Tafsir Zaman Now

 
Tafsir Zaman Now

LADUNI.ID - Pagi ini, sesuai rencana saya akan berangkat menghadiri kegiatan Annual Meeting Asosiasi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir (AIAT) se-Indonesia yang ke-4.  Sesuai undangan, kegiatan ini dijadualkan akan dilaksanakan selama 3 hari, mulai hari Senin-Rabu, 19 s/d 21 Agustus 2019 di Yogyakarta. AIAT merupakan wadah dari Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir (IAT/IQT) yang ada di seluruh Perguruan Tinggi Agama Islam, baik negeri maupun swasta, serta wadah dari para ilmuwan dan praktisi penggiat kajian Al-Qur`an dan Tafsir se-Indonesia. Kegiatan Annual Meeting kali ini akan dirangkai juga dengan seminar nasional yang bertajuk “Studi Al-Qur`an di Era Disrupsi: Peluang dan Tantangan”. Salah satu pemateri yang dijadwalkan hadir adalah KH.Bahauddin Nursalim atau yang biasa disapa dengan sebutan Gus Baha. Pakar tafsir Indonesia yang belakangan ini kajian-kajannya banyak digandrungi para netizen, kiyai produk asli pondok pesantren salaf dan merupakan salah satu santri kesayangan Mbah Moen (Alm.KH.Maimun Zaubair).

Sebagai akademisi yang diamanahi tugas tambahan sebagai ketua prodi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir (IAT), sekalipun berlatar belakang pendidikan akademik saya bukanlah tafsir, saya sangat tertarik untuk mengikuti kegiatan ini. Selain sebagai media untuk membicarakan kerangka kurikulum dan keorganisasian prodi IAT, kegiatan ini saya yakini juga akan menampilkan tema-tema menarik tentang kajian al-Qur`an dan tafsir. Ia, al-Qur`an memang selalu menjadi samudera ilmu yang tidak pernah kering untuk diarungi, serta menjadi bahan kajian yang tidak pernah usang, wilayah kajian dan kandungannya selalu up to date, shālihun likulli zamānin wa makānin.

Al-Qur`an betul-betul menjadi sumber ilmu pengetahuan. Upaya untuk terus memahami kandungan al-Qur`an serta menggali segudang pengetahuan yang tersimpan di dalamnya telah dimulai sejak pertama kali al-Qur`an diturunkan. Pada masa kenabian, saat nabi Muhammad saw. masih hidup, maka beliau menjadi rujukan utama dalam memahami dan menafsirkan al-Qur`an. Para sahabat akan bertanya kepada beliau setiap kali menemukan ayat-ayat yang tidak mereka pahami. Setelah berakhirnya masa nubuwah, maka sumber penafsiran dan tempat bertanya beralih kepada para sahabat nabi, khususnya para sahabat yang banyak mendengar riwayat dari nabi. Salah satu sahabat yang menjadi rujukan para sahabat lainnya dalam memahami kandungan al-Qur`an adalah Abdullah bin Abbas. Sahabat yang sekaligus saudara sepupu nabi ini terkenal sebagai orang yang berpengetahuan luas, banyak meriwayatkan hadis shahih, dan menjadi rujukan dalam bidang al-Qur`an dan tafsir. Hal ini sangat wajar mengingat sewaktu kecil beliau pernah didoakan langsung oleh baginda nabi agar kelak dapat menjadi orang yang memiliki pemahaman mendalam mengenai agama Islam dan ilmu tafsir.

Keseriusan dalam mempelajari al-Qur`an dan tafsir juga berlangsung pada masa tabi`in. Kalangan tabi`in akan berguru kepada para sahabat nabi yang bias ia temui, terutama kepada Abdullah bin Abbas. Adalah seorang Mujahid bin Jabir (21-104H) yang tercatat sebagai ulama besar dari kalangan tabi`in yang sangat getol mempelajari al-Qur`an, serta banyak meriwayatkan hadis dengan derajat periwayatan yang terpercaya. Begitu luasnya keilmuan dan terpercayanya periwayatan yang ia sampaikan, hingga Sufyan as-Tsauri pernah berkomentar “idzā jāaka at-tafsîru `an Mujāhid fa hasbuka bihi” (apabila ada tafsir yang disampaikan oleh Mujahid, maka cukuplah itu bagimu). Ungkapan ini bukan tidak beralasan, sebab diriwayatkan oleh Ibnu Katsir bahwa tidak ada satu ayatpun dalam al-Qur`an yang terlewat oleh Mujahid bin Jabir, kecuali beliau telah menanyakan kandungannya kepada sahabat Ibnu Abbas.

Upaya untuk terus memahami al-Qur`an terus berlangsung pada generasi-generasi berikutnya. Banyak ulama-ulama tafsir (mufassirîn) yang bermunculan. Memasuki penghujung abad pertama dan masuk ke awal abad ke dua hijriah sudah mulai muncul pembukuan tafsir, yang walaupun pada saat itu masih banyak dibukukan bersamaan dengan hadis nabi. Kemudian memasuki fase berikutnya barulah tafsir ditulis tersendiri, terpisah dari pembahasan hadis. Ayat-per ayat dalam al-Qur`an diberikan penafsirannya dan ditulis secara berurutan, sesuai dengan urutan dalam mushaf (Tartib Mushafi). Di antara ulama tafsir yang menulis kitab tafsirnya pada masa itu adalah Ibnu Jarir at-thabāri (w:310) dengan nama kitabnya Jami`u al-Bayān fi Ta`wîli al-Qur`an atau yang lebih popular dengan sebutan Tafsir at-Thabāri.

Pembukuan tafsir semakin berkembang pada fase-fase berikutnya. Banyak kitab-kitab tafsir yang ditulis oleh para ulama, dengan menggunakan aneka macam corak dan model-model penafsiran yang beragam. Ada tafsir al-Qur`an yang model penafsirannya disajikan berdasarkan urutan turunnya surah (tafsir nuzuli), menggunakan model tanya jawab, dan pakai nadzam (bait-bait). Dari sekian banyak corak penyajian kitab tafsir itu, ada satu kitab tafsir yang cukup unik, sangat kreatif dan terbilang anti mainstream. Kitab tafsir itu ditulis dengan menghindari penggunaan huruf hijaiyah yang bertitik, seperti huruf ba`,ta`,tsa`, jim, kho`, dzal, zai, syîn, dhad, dzha`, ghin, fa, qaf, nun dan ya`. Setidaknya ada dua kitab tafsir yang ditulis yang ditulis dengan pola ini, yaitu kitab Sawāthi`ul Ilhām li hilli Kalāmillahi al-Maliki al-`Allām karya Faydhullah bin Mubarak al-Akbar Abādi sebanyak 6 jilid, dan kitab Durru al-Asrār fi Tafsîri al-Qur`an bi al-Hurûfi al-Muhmalati karya Mahmud bin Muhammad al Hamzawi al Hanafi sejumlah 2 jilid. Ga` kebayang kan bagaimana sulitnya nulis kitab tafsir berjilid-jilid dengan menghindari beberapa huruf tertentu, pokoknya wow lah.

 

Fenomena Penafsiran Zaman Now

Semangat untuk mempelajari al-Qur`an di Indonesia dewasa ini juga nampak terus meningkat. Terbukti dengan maraknya program Tahfidz Qur`an dan kajian al-Qur`an, serta menjamurnya lembaga-lembaga pendidikan al-Qur`an, termasuk juga pembukaan program studi ilmu al-Qur`an dan Tafsir di berbagai perguruan tinggi Islam. Di tengah semaraknya kajian al-Qur`an dan tingginya animo masyarakat muslim untuk mempelajari al-Qur`an beserta tafsirnya, terdapat fakta yang terbilang miris dan sekaligus menggelikan, yaitu munculnya fenomena tafsir cucokologi, tafsir ngasal dengan metode cocok-mencocokkan.

Contoh penafsiran model ini adalah terkait dengan angka-angka dan peristiwa. Sebut misalnya memberikan angka pada setiap huruf pada nama seseorang, kemudian angka-angka yang dihasilkan dari huruf-huruf pembentuk nama tersebut dijumlahkan, kemudian dicari-carikan urutan ayat dan urutan surat dalam al-Qur`an. Misal jumlah yang dihasilkan adalah 98, maka dicarilah ayat ke 9 dalam surat ke 8, atau sebaliknya. Ada juga yang mengaitkan waktu da kejadian suatu peristiwa dengan urutan ayat-ayat al-Qur`an. Misalnya ada peristiwa gempa bumi yang terjadi pada tanggal 2 bulan 12, maka dicarilah maknanya pada ayat ke 2 dari surat ke 12, ataupun sebaliknya.  

Pola penafsiran di atas tentunya tidak memiliki metode penafsiran yang dibenarkan, dan bahkan dapat menyebabkan al-Qur`an tercerabut dari kesakralannya. Al-Qur`an tak ubahnya seperti buku ramalan, atau kitab Mujarrabat yang sewaktu di pesantren dulu banyak dijadikan kitab simpanan para santri. Untuk mempelajari al-Qur`an pastilah memerlukan seperangkat keilmuan pendukung. Ketika al-Qur`an dipahami secara bebas dengan mengabaikan perangkat keilmuan yang melingkupinya, maka cenderung akan menghasilkan penafsiran yang jauh dari nilai kebenaran al-Qur`an.

Al-Qurthubi dalam pengantar tafsirnya menegaskan agar menghindari dua corak penafsiran al-Qur’an. Pola penafsiran yang pertama adalah si penafsir sudah memiliki opini awal, lantas dengan opini yang terkonstruk dalam benaknya tersebut kemudian ia menafsirkan al-Qur`an sesuai dengan opini yang telah terbentuk sebelumnya. Pola ini menjadikan al-Qur`an sebagai alat justifikasi atas pikiran-pikirannya, bukan memposisikan al-Qur`an sebagai sumber inspirasi. Sederhananya pola ini adalah cocok-mencocokkan pikiran dengan al-Qur`an. Pola kedua adalah hanya melihat makna ayat dari aspek bahasa Arab saja tanpa melihat riwayat tentang makna yang tidak jelas (gharāib) dan lafaz yang samar, ambigu, tersembunyi, dan lainnya. Pola penafsiran semacam ini di Indonesia identik dengan penafsiran yang hanya bermodalkan terjemahan al-Qur`an semata.

Mengacu pada realitas tersebut, maka pertemua prodi IAT dan para ilmuan serta penggiat kajian al-Qur`an dan Tafsir se-Indonesia yang akan dilaksanakan mulai esok hari menemukan momentumnya. Dengan dirimuskannya kerangka kurikulum tafsir yang akan dipedomani oleh seluruh prodi IAT/IQT se-Indonesia diharapkan mampu untuk menghasilkan lulusan yang menguasai ilmu-ilmu dalam bidang al-Qur’an dan Tafsir serta memiliki kompetensi utama dan kompetensi tambahan yang telah ditetapkan .

Oleh: Buhori, M.Pd

(Ketua Program Studi Ilmu Al-Qur`an dan Tafsir IAIN Pontaian)

 

 

Tags