Menelusuri di Balik Rambut Pirang, Memakai Celak dan Metode Awal Ramadhan Jemaah An-Nadzir Gowa

 
Menelusuri di Balik Rambut Pirang, Memakai Celak dan Metode Awal Ramadhan Jemaah An-Nadzir Gowa

Menelusuri Metode Penetapan Awal Ramadhan Jemaah An-Nadzir Gowa

LADUNI.ID, KOLOM- Perbedaan awal Ramadhan dan Syawal di nusantara ini sudah menjadi tradisi dan kerap terjadi, tentunya perbedaan ini akan membawa rahmat terlebih adanya gesekan yang menyebabkan lahirnya embrio diskerukunan dan berbagai efek negatif lainnya.

Para pengikut dan jamaah yang berbeda itu melaksanakan ibadahnya dalam kondisi aman dan penuh kerukunan serta tingginya toleransi antar sesama.

Salah satu kelompok yang sering berbeda dalam penentuan awal Ramadhan dan Syawal itu Jemaah An-Nadzir. 

Informasi yang dihimpun, Jemaah An-Nadzir merupakan kelompok organisasi Islam yang memiliki perkampungan di Jl. STPP Gowa, Romang Lompoa, Bontomarannu, Kabupaten Gowa.

.Dalam kesehariaannya Jemaah An-Nadzir ini memiliki ciri khas yaitu rambut pirang dan memakai celak bagi laki-laki. Sementara bagi perempuan menggunakan cadar penutup muka dan jilbab besar.

Di balik Ciri khas tersebut, tentunya mereka punya penganan dalam hal ini dan referensi tersendiri apa yang dilakukan jemaah An-Nadzir. Alasan mereka berpenampilan demikian dengan berpijak bahwa mengikuti ajaran Rasulullah yaitu memanjangkan rambut dan berwarna pirang.

Diantara ciri khas mereka, Jemaah ini juga memiliki perbedaan dalam penetapan waktu salat. An-Nadzir menggunakan alat pengukur bayangan matahari. Misalnya shalat Zuhur ditetapkan pukul 16.00 Wita, ashar pada pukul 16.30 Wita, serta Magrib ketika senja dan langgit gelap lalu waktu isya dilakukan menjelang subuh yakni pukul 05.00 Wita

Menanggapi metode mereka dalam memutuskan awal Ramadhan dan Syawal, salah seorang pemula diantara mereka bernama Ustad M Samiruddin Pademmui mengatakan ada beberapa indikator yang dilakukan Jemaah An-Nadzir dalam penentuan 1 Ramadan.

Diantara Indikator itu berdasarkan ilmu yang telah diajarkan oleh imam-imam Jemaah An-Nadzir. Selanjutnya, Samiruddin mengatakan, indikator pertama yakni mengamati bulan dan perpisahan bulan yang dimulai mengamati bulan purnama.

Prosesi pengamatan tersebut dilakukan dalam tiga bulan terakhir dengan estimasi perhitungan 54 menit setiap malam. Bukan hanya itu, dalam hal ini mereka juga disempurnakan lagi dengan mengamati air laut yang pasang. Puncak pasang itulah bukti terakhir perpisahan bulan.

Ustaz Samiruddin juga menyebutkan kalau berdasarkan beberapa hadis di zaman Rasulullah, pengamatan bulan bisa dilakukan mulai dari bulan Rajab kemudian Sya'ban. Pengamatan ini mereka juga membentuk tim. Jemaah An-Nadzir melalui tim 9 yang dibentuk telah melakukan pengamatan tersebut beberapa pekan belakangan ini.

Di samping itu, Samiruddin juga mengatakan, pemantauan bulan oleh tim 9 dilakukan di beberapa titik berbeda, meskipun masih dalam kawasan Permukiman An Nadzir di Bontomarannu
Bahkan Jemaah An-Nadzir juga menjadikan Gunung Bawakaraeng sebagai salah satu alat hitung

Ustaz Samiruddin menyebutkan selama ini karena ada Gunung Bawakaraeng, maka kita menghitung bulan. Ketika bulan sudah berada di puncak Bawakaraeng berarti sudah sekitar selisih 26 menit terbitnya bulan.

Berdasarkan beberapa referensi itulah mereka menetapkan awal Ramadhan dan Syawal dengan metode tersediri dan ilmu yang mereka miliki yang telah menjadi tradisi di kalangan kelompok tersebut.

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi, dikutip dari sumber terpercaya.