Pahala bagi Suami Istri yang Berhubungan Seksual

 
Pahala bagi Suami Istri yang Berhubungan Seksual

LADUNI.ID, Dari Abu Dzar al-Ghiffaary ra bahwa Rasulullaah bersabda : Persetubuhan salah seorang di antara kamu (dengan istrinya) adalah SHODAQOH”. Para sahabat bertanya, “ Wahai Rasulullah, apakah (jika) salah seorang di antara kami memenuhi syahwatnya, ia mendapat pahala?”. Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa. Demikian pula jika ia memenuhi syahwatnya itu pada yang halal, ia mendapat pahala”. (HR. Muslim II/697-698 No. 2376).

Berdasarkan hadits ini Mayoritas Ulama menyatakan berpahalanya seorang suami saat menggauli istrinya bila disertai niat yang benar dan baik seperti agar menghindarkan dirinya atau istrinya dari perbuatan hina (zina) yang diharamkan, untuk memenuhi kebutuhun istrinya dalam rangka menjalankan perintah wajibnya bergaul dengannya dengan baik, mendapatkan keturunan shalih yang dikemudian hari diharapkan menjadi sosok yang bertauhid kepada Allah Ta’aalaa, menyebarkan ilmu dan agama, menjadi pemuka dalam islam serta tujuan-tujuan baik lainnya

Sedang bila dalam senggamanya seseorang tidak didahului dengan niat-niat diatas kecuali sekedar melampiaskan syahwatnya, mencari kepuasan seksnya para Ulama Fuqaha berbeda pendapat dalam meraih pahala senggama tidaknya :

1. Ibn Qutaibah menyatakan seseorang berhak mendapatkan pahala secara mutlak saat menyenggamai istrinya meskipun tanpa disertai niat seperti keterangan diatas berdasarkan hadits riwayat Abu Dzar diatas dimana dari zhahirnya hadits jelas menyatakan bahwa asalkan seseorang menyetubuhi istrinya maka pahala dia dapatkan sebagaimana bila ia zina maka seketika dosa juga ia dapatkan.

2. Ibn Hajar al-Haytami menilai berhaknya seseorang atas pahala senggama disyaratkan dengan disertaai niat berdalih hadits riwayat Abu Dzar yang menjelaskan dapatnya seseorang atas pahala senggama :

“Aku bertanya, Wahai Rasulullah, apakah (jika) aku memenuhi syahwatnya, aku mendapat pahala?”. Rasulullah menjawab, “Tahukah engkau jika seseorang memenuhi syahwatnya pada yang haram, dia berdosa ?”. Aku menjawab “Ya”. Rasulullah berkata “maka perhitungkanlah dalam kejelekan dan jangan memperhitungkannya dalam kebaikan” (HR. Ahmad V/154).

Juga berdasarkan hadits nabi lain saat bersabda pada Sa’d Bin Abi Waqash ra “Tidaklah engkau menafkahkan satu nafkah yang dengannya engkau mengharap keridhaan Allah kecuali engkau akan diberi pahala dengannya sampaipun satu suapan yang engkau berikan ke mulut istrimu. (HR. Bukhari-Fath alBaari VIII/109 dan Muslim IV/1251).

Dan juga hadits nabi lain, Beliau bersabda “Apabila seorang muslim memberi nafkah kepada keluarganya dan dia mengharapkan pahala dengannya maka nafkah tadi teranggap sebagai sedekahnya. (HR. Bukhari -Fath alBaari IX/97 dan Muslim II/795 dari hadits riwayat Abi Mas’ud al-Anshaary).

Dari hadits-hadits diatas diterangkan bahwa seorang diganjar atas yang ia lakukan saat ia berharap pahala, dan bila dalam masalah nafkah lahir yang notabene merupakan kewajiban bagi suami disyaratkan dalam mendapatkan pahala bila ia berniat mengaharapkannya maka dalam hal senggama yang hukumnya mubah tentu lebih dibutuhkan pensyaratannya. [ Al-Mausuu’ah al-Fiqhiyyah 44/15-16 ].