Kesulitan Akan Menarik Kemudahan (Kaidah Keenam)

 
Kesulitan Akan Menarik Kemudahan (Kaidah Keenam)

LADUNI.ID - Salah satu kaidah inti yang disepakati seluruh ulama adalah:
الْمَشَقَّةُ تَجْلِبُ التَّيْسِيرَ
"Kesulitan akan menarik kemudahan"

Kaidah ini berdasarkan pada banyak sekali dalil al-Qur'an dan hadis yang dengan tegas menyatakan bahwa Allah dan Rasulullah menginginkan kemudahan, bukan mempersulit, misalnya:

يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمْ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمْ الْعُسْرَ
"Allah menginginkan kemudahan bagi kalian, dan tak menginginkan kesulitan". (QS: al-Baqarah: 185)

بُعِثْتُ بِالْحَنِيفِيَّةِ السَّمْحَةِ
"Aku diutus dengan ajaran yang lurus lagi toleran". (HR. Ahmad)

Aplikasi kaidah ini adalah dalam hal-hal rukhshah (keringanan) dalam semua bab fikih. Bila keadaan menyulitkan untuk menjalankan aturan fikih secara normal, biasanya ada rukhshah di sana. Jenis-jenis rukhshah ada enam hal, yakni:

1. Perjalanan.
Adanya perjalanan jauh (dua marhalah) dapat mendatangan bonus keringanan berupa: Boleh mengqashar (meringkas) dan menjamak shalat, boleh tidak berpuasa wajib (tapi diqadla') dan boleh mengusap muzah (kaos kaki kedap air yang dipakai saat musim dingin).
Perjalanan dekat (di bawah dua marhalah) mendatangkan bonus keringanan berupa kebolehan shalat sunnah di atas kendaraan.

2. Sakit parah
Adanya sakit parah akan mendatangkan banyak sekali keringanan, misalnya: Boleh shalat duduk bagi yang tak mampu berdiri, boleh tidak berpuasa ramadhan (tapi diqadla), tidak makruh bila berwudhu dengan bantuan orang lain, orang tua renta boleh mengganti kewajiban puas dengan fidyah, boleh auratnya dilihat dokter untuk diperiksa, dan lain-lain.

3. Paksaan
Adanya paksaan yang tak bisa dilawan akan mendatangkan keringanan berupa bebas dari dosa dalam tindakannya yang dipaksa tersebut. Namun bila masih bisa dilawan secara fisik, berarti bukan dipaksa namanya.

4. Lupa
Lupa juga mendatangkan keringanan berupa bebas dari dosa dalam tindakannya meninggalkan suatu kewajiban

5. Tidak tahu
Tidak tahu juga mendatangkan keringanan berupa bebas dari dosa dalam tindakannya meninggalkan suatu kewajiban atua melakukan suatu pelanggaran.

6. Kesulitan dan musibah umum.
Yang dimaksud dengan kesulitan dan musibah umum (umum al-balwa) adalah kejadian/kesulitan yang tak bisa dihindari atau sulit sekali dihindari sebab sangat massif. hal seperti ini dapat mendatangkan keringanan secara fikih. Contohnya adalah:
- Darah nyamuk, darah serangga kecil, darah di luka kecil, darah dan nanah di penyakit kulit yang tak banyak, najis di tanah jalanan, bekas najis yang susah hilang, kotoran burung yang sulit dihindari di masjid, dan sebagainya yang menjadi musibah umum semuanya dihukumi dimaafkan keberadaannya (ma'fu)
- Najis yang berada di mulut hewan peliharaan seperti kucing (yang biasa memakan bangkai), najis di perut ikan kecil, kotoran ikan di kolam yang tak sampai mengubah sifat air, dan banyak lainnya juga dimaafkan keberadaannya.
- Diperbolehkannya anak kecil yang tak punya wudhu untuk memegang mushaf untuk tujuan belajar. Kalau tak belajar tak boleh.
- Diperbolehkannya beristinja' dengan batu, tissue dan benda padat lainnya. Dan juga diperbolehkan beristinja' menghadap atau membelakangi arah kiblat di dalam bangunan tertutup (toilet yang tertutup).
- Boleh tidak berjamaah dan tidak jumatan sebab ada hujan.
- Boleh mengawalkan niat puasa wajib di malam hari (seharusnya menurut teori harus persis saat fajar subuh), dan boleh mengakhirkan niat puasa sunnah hingga waktu dhuhur.
- Disyariatkannya aturan khiyar (kesempatan untuk membatalkan akad jual beli)
- Boleh memandang lawan jenis dengan tujuan melamar, mengajar, bersaksi di pengadilan, berobat dan bertransaksi
- dan banyak sekali lainnya yang disebutkan di kitab-kitab fikih

Semua hal di atas adalah keringanan yang timbul sebab adanya kesulitan. Namun keringanan seperti di atas tidaklah bisa dikiaskan sendiri oleh orang awam. Dilarang keras membuat bentuk keringanan sendiri dengan alasan "ini sulit". Hanya seorang pakar fikih yang boleh menentukan ada tidaknya keringanan dalam suatu kasus sebab hal ini pelik dan butuh pembahasan panjang dan banyak perbedaan pendapat terkait sampai di mana ukuran kesulitan dalam kasus tertentu? apa wujud keringan yang diberikan?dan apa batasannya?

Tak semua kesulitan dengan sendirinya akan mendatangkan keringanan. Dulu di masa Rasulullah, para sahabat banyak mengeluh akan panasnya dahi mereka saat sujud ke tanah (masjid Nabawi saat itu di bagian tengahnya tak beratap sehingga bisa dibayangkan betapa panasnya tanah atau kerikil yang menjadi alasnya), tapi tak ada keringanan soal itu sehingga dahi tetap harus ditempel secara sempurna ke tanah. Mengqadla' shalat puluhan tahun juga sangat berat, tapi tak ada kortingan jumlah salat. Demikian juga masih banyak hal yang bagi orang awam dianggap menyulitkan tapi ternyata tak ada keringanan soal itu.

Karena itulah orang awam harus meminta fatwa dari orang yang kompeten apakah kesulitan yang dia alami sudah cukup sebagai alasan untuk mendapat keringanan atau tidak? Bila cukup, maka apa wujudnya dan sebatas mana?

Semoga bermanfaat

Oleh: Abdul Wahab Ahmad