NU dan Darul Islam

 
NU dan Darul Islam

Oleh NADIRSYAH HOSEN *

LADUNI.ID, Jakarta - Menurut KH Sa'id Aqil Siraj, Ketum PBNU, dalam ceramah di Pondok Pesantren Dar al-Tauhid, Arjawinangun, Cirebon, 28-09-13, seperti dikutip oleh KH Husein Muhammad: "Ulama NU dalam pertemuan di Banjarmasin, 1936, menginginkan: "Negara Darus salam (Negara Damai), bukan Darul Islam (Negara Islam)."

Saya pernah memberi komentar kepada Pak Kiai Husein sebagai berikut:

"Maafkan kelancangan saya. Saya kira kita harus bersama-sama melihat ulang dokumentasi muktamar Banjarmasin tersebut agar tidak terjadi distorsi informasi. Sependek bacaan saya, muktamar Banjarmasin justru menyebutkan kalau Indonesia ini adalah Darul Islam. Konteks pertanyaan saat itu adalah apa nama negara kita secara syara' dan muktamar menjawab bahwa secara syara' negara kita ini adalah Darul Islam yang karenanya wajib dipertahankan karena dulu sudah ada kerajaan Islam di nusantara ini, meskipun kemudian penjajah kafir datang, tapi kita tetap menamai wilayah ini sebagai Darul Islam. Rujukan muktamar banjarmasin itu dari kitab Bughyatul Mustarsyidin."

"Di samping itu," saya melanjutkan komentar saya, "istilah Darus Salam tidak dikenal dalam kajian fiqh siyasah klasik. Yang dikenal itu adalah Darul Islam atau Darul Harbi. Belakangan baru muncul istilah yang 'tengah-tengah' seperti darul sulh, dar al-amn, dar al-hudnah, dar al-'ahd. Istilah darus salam itu tidak ada dalam Bughyatul Mustarsyidin, yang dijadikan rujukan dalam muktamar Banjarmasin. Jadi, dari mana Ketum PBNU bisa berpendapat seperti di atas?"

Saya dulu meneliti fatwa-fatwa NU sejak muktamar pertama sampai muktamar Lirboyo. Setelah itu saya tidak ikuti lagi dengan detil. Makanya saya dulu kaget saat Gus Dur (Allah yarham) mengutip keputusan muktamar Banjarmasin tapi dengan istilah darus salam, padahal muktamar menyebut darul Islam. Bahkan tulisan KH Achmad Siddiq (Allah yarham) pun seingat saya juga menyebut darul Islam saat merujuk pada muktamar Banjarmasin. Begitu juga dengan peneliti NU dari luar seperti Prof Nakamura. Saya kira itu bagian dari 'siyasah' ala Gus Dur saat berhadapan dengan orde baru. Tapi kini perlu kita telurusi kembali dokumen muktamar Banjarmasin dan sedapat mungkn ketua umum PBNU saat ini jangan hanya mengulang-ulang istilah darus salam itu sebelum memeriksa kembali dokumen muktamar.

Sebenarnya NU tidak perlu malu kalau pernah menganggap Indonesia ini sebagai darul Islam. Konsekuensi dari menganggap wilayah nusantara sebagai darul Islam dalam pengertian fiqh siyasah adalah: para pejuang yang membela tanah air itu masuk kategori mati syahid; bukan mati konyol, presiden RI sah hukumnya mengangkat hakim agama, dan umat tidak perlu hijrah ke negeri Islam lainnya karena wilayah ini bukan darul harbi. Dalam konteks penerimaan Pancasila, ini juga tidak perlu dipertentangkan karena Pancasila itu sudah bagian dari darul Islam dalam pengertian fiqh siyasah klasik. Saya kira perlu ada kajian ulang terhadap keputusan muktamar NU Banjarmasin.

Saya kirimkan al-fatihah untuk para ulama kita yang hadir di muktamar Banjarmasin tahun 1935/36 dan untuk para ulama kita yang pada tahun 1984 telah menerima NKRI sebagai bentuk final dalam kehidupan kita berbangsa dan bernegara. Lahumul Fatihah...

(Prof. Nadirsyah Hosen)