KH Muslim Rifa’i Imam Puro, Ulama Pencetus NKRI Harga Mati

 
KH Muslim Rifa’i Imam Puro, Ulama Pencetus NKRI Harga Mati

Oleh PUJI NUR WIWIK

LADUNI.ID, Jakarta - K.H. Muslim Rifa’i Imam Puro adalah seorang kiai yang lahir di Klaten. Seorang kiai yang akrab disapa dengan panggilan “Mbah Liem” adalah keturunan Kiai Imampuro, ulama ternama dari Keraton Surakarta Hadiningrat. Namun Mbah Liem telah memilih untuk meninggalkan keraton dan hidup dalam kesederhanaan, karena ingin hidup di tengah-tengah masyarakat dengan mengabdi dan mengasuh santri.

Banyak kisah-kisah dari Mbah Liem yang saya dengar dari salah satu anaknya, yaitu Jalaluddin Muslim. Di antaranya yaitu, Mbah Liem merupakan santri kesayangan Kiai Sirodj, seorang pengasuh Pesantren Pajang Kartasura. Mbah Liem menimba ilmu agama di bawah asuhan Kiai Sirodj sampai tahun 1953. Kemudian setelah menimba ilmu agama di pesantren, Mbah Liem sempat menjadi pegawai negeri. Namun Mbah Liem merasa tidak nyaman menjadi pegawai negeri. Akhirnya Mbah Liem mengundurkan diri sebagai pegawai negeri. Mbah Liem lebih memilih untuk mengembara mencari ilmu hakikat. Mbah Liem pun mengembara dari pesantren ke pesantren.

Pada tahun 1959, Mbah Liem datang ke dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten atas dawuh Mbah Sirodj atau Kiai Sirodj Panularan Solo. Mbah Liem diterima baik oleh Mbah Iman Dikromo. Karena dawuh Kiai Sirodj untuk mengembangkan visi agama Islam, Mbah Liem memutuskan untuk tinggal di dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten dan mendirikan pondok pesantren. Kiai Sirodj, guru Mbah Liem, berpesan untuk mengajak warga dan membimbing santri di dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten. Mbah Liem mengajarkan Islam yang ramah kepada semua makhluk Allah SWT, menghadirkan Islam yang penuh kedamaian.

Pada tahun 1967, Mbah Liem mendirikan Yayasan Al Muttaqien Pancasila sakti di dukuh Sumberejo, Troso, Karanganom, Klaten. Semua yayasan memakai nama “Pancasila Sakti” karena dahulu ada kunjungan pejabat tinggi, nasionalisme Mbah Liem bisa mempersatukan kebhinekaan. Mbah Liem bersama istrinya, Nyai Hj. Ummu As’adah bersemangat, bertekad kuat dalam berdakwah dan mengajak masyarakat memahami hakekat Islam. Ketika mengajar Mbah Liem selalu menanamkan dan memupuk rasa cinta tanah air kepada santri-santrinya. Sebelum memulai kegiatan Mbah Liem selalu mengajak santrinya untuk menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Beberapa keunikan yang dimiliki Mbah Liem, yaitu Bendera Merah Putih tak pernah diturunkan, selalu dikibarkan terus menerus. Walaupun menurut aturan tak boleh, namun Mbah Liem tak menghiraukan aturan yang ada dan selama ini juga belum pernah mendapat teguran dari siapapun. Selain itu, ketika naik sepeda Mbah Liem selalu menempati posisi nomor satu, teman-teman yang lainnya ketinggalan jauh dengan Mbah Liem. Kecintaan pada tanah air yang sangat luar biasa juga terdapat dalam diri Mbah Liem, karena Mbah Liem adalah seorang kiai penjaga keutuhan NKRI dan nasionalis sejati.

Semenjak Pancasila sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia mulai dipersoalkan oleh kelompok radikal maka para kiai terutama Mbah Liem dalam setiap acara apapun terus mengatakan dan mendoakan agar NKRI Pancasila Aman Makmur Damai HARGA MATI.

Mbah Liem kalau berpidato selalu judul utamanya adalah tentang kebangsaan dan kenegaraan, kurang lebih kalimatnya “mugo-mugo NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati” (Semoga NKRI Pancasila Aman Makmur Damai Harga Mati).

Di masjid Pondoknya Mbah Liem setiap setelah iqomat sebelum sholat berjama’ah selalu diwajibkan membaca do’a untuk umat Islam, bangsa dan negara Indonesia, berikut doanya:

Subhanaka Allahumma wabihamdika tabaroka ismuka wa ta’ala jadduka laa ilaha Ghoiruka.

Duh Gusti Alloh Pangeran kulo, kulo sedoyo mbenjang akhir dewoso dadosno lare ingkang sholeh, maslahah, manfaat dunyo akherat bekti wong tuo, agomo, bongso maedahe tonggo biso nggowo becik ing deso, soho NEGORO KESATUAN REPUBLIK INDONESIA PANCASILA KAPARINGAN AMAN, MAKMUR, DAMAI. Poro pengacau agomo lan poro koruptor kaparingono sadar-sadar, Sumberejo wangi berkah ma’muman Mekah.”

Menurut kesaksian Habib Luthfi bin Yahya dalam buku Fragmen Sejarah NU karya Abdul Mun’im DZ mengatakan, pada saat Panglima TNI Jenderal Benny Moerdani datang ke Pesantren Al-Muttaqien Pancasila Sakti Klaten, Mbah Liem meneriakkan yel, NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! NKRI Harga Mati...! Pancasila Jaya, maka sejak itulah yel-yel NKRI Harga Mati menjadi jargon, slogan tidak hanya di NU tapi di beberapa pihak seperti di TNI. Jadi slogan atau jargon “NKRI Harga Mati, Pancasila Jaya” dicetuskan oleh KH Muslim Rifai Imampuro atau Mbah Liem.

Mbah Liem meninggal pada Kamis, 24 Mei 2012 tepatnya diusia 90 tahun. Jenazah Mbah Liem dimakamkan di Joglo Perdamaian Umat Manusia Sedunia kompleks Pondok Pesantren Al Muttaqien Pancasila Sakti. Sekitar makam Mbah Liem dihiasi bendera merah putih. Mbah Liem yang begitu nasionalisme telah mewasiatkan agar makamnya dihiasi dengan warna merah putih. Warna tersebut adalah warna bendera Indonesia. Itu adalah bukti kecintaan beliau terhadap NKRI.


*) Artikel ini ditulis oleh Puji Nur Wiwik, Lembaga Ta'lif wan Nasyr Nahdlatul Ulama Klaten