Tatakota dalam Islam: Kajian Kitab al-Madinah Al-Islamiyah

 
Tatakota dalam Islam: Kajian Kitab al-Madinah Al-Islamiyah

LADUNI.ID - Secara konseptual, kota industri maupun kota niaga harus didirikan terpisah dengan kota administrasi. Misalnya, di Mesir ada Kota Fustath sebagai kota industri dan Kairo untuk administrasi serta ibukota negara. Di Baghdad, ada Karkh sebagai kota niaga yang menyangga ibukota Dinasti Abbasiyah. Sedangkan Zuwailah, kota permukiman kuno, berdiri tak jauh dari Mahdiyah sebagai kota pemerintahan Dinasti Fathimiyyah yang kemudian mengembangkan Kairo. Pola semacam ini dipertahankan selama ratusan tahun dalam peradaban Islam. Hal ini dijalankan agar manajemen kenegaraaan bisa dijalankan dengan baik.

al-Amshar adalah istilah yang mewakili kota-kota yang menjadi pusat intelektual di masa lampau: Damaskus, Baghdad, Fez, Granada, dan Cordoba, dll.

Selama ratusan tahun pemerintahan dinasti di berbagai negara di Timur Tengah melakukan dua pola pembangunan ini: pertama, mempertahankan kota lama seperti Yerussalem dan Damaskus, dua kota yang sudah dikelola dengan baik sejak zaman Romawi, lalu mengembangkannya. Kedua, membangun kota baru sebagai penanda solidnya sebuah rezim maupun untuk kepentingan administrasi. Misalnya, al-Mu'tashim yang membangun Samarra, maupun Dinasti Fathimiyyah yang mengembangkan Kairo.

Ibn Ar-Rabi' menulis sebuah kitab yang fokus pada penanganan tataruang kota besar sekaligus merancang "rekayasa sosial" (At-Takhtith al-Ijtima'iy) serta "adaptasi sosial" (At-Takayyuf al-Ijtima'iy). Ahli tatanegara ini menjadikan 8 syarat agar sebuah kota bisa rapi, indah dan manusiawi. Kitab karya Ibn Ar-Rabi' ini dipersembahkan kepada Khalifah Bani Abbasiyyah, al-Mu'tashim. Putra Harun Ar-Rasyid yang trauma atas huru hara yang digerakkan koalisi tentara Arab dan Persia segera membangun Samarra, sebuah kota yang menyenangkan, lalu memindahkan ibukota kekhalifahan ke kota ini. Total ada 8 khalifah yang bertahta di kota ini, hingga kemudian Khalifah Al-Mu'tamid memindahkan kembali pusat pemerintahan ke Baghdad.

Di era Umayyah, peradaban Islam bertumpu pada anasir Arab. Sehingga peradaban Arab mencapai keemasan di era Umayyah/Amawiyyah. Sedangkan saat Abbasiyah berkuasa, peradaban Arab mendapatkan kompetitor dari Persia dalam banyak aspek: keilmuan, arsitektur hingga militer. Kompetisi ini mendapatkan lawan baru tatkala Khalifah Al-Mu'tashim yang lahir dari rahim perempuan Turki, menempatkan orang-orang Turki dalam pos-pos vital yang segera memancing huru-hara dan konflik sektarian yang digerakkan anasir militer dari etnis Arab yang berkoalisi dengan Persia.

¤ Perubahan sistem bermasyarakat dan juga evolusi tataruang kota lambat laun juga mengubah pola penisbatan masyarakat. Sebelumnya, banyak orang bangga dengan kabilahnya sehingga nama kabilah disematkan pada namanya, misalnya At-Tamimi, Al-Katiri, dan sebagainya. Lambat laun, ketika sebuah kota berubah menjadi lebih kosmopolit, seseorang tak lagi menggunakan nama kabilah, tetapi memilih nama desa/kota asalnya, misalnya al-Makki, al-Qalyubi, al-Fayumi, al-Suyuthi, al-Qurthubi, dan sebagainya.

Dalam konteks modern, yang unik di jazirah Arab adalah mencermati Uni Emirat Arab (Imarat al-'Arabiyyah al-Muttahidah). Tujuh keamiran berkoalisi membentuk negara federasi; Abu Dhabi, Ajman, Dubai, Fujairah, Ras al-Khaimah, Sharjah dan Umm al-Qaiwain. Dikelola dengan pola monarki-semikonstitusional, UEA dengan kekayaan minyak bumi dan mayoritas geografis padang pasir, di masa lalu memang tidak punya sejarah, tapi sejarah memihak mereka hari ini dan di masa mendatang.

----
Poin-poin yang disampaikan oleh KH. Imam Ghazali Said saat mengaji kitab "Al-Madinah al-Islamiyyah", sore hari, 2 Ramadan 1437 H/7 Juni 2016, di Pesantren Mahasiswa An-Nur, Wonocolo, Surabaya.

¤¤ mohon maaf apabila ada kesalahan mencatat keterangan dalam pengajian ¤¤

WAllahu A'lam bisshawab

Oleh: Rijal Mumazziq Z