Bendera Alam Peudeung dalam Perspektif Sejarah Aceh

 
Bendera Alam Peudeung dalam Perspektif Sejarah Aceh

LADUNI. ID, SEJARAH-Sebuah nadham Aceh yang hingga kini masih dinyanyikan masyarakat Aceh, untuk mengambarkan betapa sulitnya penjajah menduduki tanah rencong ini.

Namun, awal dari kalimat dalam nadham tersebut adalah simbol pemersatu rakyat Aceh yaitu “alam peudeung” yang dimaknai sebagai Bendera Aceh. Sejauh pengetahuan saya, hampir seluruh kerajaan di Indonesia memiliki bandera kebesaran mereka.

“Di Aceh na alam peudeung, Cap sikureung bak jaroe raja, Phon di Aceh troh u Pahang, Tan soe teuntang Iskandar Muda, Bangsa Portugis angkatan meugah, Laju geupinah di Aceh raya, U Melaka keudeh di piyoh, Keunan pih troh geupicrok teuma,”

Tidak terkecuali bandera Kerajaan Mataram yang sampai hari ini masih dikibarkan di Yogyakarta dan sering dijadikan sebagai simbol kerajaan saat kirab para pembesar kerajaan tersebut.

Perihal bandera dalam sejarah Nusantara memang tidak pernah dipermasalahkan, kecuali simbol-simbol tersebut berupaya menghalangi jatidiri bangsa Indonesia yaitu simbol komunis.

Alasan utama menyampaikan nadham tersebut dengan tafsir mengenai bandera di Nusantara. Dalam dataran akademik, persoalan bendera Aceh bukanlah hal yang baru. Artikel singkat ini berupaya untuk menelaah lebih lanjut tentang bendera Aceh ini yang dalam sejarah lebih dikenal dengan “alam Aceh".

Jika ada anggapan bahwa bendera bergaris merah, hitam dan putih dihiasi bulan bintang itu sebagai “Bendera GAM”. Ini anggapan keliru. GAM tidak punya bendera sendiri; yang digunakan GAM di masa konflik adalah bendera Aceh, yang telah wujud ratusan tahun.

Bendera itu hampir sama dengan bendera Turki. Dalam hal ini, salah satu kajian yang paling komprehensif adalah karya Anthony Reid (2005) mengenai pengaruh Turki Utsmani, termasuk penggunaan bandera mereka di bumi Serambi Mekkah.

GAM lahir pada tanggal 4 Desember 1976, sedangkan sejarah penggunaan bandera tersebut telah dimulai ratusan tahun yang lalu. Dengan kata lain, bandera Aceh adalah warisan sejarah dan identitas wangsa Aceh, serta tidak ada kait mengait dengan GAM.

Marsden pernah mengatakan dalam “The History of Sumatra”, bahwa Aceh adalah satu satunya kerajaan Islam di Nusantara yang pernah meraih kemajuan politik dalam pandangan orang barat. Karena berbagai “transaksi yang ia lakukan telah menjadi pembahasan sejarah. Dengan kekuatan ini, Portugis tidak mampu menancapkan kaki di Aceh dan para sultannya menerima banyak tamu dari pengusasa Eropa” (Amirul Hadi: 2010).

Caroline Finkel dalam bukunya “The Story of the Ottoman Empire 1300-1923” mengatakan, “Muslim sultanate of Aceh, when threatened by Portuguese expansionism, sought Ottoman assistance. The Ottoman troops were sent to aid the sultan against the Portuguese in 1537, 1547, 1566 Aceh formally requested the protection of the Ottomans. The Ottomans fleet set out from Suez to aid Aceh, and the Ottomans flag used by the sultanate of Aceh.” (Caroline Finkel: 2005). Inilah hubungan persaudaraan antara Turki dan Aceh yang sampai hari ini masih diinginkan berlanjut, khususnya dalam hubungan pendidikan dan kebudayaan.

Maka tidak heran, bendera resmi kerajaan Aceh adalah dasar merah dengan bulan bintang di tengah sebagai simbol Islam sama seperti Turki dan ini juga menunjukkan bahwa kerajaan Aceh berlandaskan Alquran dan Alhadist.

Penulis : M Adli Abdullah-Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh/Mantan Sekjen Panglima Laot Aceh/Lulusan Doktor USM Malaysia.Acehsatu