Disorientasi Akut Pasca Pemilu

 
Disorientasi Akut Pasca Pemilu

LADUNI.ID, KOLOM-Banyaknya fenomena caleg stres bahkan gila karena gagal menang di pemilu yang mencuat pasca-pengumuman hasil pemungutan suara menunjukkan terjadiya disorientasi akut politik para caleg kita dalam memutuskan pilihannya untuk berkompetisi dalam bursa elektoral pemilu.

Fenomena ini memang selalu terjadi setiap pemilu sampai-sampai ada semacam pembenaran ramalan sinisme oleh rakyat bahwa jika pemilu usai, Rumah Sakit Jiwa di mana-mana akan penuh dengan pasien baru sebagai konsekuensi dari kontestasi politik.

Ini menunjukkan bahwa disorientasi politik para caleg-caleg yang bersikap frustrasi tersebut telah mematikan rasionalitasnya di panggung politik.

Mereka telah gagal membuat kalkulasi potensi politik dan sejumlah kendala serta langkah antisipasi saat harapan tersebut tidak sesuai kenyataan. Semua perhitungan tersebut rupanya digugurkan karena dorongan kekuasaan yang melampaui realitas politik.

Bagaimana mungkin seorang yang tidak dikenal rakyat karena prestasinya selama ini bisa berapi-api meramalkan kemenangannya, hanya karena semata-mata mengandalkan adu sihir fulus. 

Rakyat memang mulai kritis secara ekonomis dengan membuat perhitungan kepada para caleg melalui strategi “saya kasih, saya dapat apa”. Tetapi bukan berarti dengan fulus, kemenangan bisa dicapai dengan mudah. 

Dengan banyaknya caleg yang paham bahwa untuk mencuri hati rakyat diperlukan fulus yang besar, pola-pola menyogok rakyat melalui fulus dengan berbagai variasi pasti akan jamak terjadi di masyarakat, sehingga probabilitas keterpilihan seorang caleg akan makin menyempit. 

Penyempitan peluang ini akhirnya dalam skala peluang, hanya mungkin akan berpihak pada mereka yang punya fulus lebih besar, memiliki investasi jaringan politik yang luas dan ditunjang dengan popularitas.

Sayangnya tiga faktor ini tidak dimiliki semua caleg. Akibatnya kita akan melihat sendiri, betapa tidak sedikit para caleg yang awalnya mantap memenangkan pertarungan, ternyata, tumbang di ujung jalan.

Pelajarannya adalah, untuk menjadi wakil rakyat di era demokrasi yang semakin materialisitik seperti ini, nampaknya tidak cukup hanya bermodalkan idealisme, termasuk bisikan-bisikan para pendukung yang irasional.

Yang lebih penting adalah modal pengabdian kepada rakyat lewat berbagai investasi kepedulian dan sumbangsih nyata sebagai solusi atas problem keseharian rakyat. 

Kemudian ditunjang pula oleh kekuatan finansial untuk mengapitalisasi dua modal di awal. Tanpa itu semua, kita hanya akan menjadi pecundang politik yang bereaksi secara tak waras dan menjadi bahan tontonan bagi kontestasi politik yang makin “kejam”. ***

Asruddin P, Peneliti,analisadaily.com