Saat Kiai Asnawi Berhadapan dengan Pengadilan Belanda

 
Saat Kiai Asnawi Berhadapan dengan Pengadilan Belanda

LADUNI.ID, Jakarta - Suatu hari, tinggallah seorang ulama besar yang sangat berpengaruh dan teguh pendiriannya di daerah Kudus. Ulama tersebut bernama Kiai Haji Raden Asnawi. Waktu itu, beliau merupakan A’wan Syuriah Nahdlatul Ulama.

Pada zaman kolonial Belanda, dia dihadapkan ke Pengadilan Negeri (landraad) karena tuduhan melakukan delik penghinaan kepada orang yang tidak shalat sebagai orang kafir atau orang gila.

Sebagaimana penuturan dari KH Saifuddin Zuhri dalam memoarnya berjudul Berangkat dari Pesantren, ulama tersebut sudah berusia lanjut dan sangat berpengaruh dalam masyarakat Kudus. Oleh karena itu ketua pengadilan secara persuasif meminta terdakwa mencabut kata-katanya dengan alasan tergelincir lidah (slip of the tongue).

“Tetapi ajakan itu ditolak mentah-mentah,” kata Menteri Agama era Presiden Sukarno itu.

Menurutnya, Kiai Asnawi menegaskan bahwa dirinya sekadar mengatakan apa yang tersebut dalam kitab Fiqih: Falaa tajibu ‘alaa kafirin ashliyyin wa shobiyyin wa majnuunin, yang artinya: ‘maka sembahyang itu tidak wajib dikerjakan oleh orang kafir, anak masih bayi, dan orang gila’.

“Dengan demikian maka siapa pun yang tidak melakukan sembahyang atau yang merasa dirinya tidak dibebani kewajiban sembahyang, sama lah artinya dengan menyamakan dirinya orang gila. Yang menamakan dirinya sama dengan orang gila ialah pengakuannya sendiri berdasarkan bunyi kitab Fiqih, saya sekadar menerangkan bunyi kitab itu,” kata Kiai Asnawi membela diri.

Berdasarkan kesaksian tersebut, pengadilan menjatuhkan hukuman denda sebesar 100 gulden. Namun, Kiai Asnawi tidak memiliki uang sebanyak itu. “Kalau tak mampu membayar denda 100 gulden, Pak Kiai mesti masuk penjara sekian hari,” kata ketua pengadilan.

Namun, Kiai Asnawi keberatan. Alasannya, masuk penjara bagi orang tua seperti dirinya amat menyusahkan. “Lagi pula bagaimana nasib santri-santri saya? Siapa yang mengajar mereka? Siapa yang mengimami sembahyang?” tanya Kiai Asnawi menebar pandangan ke sekeliling ruang pengadilan. Dia tetap berdiri dibantu tongkat dengan kepala tegak.

Majelis menjadi riuh. Ketua pengadilan menskor persidangan sambil berunding dengan jaksa. “Perundingan sambil berbisik itu diakhiri dengan sang ketua pengadilan merogoh dompet dari kantongnya dan menyerahkan sejumlah uang kepada jaksa,” kata Saifuddin, ayah dari Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin tersebut.

“Pak Kiai, ini ada uang seratus gulden, harap Pak Kiai membayarkan dendanya,” kata jaksa.

Kiai Asnawi pun dibebaskan dengan membayar denda tersebut.