Kisah Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Sakti Condromowo Nganjuk

 
Kisah Kedekatan Gus Dur dengan Kiai Sakti Condromowo Nganjuk

LADUNI.ID, Jakarta - Banyak hal yang bisa dijadikan pelajaran dan teladan dari sosok KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Selain pernah menduduki sebagai Presiden Republik Indonesia, Gus Dur adalah tokoh masyarakat memiliki banyak kelebihan dengan tingkat kealiman yang mumpuni.

Salah satu hal yang membuktikan itu adalah cerita dari Ainur Rofiq Al Amin, Tambakberas Jombang tentang Gus Dur ketika mengunjungi Kiai Abu Hakim Abdurrahman atau Kiai Condromowo Nganjuk yang dikenal dengan kesaktiannya.

***

Beberapa waktu lalu, saya ziarah ke makam leluhur di Cepoko Nganjuk. Di makam itu banyak kiai yang disemayamkan, antara lain adalah Kiai Muhtar dan Kiai Abdurrahman.

Pertama, Mbah Kiai Muhtar adalah putra Kiai Ali Imron (pendiri Pondok Mojosari Nganjuk). Kiai Muhtar ini menantu Bupati Pertama Berbek yakni KRT. Sosrokoesoemo I atau sering dipanggil dengan sebutan Kanjeng Djimat. Mbah Kiai Muhtar mempunyai anak lelaki bernama Kiai Imam Asyraf. Mbah Imam Asyraf mempunyai putri bernama Mbah Raden Khodijah yang selanjutnya dinikahkan dengan Kiai Hamid Chasbullah (adik KH. Wahab Chasbullah) Tambakberas Jombang.

Kedua, Kiai Abdurrahman adalah guru dari Ayah Gus Miek, yaitu KH. Jazuli Usman (pendiri pesantren Ploso Kediri), juga guru dari KH. Abdul Kholiq bin KH. Hasyim Asy’ari. Kiai Abdurrahman semasa hidupnya memangku pondok di Sekarputih, Nganjuk. Beliau adalah kiai sakti dan alim. Kealimannya dibutikan ketika beliau menjadi pentashih kitab karya Kiai Ihsan Jampes Kediri, yakni kitab Sirajut Thalibin, syarah dari kitab Minhajul ‘Abidin karya Imam al-Ghazali. Kesaktiannya antara lain beliau dikenal dengan sebutan Kiai Condromowo.

Kata Pak Lek saya, “Condromowo kuwi opo seng disawang rodok suwi, iso kobong. Mulane kitabe Mbah Durohman gosong kabeh, padahal wes diobat abetne nek ngaji.” Maksudnya adalah, saat melihat kertas agak lama, maka kertas itu terbakar. Maka bila beliau membaca, kitabnya agak digerakkan pelan-pelan agar tidak terbakar, sekalipun demikian, kitabnya masih gosong.

Sementara itu, putra Kiai Abdurrahman adalah Mbah Kiai Hakim, mursyid Tarekat Syadziliyah. Mbah Kiai Hakim yang dulu biasa dikunjungi Gus Dur ini bisa disebut kiai nyentrik. Dua hal yang saya lihat sendiri kenyentrikannya.

Pertama, saat saya masih bujang, pernah sowan dengan mengajak teman yang anggota Hizbut Tahrir. Setelah salaman (jabat tangan), beliau langsung berucap, “Ayo, aku kamu tes (uji) hadis apapun, aku akan hapal. Entah sindiran ini ditujukan ke siapa. Yang jelas niat saya hanya ingin minta amalan. Lalu saat saya minta amalan, beliau malah bilang, “Datangi Kiai Fulan di daerah Bagor sana. Dia ahli pencak dan amalan.” Akhirnya saya pamit lalu mencari Kiai Fulan tersebut.

Kedua, saat acara reuni keluarga besar di Nganjuk, yang saat itu Kiai Faqih Langitan juga rawuh. Di akhir acara, pembawa acara menyampaikan bahwa doa akan dipimpin Kiai Faqih, Kiai Hakim dan beberapa kiai lain yang saya lupa namanya. Kiai Hakim saat diberi mikrofon sontak bilang, “Sudah, saya saja yang berdoa.” Lalu beliau berdoa dengan bahasa Jawa dan Indonesia. Setelah itu tidak ada doa lagi. Untuk semua kiai yang mulia di atas, Alfatihah…

(Ditulis oleh Ainur Rofiq Al Amin, Tambakberas Jombang).