Mendahulukan Menghormati dan Memuliakan Sang Guru dari Nabi Khidir

 
Mendahulukan Menghormati dan Memuliakan Sang Guru dari Nabi Khidir

 

 

LADUNI.ID, HIKMAH- KEBERSAMAAN terutama dengan murabbi (guru) yang telah mendidik kita tanpa pamrih dan penuh keikhlasan merupakan suatu kebahagian tersendiri. Keberhasilan seorang murid (thalib) sangat tergantung dari doa dan keridhaan sang murabbi.


Keberhasilan yang di raih seorang murid secara esensial bukanlah usaha sang murid itu tetapi sejauh mana keridhaan dan kesungguhan serta keberkahan dari murabbi, walaupun tidak menafikan usaha dari murid itu sendiri.

Bahkan kedudukan orang tua lebih mulia dari murabbi, sangat wajar dan layak kita sebagai murid menempat sang murabbi dengan doa dan keridhaannya sebagai kunci kesuksesan dan keberhasilan dalam mengarungi kehidupan di dunia dan akhirat.

Sebuah kisah menarik yang menjadi sebagai sebuah anugerah yang tidak dapat tidak berharga dari seorang sufi besar di dunia. Beliau adalah Syekh Habib Umar Bin Abdurahman Al-Atthas RA.

Beliau merupakan sebagai seorang penyusun Ratib Al-Atthas. Pernah pada suatu waktu dalam sebuah halaqah pengajian, sedang duduk bersama para santrinya. Ada satu santri yang bernama Syekh Ali Baaros RA sedang duduk di sampingnya sambil memijit kaki sang murabbi (guru) itu.

Habib Umar terdiam sesaat dan berkata kepada muridnya: “Kita kedatangan tamu istimewa, Nabi Khidir AS. Sekarang beliau sudah berada di gerbang depan.”

Mendengar dawuh sang murabbi, para murid sangat gembira dan berhamburan menuju gerbang depan menyambut kehadiran Nabi Khidir AS. Namun hanya seorang yang tidak ikut untuk menyambut nabi Khidir, beliau bernama  Syekh Ali Baaros.

Melihat tingkah laku muridnya, sang murabbi keheranan, lanras Habib Umar Bin Abdurrahman bertanya kepada Syekh Ali Baaros: “Ya Ali, kenapa engaku tidak menyambut Nabi Khidir bersama teman-temanmu yang lain?”

Syekh Ali Baaros menjawab: “Wahai guru, Nabi Khidir AS datang sengaja menemui engka. Untuk apa aku lepaskan tanganku dari kakimu karena kedudukanmu (yaitu sebagai guru) di mataku (sebagai murid) jauh lebih mulia dibandingkan Nabi Khidir”

Sungguh mulia dan penuh takdhim ungkapan seorang murid terhadap gurunya. Habib mendengar jawaban dari muridnya seperti itu, lalu berucaplah Habib Umar: “Tidak akan aku terima hadiah Fatihah dari siapapun untukku kecuali disertai dengan nama Ali Baaros. Ini bukti keridhaanku kepadanya!”

Dengan keridhaan guru, Syekh Ali Baaros yang berguru puluhan tahun kepada Habib Umar dengan berkhidmat dan mengabdi di kemudian hari bisa menjadi ulama besar yang banyak memberi manfaat kepada umat.

Kemuliaan guru seperti orang tua kita. Namun, rahasia dunia ada pada kedua orang tua, sedang rahasia akhirat ada pada tangan guru.

“Law Laa Murabbi Ma Araftu Rabbi” (Jika bukan karena guru, maka aku tidak akan mengenal Tuhanku).

Sungguh mulia akhkak dan ketakdhiman seorang murid. Kebersamaan dengan guru bukan hanya di maknai kedekatan jarak dan sering berkunjung, namun esensialnya sejauh mana sang qalbu seorang murid dalam menghormati dan memuliakan mereka. Dalam bahasa tasawuf dengan dengan rabitah (ikatan bathin). Rabitah kepada guru menjadi kunci kesuksesan.

Menjadi seorang murid bukanlah dengan membangkan sang gurunya, namun esensial seorang murid, mereka yang di banggakan oleh murabbi (guru)nya seperti cerita Habib diatas sangat bangga dengan muridnya Syekh Ali Baros.

Sungguh benarlah apa yang dikatakan oleh Imam Abu abbas Al-Mursyi: "Bukanlah seorang murid yang berbangga dengan gurunya, akan tetapi murid adalah yang dibanggakan oleh gurunya"[]

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, Pemungut Hikmah yang tercecer MUDI Mesjid Raya Samalanga.