Umat Butuh Pesan Damai dan Pernyataan Kelegaan

 
Umat Butuh Pesan Damai dan Pernyataan Kelegaan

LADUNI.ID - Rabu tanggal 22 Mei 2019 di beberapa tempat di Indonesia, khususnya di Ibukota Jakarta terdapat luapan kekecewaan yang tidak wajar terhadap hasil pemilu. Dari tayangang Breaking News Kompas TV Jam 07.15 WIB (22/05/2019) luapan kekecewaan tersebut ditampilkan dalam aksi yang cukup brutal, seperti lemparan batu dan aksi pembakaran pada beberapa kendaraan.

Aksi kekecewaan yang kemudian juga mengecewakan dengan menyisakan kerusakan dan kerugian bagi sejumlah orang yang tidak ada hubungannya dengan hasil pemilu. Padahal lajur legal nan elegan cukup leluasa diberikan kepada siapa saja yang merasa dirugikan dengan hasil pemilu, tapi brutalitas dan anarkisme cendrung lebih diminati dengan potensi yang sangat terbuka untuk digunakan oleh pihak-pihak lain yang menginginkan bangsa ini terpecah belah.

Di sisi lain, brutalitas aksi kekecewaan tersebut juga telah menodai kesucian bulan suci Ramadhan. Puasa sebagai ibadah dan benteng dari setiap orang yang menjalankannya tidak berfungsi maksimal. Kemarahan dan nafsu yang meluap tidak berhasil dicegah, sehingga kesempurnaan puasa hanya sampai pada batas sah atau batalnya saja (fiqihiyah), tidak sampai pada nilai (hakikat) dari puasa itu sendiri. 

Dari kondisi dan situasi yang cukup sakral saja masih memunculkan sikap anarkis, apalagi jika tidak di dalam bulan suci Ramadhan. Gejala ini tentu bukan peristiwa yang dapat dianggap biasa-biasa saja. Dalam asumsi saya, kualitas pemahaman keberagamaan kita perlu ditinjau ulang, mengingat aksi brutalitas tersebut tidak melulu dapat dipahami sebagai reaksi politik, tetapi juga menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari ekspresi pemahaman keagamaan.

Relasi pemahaman agama dan ekspresi luapan kekecewaan terhadap hasil pemilu dapat dilihat dari pencatutan surat An-Nisa ayat 108 yang sempat beredar massif di labirin media sosial untuk melegitimasi aksi kecurangan yang dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) dengan melakukan pengumuman di malam hari. Nadirsyah Hosen Rais Syuriah PCI NU Australia-New Zealand di laman Facebooknya mengkritisi pencatutan serampangan tersebut dengan menyatakan bahwa ayat tersebut tidak ada kaitannya dengan pemilu.

Namun di mata para pengguna medsos yang awam dan emosional tentu ayat tersebut dalam asumsi saya turut ikut memicu aksi-aksi inkonstitusional yang saat ini terjadi di beberapa tempat. Untuk itu, relasi pemahaman agama dengan aksi kekecewaan yang tidak wajar ini tentu tidak dapat dinihilkan. Tinjauan terhadap apa yang kita pahami dari ajaran agama dan kehadiran kita di dalam kesatuan kenegaraan menjadi kajian yang harus diperhatikan. Hal itu dimaksudkan agar ekspresi politik dengan beragam bentuknya tetap tidak keluar dari lajur konstitusional.

Dikutip dari laporan detiknews  per jam 09.00 WIB (22/05/2019) setidaknya terdapat 6 orang yang sudah tercatat meninggal dunia sebagai korban kerusuhan di Jakarta. Tentu jatuhnya korban jiwa tersebut menambah dalam keprihatinan kita semua, betapa ekspresi kekecewaan inkonstitusional itu memang bukanlah pilihan yang tepat. Anarkisme dan brutalitas bukanlah jalan demokrasi yang tepat, semua kerugian akan kembali kepada rakyat.

Sebagai jalan tempuh awal untuk meredakan segala kerumitan yang saat ini mendera bangsa dan negara yang kita cintai ini setidaknya ada dua peluang. Pertama hadirkan pesan damai dan politik santun dengan menepikan segala bentuk kecongkakan. Surat al-Baqarah ayat 247 dirasa sangat relevan dengan memberikan suatu penjelasan yang detil mengenai kekecewaan politik dan realitas yang telah ditentukan Allah.

Dalam ayat tersebut, Allah telah menentukan suatu kenyataan dengan menunjuk Thalut sebagai pemimpin bagi kaum Bani Israil. Namun kenyataan tersebut tidak seperti yang diinginkan oleh Bani Israil, bahkan kekecewaan tersebut disikapi dengan kesombongan dengan mengaku “kami lebih baik dari dia”.  Kesombongan inilah yang menjadi bibit dari segala penentangan, tidak hanya berakibat pada tindakan yang inkonstitusional, bahkan secara tidak sengaja malah justru terkesan menyalahkan Tuhan. Hal ini terbukti dalam rangkaian ayat tersebut, secara gamblang Allah menyampaikan bahwa Allah yang menunjuk sesorang menjadi pemimpin beserta kelebihan yang melekat pada yang bersangkutan, Dialah juga yang memberikan kekuasaan dan Dia juga yang Maha Mengetahui segalanya.

Kecongkakan dalam berbagai variannya, termasuk merasa menang adalah salah satu penyebab bangkitnya ekspresi politik yang berlebihan, hingga harus mengabaikan lajur konstitusional. Bahkan barangkali tidak sempat terpikirkan akan terjadi korban jiwa seperti yang terjadi saat ini. Untuk itu jalan tempuh yang kedua yang dapat diaharapkan adalah pernyataan kesatria dari papa politisi dan pihak-pihak yang merasa kecewa dengan menepikan sementara kecongkakan kolektif tersebut dengan menerima kenyataan sebagai bagian dari kenyataan yang telah ditentukan oleh Tuhan. 

Secara sederhana, agamawan dan politisi saat ini harus hadir untuk menurunkan segala kecongkakan sesuai dengan otoritas dan kapasitasnya masing-masing. Agamawan menyampaikan pesan kedamaian, politisi nyatakan kelegaan. Sederhana, tapi sangat diharapkan.

Oleh: Ach Tijani

 

 

Tags