ذلك أيضا مظنة الفساد والعادات تشهد لهذه المنكرات

"Wajib untuk menempatkan penghalang antara laki-laki dan perempuan yang dapat mencegah pandangan, sebab hal tersebut merupakan dugaan kuat (madzinnah) terjadinya kerusakan dan norma umum masyarakat memandang ini sebagai bentuk kemungkaran"

Baca Juga: Hukum Menempelkan Kaki Ketika Shalat Berjamaah

Terdapat penjelasan rinci mengenai posisi shaf perempuan dalam shalat berjama'ah yang berbaur dengan laki-laki sebagaimana yang dibahas dalam kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah sebagai berikut:

صرح الحنفية بأن محاذاة المرأة للرجال تفسد صلاتهم . يقول الزيلعي الحنفي : فإن حاذته امرأة مشتهاة في صلاة مطلقة - وهي التي لها ركوع وسجود - مشتركة بينهما تحريمة وأداء في مكان واحد بلا حائل ، ونوى الإمام إمامتها وقت الشروع بطلت صلاته دون صلاتها ، لحديث : أخروهن من حيث أخرهن الله  وهو المخاطب به دونها ، فيكون هو التارك لفرض القيام ، فتفسد صلاته دون صلاتها .

 وجمهور الفقهاء : (المالكية والشافعية والحنابلة) يقولون : إن محاذاة المرأة للرجال لا تفسد الصلاة ، ولكنها تكره ، فلو وقفت في صف الرجال لم تبطل صلاة من يليها ولا من خلفها ولا من أمامها ، ولا صلاتها ، كما لو وقفت في غير الصلاة ، والأمر في الحديث بالتأخير لا يقتضي الفساد مع عدمه

"Mazhab Hanafiyah menegaskan bahwa sejajarnya posisi perempuan dengan barisan shaf laki-laki dapat merusak (membatalkan) shalat mereka (para laki-laki). Imam Az-Zayla’i Al-Hanafi mengatakan, Jika perempuan yang (berpotensi) mendatangkan syahwat sejajar dengan lelaki dalam shalat mutlak yakni shalat yang terdapat rukun ruku’dan sujud, dan keduanya bersekutu dalam hal keharaman dan melaksanakan shalat di satu tempat yang tidak ada penghalangnya, lalu imam niat mengimami perempuan tersebut pada saat melaksanakan shalat maka shalat lelaki tersebut batal, tapi tidak batal bagi perempuan.’ Hal ini berdasarkan hadis, ‘Kalian akhirkan mereka (perempuan) seperti halnya Allah mengakhirkan mereka. Lelaki pada hadis tersebut merupakan objek yang terkena tuntutan syara’ (al-mukhatab) bukan para wanita, maka lelaki dianggap meninggalkan kewajiban menegakkan tuntutan tersebut hingga shalatnya menjadi rusak (batal) namun tidak bagi shalat para perempuan"

"Sedangkan mayoritas ulama fiqih (mazhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali) mengatakan, sejajarnya shaf perempuan dengan laki-laki tidak sampai membatalkan shalat, hanya saja hal tersebut makruh. Jika perempuan berdiri di shaf laki-laki maka tidak batal shalat orang yang ada di sampingnya, di belakangnya ataupun di depannya; dan juga tidak batal shalat yang dilakukan oleh dirinya, seperti halnya ketika mereka (perempuan) berdiri pada selain shalat. Perintah dalam hadits untuk mengakhirkan shaf (perempuan) tidak menetapkan batalnya shalat ketika tidak melakukannya"

Wallahu A'lam

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada tanggal 23 Juli 2021. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan


Referensi:
1. Kitab Tafsir Ruh Al-Bayan
2. Kitab Syarah Shahih Muslim
3. Kitab Ihya Ulumuddin
4. Kitab Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyah