Serial Kajian Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5)

 
Serial Kajian Tafsir Surat Al-Fatihah (Ayat 5)

LADUNI.ID - 

إيّاك نعبد وإيّاك نستعين

Hanya pada-Mu kami menyembah, dan hanya pada-Mu kami meminta pertolongan

Ketika seorang telah menyempurnakan pujiannya terhadap Allah Swt, maka kemudian selayaknya dia menampilkan keikhlasannya dengan cara menyatakan akan hak-hak-Nya, untuk menjaga apa yang sudah diperintahkan oleh Allah kepada hamba-Nya berupa keharusan beribadah dan meminta tolong hanya kepada-Nya. Demikian munasabah ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya sebagaimana ditulis oleh Syekh Thohir bin Asyur.

Lafadz إيّاك sering disebut dengan sebagai bentuk maf’ul (objek) yang didahulukan dari kerjanya yakni lafadz نعبد. Dalam susunan wajar ilmu gramatika bahasa Arab (nahwu), posisi maf’ul bih sejatinya selalu terletak setelah kata kerja (fi’il), hanya saja dalam kondisi tertentu dan demi tersampaikannya sebuah nilai ucapan dengan tepat, pendahuluan maf’ul dari fa’il-nya ini menjadi dimungkinkan.

Dalam An-Nibras, Syekh Ali Jumu’ah menegaskan tentang makna yang terkandung dalam ayat di atas, yakni pengkhususan (الإختصاص). Pengkhususan ini dimaksudkan untuk memperjelas sebuah urgensi tersendiri mengapa sebuah maf’ul bih mesti didahulukan dari fa’il-nya.

Sedangkan dalam tafsir al-Bahrul al-Madid, Ibnu Ajibah menegaskan alasan tentang pendahuluan ini karena untuk menunjukkan pengagungan (التعظيم) dan mengambil perhatian (إهتمام). Artinya, lafadz إيّاك hanya pada-Mu didahulukan dari fi’il-nya (نعبد) kami menyembah, agar seorang pembaca langsung dan segera mungkin terarah perhatiannya kepada Allah Swt. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya seorang untuk menyembah dan meminta pertolongan atas segala urusannya hanya dan semata-mata kepada Allah, tiada lain yang bisa dijadikan sandaran dalam segala urusan mereka, baik yang bersifat duniawi maupun ukhrowi kecuali Allah Swt.

Dalam tafsir surat al-Fatihah, Syekh Ahmad Yasin Asmuni memberikan beberapa alasan terkait hal ini dengan mengatakan bahwa Allah mendahulukan penyebutan diri-Nya agar seorang hamba tersadar bahwa sesungguhnya yang wajib disembah hanya Allah Swt. Maka, dengan begini seorang hamba diharap tidak akan malas untuk memberikan pengagungan kepada-Nya dengan berbagai dalih.

Bahkan lebih lanjut dijelaskan, jika seorang merasa berat untuk mengerjakan perkara taat, serta susah sekali untuk beribadah kepada-Nya, maka hendaklah dia mengucapkan ayat ini dengan penuh kekhusuyu’an, sehingga hadirlah di dalam relung hatinya akan kekuasaan dan keagungan Allah. Mengetengahkan terlebih dahulu akan keagungan Allah dalam hal ini diharapkan mampu memantik kekuatan seorang hamba untuk terus meneguhkan hati dalam menyembah dan meminta tolong hanya kepada Dia yang Maha segalanya.

Ayat ini secara jelas memberikan pendidikan kepada pembaca akan sebuah doa yang hendaknya terus dipanjatkan, hal ini seperti terlihat dari perubahan bentuk persona yang dituju. Jika pada ayat-ayat sebelumnya al-Quran menggunakan persona ketiga (dia), namun pada ayat ini al-Quran menggunakan bentuk persona kedua (kamu), dalam hal ini yang dimaksud adalah Allah. Dan terbukti surat ini menjadi bacaan wajib salat, yang mana tanpanya, salat tersebut tidak sah.

Selain itu, secara tidak langsung ayat ini juga merupakan pengecaman terhadap mereka yang menjadikan selain Allah sebagai Tuhan di mana mereka menyembah dan meminta pertolongan kepadanya. Memang banyak sekali di antara masyarakat jahiliyyah yang menyembah selain Allah, seperti berhala, benda-benda langit atau bahkan binatang-binatang. Dari kalangan masyarakat Arab, kaum Saba’ di Yaman, suku Taim, Ukal dan Dhabbat di Jazirah Arabia menyembah matahari, Kinanah menyembah bulan, Lakhem dan Khuza’at serta sebagian suku Quraisy menyembah planet Mars. Di sisi lain masyarakat Persia menyembah gelap dan terang sebagai perwujudan dari tuhan baik dan buruk, bahkan sebagian masyarakat di Sudan menyembah ular, bahkan bangsa Israil yang telah berkali-kali diutus ke tengah-tengah mereka seorang Nabi pernah menyembah sapi.

Meskipun ayat ini bernada mendidik manusia agar mengucapkan hal yang sama demi mengakui sisi kehambaan mereka. Namun, di sisi lain ayat ini juga menyiratkan sebuah perintah bagaimana seharusnya manusia menyembah dan meminta pertolongan hanya kepada-Nya. Perintah ini menjadi semakin kuat karena redaksi yang digunakan oleh al-Quran tak lagi berbentuk perintah, tapi langsung kepada sebuah contoh bagaimana seharusnya mengakui status kehambaan-Nya di hadapan Allah Swt. Bukankah perintah dengan contoh jauh lebih mendalam muatannya dari pada sekadar ucapan dengan lisan?

Lantas, apakah Allah membutuhkan kita supaya menyembah-Nya? Tentu saja tidak, Allah tidak membutuhkan sedikitpun dari ibadah yang dilakukan oleh hamba-Nya. Bahkan seandainya seluruh alam semesta ini tiada yang menyembah-Nya, maka sungguh Dia telah Maha mulia dengan kasih dan kekuasaan yang dimiliki-Nya. Maka dari itu, dalam ayat ini al-Quran tidak menggunakan bentuk perintah (seperti sembahlah Aku!), melainkan sebuah pengajaran tentang bagaimana seharusnya seorang dengan segala anugerah kehidupan yang diberikan oleh Allah menyembah dan meminta pertolongan. Demikianlah yang disebut dengan ibadah dan pengabdian kepada Allah.

Imam Ja’far ash-Shodiq mengemukakan tiga unsur pokok yang merupakan hakikat ibadah. 1) Si Pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai miliknya, karena yang dinamai hamba tidaklah memiliki sesuatu. Apa yang dia miliki adalah milik tuannya. 2) Segala usahanya hanya berkisar pada mengindahkan apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepadanya ia mengabdi. 3) Tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan kecuali mengaitkannya dengan izin dan restu yang kepadanya ia mengabdi.

Muatan lain dalam ayat ini adalah sebuah kesan yang tampak dari penggunaan kata kami sebagai kata ganti bagi mereka yang mengakui kehambaan diri di depan Tuhan-nya. Kata kami ini tentu tidak bermakna tunggal pengucap, melainkan sekelompok pengucap yang kemudian sama-sama memohon di hadapan Allah. Hal ini menunjukkan salah satu poin penting dalam Islam, yakni kebersamaan.

Seorang muslim bukanlah seorang yang individual, mereka ada karena ada pribadi-pribadi lain di luar mereka. Dala arti, ayat ini seolah menegaskan bahwa seorang muslim harus tetap beada dalam satu jama’ah besar, yang mana di dalamnya melebur segenap perbedaan menjadi satu kekuatan satu sama lain yang saling membangun dan melengkapi.

Dengan terjalin-rangkainya sebuah tali sosial, maka segala bentuk kekurangan dan ketimpangan sosial bisa di atasi. Hadis Rasul menyatakan jauh-jauh waktu tentang pentingnya rasa persaudaraan yang tergabung dalam satu konsep kebersamaan, yakni “Orang muslim ibaratkan satu tubuh, apabila satu anggota tubuh sakit, maka yang lain juga merasakannya”. Inilah perhatian yang dianjurkan sejak awal surat al-Fatihah agar umat muslim senantiasa menjaga kebersamaannya.

Selanjutnya adalah kebersamaan dalam urusan ibadah. Rasulullah memang menganjukan sebagian besar kewajiban ibadah seperti salat dan haji agar dilaksanakan secara berjamaah, dalam arti penuh kebersamaan. Demikian, sebuah hadis menjelaskan, bahwa salat berjamaah lebih baik dari pada salat sendirian dengan perbandingan dua puluh derajat. Bahkan para ulama Islam kemudian membahas masalah salat jamaah ini dengan panjang lebar di dalam kitab-kitab fikih mereka.

Kebersamaan adalah sebuah jalinan lintas personal yang satu sama lain memiliki kelemahan dan kelebihannya sendiri. Kebersamaan secara filosofis tidak terjadi dalam sebuah ruang yang homogen, melainkan karena bermacam-macamnya suatu benda, kemudian dibersamakan demi sesuatu yang hendak dituju. Demikian pula dalam ibadah, urgensi kebersamaan tampak sekali dari fakta bahwa tidak semua manusia memiliki kualitas yang baik dalam beribadah, tentu satu sama lain saling berbeda diukur dengan kedekatan mereka terhadap Allah. Dengan konsep berjamaah ini, maka diharapkan segala kekurangan yang tampak dalam ibadah seseorang bisa tertutupi oleh karena ibadah orang lain yang lebih baik.

Inilah kemurahan Allah bagi manusia, ketidaksempurnaan dalam ibadah yang dilakukan oleh seseorang bisa tertutupi selama dia berada dalam sebuah kelompok. Maka, ketika seorang mengucapkan ayat ini dalam ibadah, seolah dia sedang mengakui dengan jujur, bahwa ibadah yang dia kerjakan penuh dengan kekurangan dan kelalaian.

Oleh: M Hasanie Mubarok

*Staf pengajar di Ponpes Baitul Mubarok, Parit Serong, Kota Baru