Nilai Toleransi ala Gusdur

 
Nilai Toleransi ala Gusdur

LADUNI.ID, KOLOMJika kamu membenci orang ka­rena dia tidak bisa membaca Alquran, berarti yang kamu pertuhankan itu bukan Allah, tetapi Alquran. Jika kamu memusuhi orang yang berbeda agama dengan kamu, berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi agama. Jika kamu menjauhi orang yang melanggar moral. Berarti yang kamu pertuhankan bukan Allah, tapi moral. Pertuhankanlah Allah, bukan yang lainnya. Dan pembuktian  bah­wa kamu mempertuhankan Allah, kamu harus menerima semua makh­luk. Karena begitulah Allah. (Gus Dur).

Gus Dur dengan pemikiran dan ke­cerdasannya, berhasil membuat ma­sya­rakat Indonesia duduk berdam­pingan dengan damai.

Tanpa meman­dang perbedaan agama, ras, atau su­ku. Karena beliau sadar betul Indonesia berdiri berasaskan  Pancasila. Dirinya (Gus Dur) bukan sekadar seo­rang yang pernah memimpin perkum­pulan Nahdlatul Ulama,Gus Dur juga bukan hanya mantan Presiden ke em­pat, tetapi Gus Dur adalah guru kehi­dupan, pemberi inspirasi bagi bangsa dan negara, terkhusus rakyat Indonesia.

Dalam sejarah hidupnya, beliau ter­kenal sebagai sosok yang selalu ber­penampilan sederhana. Namun, di balik kesederhanaannya tersimpan kerendahan hati yang mendalam un­tuk diteladani.

Seperti, ketika ia men­jabat menjadi presiden, Ia membuka lebar-lebar pintu Istana untuk rakyat Indonesia. Begitu juga di rumahnya, ia akan dengan senang hati, bagi siapa saja yang ingin meminta bantuan ke­padanya.

Itulah mengapa rumahnya sangat ramai dikunjungi oleh rakyat yang ingin  meminta bantuan, ataupun yang hanya sekadar sowan untuk bertutur sapa. 

Sebuah karyanya yang berjudul “Bersabar dan Memberi Maaf”, ia ju­ga menyebutkan beberapa tokoh du­nia akan pentingnya memaafkan dan konsep perdamaian. Salah satunya ialah Mahatma Gandhi, seorang pe­juang kemanusiaan dari India.

Dalam hal ini Gus Dur menggambarkan Gandhi adalah sosok yang menolak kekerasan dalam perjuangannya di tanah India kala itu.

Selain itu, Gus Dur juga mengambil contoh Marthin Luther King, seorang yang terkenal gigih memperjuangkan hak-hak sipil warga kulit hitam di Amerika Sarikat.

Sejatinya, Gus Dur ingin menun­jukkan bahwa hal yang paling sakral dari hidup ialah bagaimana kita men­jadi manusia yang sabar dan senan­tiasa ikhlas untuk memaafkan. Sebab, suatu keikhlasan tidak akan tercapai tanpa adanya kesabaran.

Itulah salah satu keindahan bahwa suatu kesaba­ran dan budaya memaafkan seringkali diadopsi sebagai jembatan untuk me­ng­antarkan seseorang dalam kebai­kan.

Suroso, Penulis mahasiswa Studi Agama-Agama UIN Sunan Kalijaga