Biografi KH. Zainal Mustafa, Pejuang Kemerdekaan dan Pendiri Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya

 
Biografi KH. Zainal Mustafa, Pejuang Kemerdekaan dan Pendiri Pesantren Sukamanah, Tasikmalaya

Daftar Isi Biografi KH. Zainal Mustafa

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga
1.1  Lahir
1.2  Riwayat Keluarga
1.3  Wafat
2.    Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1  Pendidikan
2.2  Guru beliau
3.    Perjalanan Hidup dan Dakwah
3.1  Mendirikan Pesantren
3.2  Peran di Nahdlatul Ulama
4.    Pejuang Melawan Penjajah
5.    Diangkat Menjadi Pahlawan
6.    Referensi

1.    Riwayat Hidup dan Keluarga

1.1 lahir
KH. Zainal Mustafa lahir pada 1 Januari 1899 di Desa Cimerah, Kec. Singaparna, Tasikmalaya. Beliau merupakan putra dari pasangan bapak Nawapi dan ibu Ratmah.

Sewaktu masih kecil, KH. Zainal Mustafa bernama Umri dan sepulang dari pesantren berganti nama menjadi Hudaemi.

1.2 Riwayat Keluarga
KH. Zainal Mustafa menikah dengah Nyai Enoh Sukaesih, dan dikarunai enam anak yakni:

  1. Mumu Najmul Muhtadin,
  2. Nyai Siti Shofiyah,
  3. Nyai Jueriyah,
  4. Bahaudin,
  5. Ny. Hj. Atik Atikah,
  6. Drs. Endang Nazaruddin Musthafa.

1.3 Wafat
Kepala Erevele Belanda Ancol, Jakarta. Memberi kabar bahwa KH. Zainal Mustafa telah dieksekusi pada 25 Oktober 1944 dan dimakamkan di Taman Pahlawan Belanda Ancol, Jakarta.

Melalui penelusuran salah seorang santri beliau, Kolonel Syarif Hidayat, pada tahun 1973 keberadaan makam beliau itu ditemukan di daerah Ancol, Jakarta Utara, bersama makam-makam para santri beliau yang berada di antara makam-makam tentara Belanda. Lalu, pada 25 Agustus 1973, semua makam itu dipindahkan ke Sukamanah, Tasikmalaya.

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan

2.1 Pendidikan
Kyai Hudaemi memperoleh pendidikan formal di Sekolah Rakyat. Dalam bidang agama, beliau belajar mengaji dari guru agama di kampung beliau. Kemampuan ekonomis keluarga memungkinkan beliau untuk menuntut ilmu agama lebih banyak lagi. Pertama kali beliau melanjutkan pendidikan ke pesantren di Gunung Pari di bawah bimbingan Kyai Dimyati, kakak sepupu beliau, yang dikenal dengan nama KH. Zainal Muhsin.

Riwayat pendidikan beliau yakni:

  1. Pesantren Gunung Pari,
  2. Pesantren Cilenga,
  3. Pesantren Leuwisari,
  4. Pesantren Sukaraja Garut,
  5. Pesantren Sukamiskin, Bandung.
  6. Pesantren Jamanis Rajapolah.


Selama kurang lebih 17 tahun beliau terus menggeluti ilmu agama dari satu pesantren ke pesantren lainnya. Karena itulah beliau mahir berbahasa Arab dan memiliki pengetahuan keagamaan yang luas.

Mulalui ibadah haji, beliau berkenalan dengan ulama-ulama terkemuka. Beliau pun mengadakan tukar pikiran soal keagamaan dan berkesempatan melihat pusat pendidikan keagamaan di Tanah Suci.

2.2 Guru Beliau
Kyai Dimyati (KH. Zainal Muhsin).

3. Perjalanan Hidup dan Dakwah

3.1 Mendirikan Pesantren
Kontak dengan dunia luar itu mendorong beliau untuk mendirikan sebuah pesantren. Maka sekembalinya beliau dari ibadah haji, tahun 1927, beliau mendirikan pesantren di Kampung Cikembang dengan nama Sukamanah.

Sebelumnya, di Kampung Bageur tahun 1922 telah berdiri pula Pesantren Sukahideng yang didirikan oleh kakak sepupu beliau KH. Zainal Muhsin. Melalui pesantren ini beliau menyebarluaskan agama Islam, terutama paham Syafi’i yang dianut oleh masyarakat Indonesia pada umumnya dan umat Islam Jawa Barat pada khususnya.

Di samping itu, beliau juga mengadakan beberapa kegiatan keagamaan ke pelosok-pelosok desa di Tasikmalaya dengan cara mengadakan ceramah-ceramah agama. Maka sebutan kyai pun menjadi melekat dengan nama beliau.

3.2 Peran di Nahdlatul Ulama (NU)
KH. Zainal Mustafa terus tumbuh menjadi pemimpin dan anutan yang karismatik, patriotik, dan berpandangan jauh ke depan. Tahun 1933, beliau masuk Jamiyyah Nahdhatul Ulama (NU) dan diangkat sebagai wakil Ro’is Syuriah NU Cabang Tasikmalaya.

4. Pejuang Melawan Penjajah
Sejak tahun 1940, KH. Zainal Mustafa secara terang-terangan mengadakan kegiatan yang membangkitkan semangat kebangsaan dan sikap perlawanan terhadap kolonial Belanda. Beliau selalu menyerang kebijakan politik kolonial Belanda yang kerap disampaikan beliau dalam ceramah dan khutbah-khutbah beliau. Atas perbuatan ini, beliau selalu mendapat peringatan, dan bahkan, tak jarang diturunkan paksa dari mimbar oleh kyai yang pro Belanda.

Setelah Perang Dunia II, tepatnya pada 17 November 1941, KH. Zainal Mustafa bersama KH. Rukhiyat (dari Pesantren Cipasung), Haji Syirod, dan Hambali Syafei ditangkap Belanda dengan tuduhan telah menghasut rakyat untuk memberontak terhadap pemerintah Hindia Belanda. Mereka ditahan di Penjara Tasikmalaya dan sehari kemudian dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, dan baru bebas 10 Januari 1942.

Kendati sudah pernah ditahan, aktivitas perlawanan beliau terhadap penjajah tidak surut. Akhir Februari 1942, KH. Zainal Mustafa bersama Kyai Rukhiyat kembali ditangkap dan dimasukkan ke penjara Ciamis. Kedua ulama ini menghadapi tuduhan yang sama dengan penangkapan yang pertama. Hingga pada waktu Belanda menyerah kepada Jepang, beliau masih mendekam di penjara.

Pada tanggal 8 Maret 1942 kekuasaan Hindia Belanda berakhir dan Indonesia diduduki Pemerintah Militer Jepang. Oleh penjajah yang baru ini, KH. Zainal Mustafa dibebaskan dari penjara, dengan harapan beliau akan mau membantu Jepang dalam mewujudkan ambisi fasisnya, yaitu menciptakan Lingkungan Kemakmuran Bersama Asia Timur Raya.

Akan tetapi, apa yang menjadi harapan Jepang tidak pernah terwujud karena KH. Zainal Mustafa dengan tegas menolaknya. Dalam pidato singkat beliau, pada upacara penyambutan kembali di Pesantren, beliau memperingatkan para pengikut dan santri beliau agar tetap percaya pada diri sendiri dan tidak mudah termakan oleh propaganda asing. Beliau malah memperingatkan bahwa fasisme Jepang itu lebih berbahaya dari imperialisme Belanda.

Pasca perpindahan kekuasaan dari Belanda ke Jepang, sikap dan pandangan beliau itu tidak pernah berubah. Bahkan, kebencian beliau semakin memuncak saja manakala menyaksikan sendiri kezaliman penjajah terhadap rakyat.

Pada masa pemerintahan Jepang ini, beliau menentang pelaksanaan seikeirei, cara memberi hormat kepada kaisar Jepang dengan menundukkan badan ke arah Matahari terbit. beliau menganggap perbuatan itu bertentangan dengan ajaran Islam dan merusak tauhid karena telah mengubah arah kiblat.

Dengan semangat jihad membela kebenaran agama dan memperjuangkan bangsa, KH. Zainal Mustafa merencanakan akan mengadakan perlawanan terhadap Jepang pada tanggal 25 Februari 1944 (1 Maulud 1363 H). Mula-mula beliau akan menculik para pembesar Jepang di Tasikmalaya, kemudian melakukan sabotase, memutuskan kawat-kawat telepon sehingga militer Jepang tidak dapat berkomunikasi, dan terakhir, membebaskan tahanan-tahanan politik.

Untuk melaksanakan rencana ini, KH. Zainal Mustafa meminta para santri beliau mempersiapkan persenjataan berupa bambu runcing dan golok yang terbuat dari bambu, serta berlatih pencak silat. Kyai juga memberikan latihan spiritual (tarekat) seperti mengurangi makan, tidur, dan membaca wirid-wirid untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt.

Persiapan para santri ini tercium Jepang. Segera mereka mengirim camat Singaparna disertai 11 orang staf dan dikawal oleh beberapa anggota polisi untuk melakukan penangkapan. Usaha ini tidak berhasil. Mereka malah ditahan di rumah KH. Zainal Mustafa. Keesokan harinya, pukul 8 pagi tanggal 25 Februari 1944, mereka dilepaskan dan hanya senjatanya yang dirampas.

Tiba-tiba, sekitar pukul 13.00, datang empat orang opsir Jepang meminta agar KH. Zainal Mustafa menghadap pemerintah Jepang di Tasikmalaya. Perintah tersebut ditolak tegas sehingga terjadilah keributan. Hasilnya, tiga opsir itu tewas dan satu orang dibiarkan hidup. Yang satu orang ini kemudian disuruh pulang dengan membawa ultimatum.

Dalam ultimatum itu, pemerintah Jepang dituntut untuk memerdekakan Pulau Jawa terhitung mulai 25 Februari 1944. Dalam insiden itu, tercatat pula salah seorang santri bernama Nur menjadi korban, karena terkena tembakan salah seorang opsir.

Setelah kejadian tersebut, menjelang waktu shalat Ashar (sekitar pukul 16.00) datang beberapa buah truk mendekati garis depan pertahanan Sukamanah. Suara takbir mulai terdengar, pasukan Sukamanah sangat terkejut setelah tampak dengan jelas bahwa yang berhadapan dengan mereka adalah bangsa sendiri.

Rupanya Jepang telah mempergunakan taktik adu domba. Melihat yang datang menyerang adalah bangsa sendiri, KH. Zainal Mustafa memerintahkan para santri beliau untuk tidak melakukan perlawanan sebelum musuh masuk jarak perkelahian.

Setelah musuh mendekat, barulah para santri menjawab serangan mereka. Namun, dengan jumlah kekuatan lebih besar, ditambah peralatan lebih lengkap, akhirnya pasukan Jepang berhasil menerobos dan memorak-porandakan pasukan Sukamanah. Peristiwa ini dikenal dengan Pemberontakan Singaparna.

Para santri yang gugur dalam pertempuran itu berjumlah 86 orang. Meninggal di Singaparna karena disiksa sebanyak 4 orang. Meninggal di penjara Tasikmalaya karena disiksa sebanyak 2 orang. Meninggal di penjara Sukamiskin Bandung sebanyak 38 orang, dan yang mengalami cacat (kehilangan mata atau ingatan) sebanyak 10 orang.

Sehari setelah peristiwa itu, antara 700-900 orang ditangkap dan dimasukkan ke dalam penjara di Tasikmalaya. Sementara itu, KH. Zainal Mustafa sempat memberi instruksi secara rahasia kepada para santri dan seluruh pengikut beliau yang ditahan agar tidak mengaku terlibat dalam pertempuran melawan Jepang.

Termasuk dalam kematian para opsir Jepang, dan pertanggungjawaban tentang pemberontakan Singaparna dipikul sepenuhnya oleh KH. Zainal Mustafa. Akibatnya, sebanyak 23 orang yang dianggap bersalah, termasuk KH. Zainal Mustafa sendiri, dibawa ke Jakarta untuk diadili. Namun mereka hilang tak tentu rimbanya.

Besarnya pengaruh KH. Zainal Mustafa dalam pembentukan mental para santri dan masyarakat serta peranan pesantren beliau sebagai lembaga pendidikan dan pembinaan umat membuat pemerintah Jepang merasa tidak bebas jika membiarkan pesantren ini tetap berjalan. Maka, setelah peristiwa pemberontakan tersebut, pesantren ini ditutup oleh Jepang dan tidak diperbolehkan melakukan kegiatan apapun.

5. Diangkat Menjadi Pahlawan
Pada tanggal 6 Nopember 1972, KH. Zainal Mustafa diangkat sebagai Pahlawan Pergerakan Nasional dengan Surat Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 064/TK/Tahun 1972.

Jalan singaparna diresmikan menjadi jalan KH. Zainal Mustafa pada tanggal 25 Februari 1960. Sejak tahun 1974 setiap tanggal 25 Februari diselenggarakan peringatan Perjuangan Pahlawan Nasional KH. Zainal Mustafa. Monument aktualisasi perjuangan KH. Zainal Mustafa Sukamanah di Bandara by pass Tasikmalaya diresmikan pada tanggal 16 November 2000 M / 11 Sya’ban 1421 H oleh gubernur Jawa Barat.

6. Referensi

  1. "Data Pahlawan Nasional: KH. Zainal Mustafa". Direktorat Kepahlawanan, Keperintisan, Kesetiakawanan dan Restorasi Sosial, Kementerian Sosial Republik Indonesia.
  2. Ajisaka, Arya dan Dewi Damayanti. (2010). Mengenal Pahlawan Indonesia. Jakarta: Kawan Pustaka.

 

Artikel ini sebelumnya diedit tanggal 7 September 2020, dan terakhir diedit tanggal 25 Oktober 2023.

 

Lokasi Terkait Beliau

List Lokasi Lainnya