Menghadapi Era Post-Truth

 
Menghadapi Era Post-Truth

LADUNI.ID - Kenyataan obyektif hari ini tidak lagi banyak memberikan dampak apapun terhadap opini publik. Masyarakat kini lebih tertarik dengan pernyataan-pernyataan yang meledak-ledak, walau nir-fakta sekalipun. Kenyataan dunia saat ini kurang lebih sama dengan masa kejayaan mitos 5 abad SM, walau tentu tidak dapat dikatakan persis sama. Keadaan inilah yang kemudian disebut dengan era post-truth.

Post-truth lahir sebagai bagian dari bangkitnya tensi politik. Keriuhannya tidak persis sama dengan hadirnya mitologi di awal manusia memulai membangkitkan kesadaran nalarnya. Post-truth lebih cenderung membangkitkan klaim kebenaran storis bukan kebenaran historis. Mirip perbandingannya dengan konsepsi kebenaran apriori dan aposteriori, walau juga tidak dapat dikatakan sama.

Kehadiran post-truth menjadi genre baru  manusia memuaskan diri, bukan dalam rangka mencari kebenara. Post-truth tidak dapat dikatakan sebagai bagian dari mitos dan juga tidak juga menjadi bagian dari persetegangan antara fakta historis dan nalar logis. Penilaian dan klaim kebenarannya ada pada keberpihakan personal yang berpijar dari rasa suka (like) dan tidak suka (dialike).

Post-Truth Antara Nalar Emotif dan Ilmiah

Keberpihakan pada pilihan suka atau tidak suka (nalar emotiv) sejatinya bersamaan dengan pertumbuhan nalar-logis-empiris (keilmuan). Hanya saja pertumbuhannya beragam antara satu daerah dengan daerah yang lain. Bahkan ada yang sangat jauh gap antara nalar emotiv dan nalar ilmiyah. Di sisi yang lain, nalar emotiv bersifat hereditas mutlak sementara nalar ilmiah bersifat hereditas-konstruktif.

Heridtas mutlak maksudnya, ada dan berada tanpa upaya, kehadirannya melekat pada setiap orang. Sementara heriditas-konstruktif adalah faktor pembawaan yang tetap terus harus mendapatkan pembiasaan, latihan dan pembelajaran. Sisi perbedaan inilah menjadikan kualitas keilmuan antar kelompok manusia di daerah satu dengan yang lain menjadi sangat beragam. Sementara pada sektor heriditas mutlak yang berupa nalar emotiv tetap melekat, sehingga cenderung tidak ada perbedaan antar kelompok yang satu dengan yang lain.

Kehadiran post truth akan lebih lekat pada kelompok manusia yang lemah secara keilmuan. Sehingga akan lahir narasi-narasi ekpresif antara suka dan tidak suka. Semula hal tersebut hanya menggema di tingkat lokal dan kelompoknya saja, namun hari ini dengan kemajuan teknologi akan juga ditangkap oleh kelompok lain yang memiliki ekspresi rasa yang linier. Sehingga jadilah ekspresi tersebut menjadi pernyataan-pernyataan emotif yang kemudian diklaim benar tanpa harus berurusan dengan standar keilmiahan dan kebenaran.

Situasinya semakin akut begitu keadaan di atas ditangkap oleh kalangan kelompok yang memiliki nalar ilmiah yang memadai sebagai kesempatan untuk menaikkan dirinya sebagai penguasa. Ekspresi-ekspresi emotiv tersebut dipelihara serta difabrikasi sedemikian rupa hingga akhirnya nalar emotif itu juga kadang berbobot ilmiah.

Puncaknya sampailah ekspresi suka atau tidak suka hadir secara rasional, walau mungkin tidak dapar dipertanggungjawabkan. Pada akhirnya, saya berkesimpulan bahwa post-truth  itu tidak lebih dari era pemberdayaan kebodohan dan pembodohan. Bukan berarti tidak ada orang pintar, tapi dapat diakui bahwa terlalu banyak orang bodoh yang dimanfaatkan oleh orang pintar. Begitu kira-kira.

Oleh: Ach Tijani

Imam Masjid al-Istiqomah Kubu Raya 

 

 

 

Tags