Menyoal Perawi Kadzdzab

 
Menyoal Perawi Kadzdzab

LADUNI.ID - Banyak yang berasumsi bahwa perawi “kadzdzab” (pendusta) secara otomatis haditsnya palsu. Dengan kaidah itu, mereka main pukul serampangan; poko’e setiap hadits yang sanadnya terdapat perawi “kadzdzab”, haditsnya pasti palsu. Dengan kaidah ini pula, al-Hafizh Ibnul Jauzi rahimahullah dalam kitab al-Maudhu’at-nya, mendapat kritik dan bantahan dari banyak huffazh hadits. Beliau kerap menerapkan kaidah: “Setiap hadits yang jalur sanadnya terdapat perawi kadzdzab, maka haditsnya palsu” dalam menilai kepalsuan hadits.

Al-Hafizh as-Sakhawi rahimahullah dalam Fath al-Mughits berkata:

ولذا انتقد العلماء صنيعه إجمالا والموقع له في استناده في غالبه لضعف راويه الذي رمى بالكذب مثلا غافلا عن مجيئه من وجه آخر وربما يكون اعتماده في التفرد قول غيره ممن يكون كلامه فيه محمولا على النسبي هذا مع أن مجرد تفرد الكذاب بل الوضاع ولو كان بعد الاستقصاء في التفتيش من حافظ متبحر تام الاستقراء غير مستلزم لذلك بل لا بد معه من انضمام شيء مما سيأتي

“Karena ini, secara global ulama mengkritik apa yang telah diperbuat Imam Ibnul Jauzi. Beliau melakukan yang demikian sering karena alasan perawi lemah yang tertuduh berdusta, misalnya, dan lalai dari datangnya hadits tersebut dari jalur lain. Terkadang beliau beralasan tafarrud (tidak ada jalur lain) dari ucapan orang lain yang pernyataannya bisa dimaksudkan tafarrud secara nisbi. Pahamilah ini, bahwa sekedar tafarrud (kesendirian) perawi kadzdzab, bahkan perawi wadhdha’ (pemalsu), meskipun telah detail dalam penelitian dari seorang hafizh yang pengetahuannya luas dan sempurna penelitiannya, tidaklah melazimkan palsu. Tetapi mesti ada sebab lain sebagaimana yang akan dijelaskan”.

Al-Hafizh Ibn Arraq rahimahullah dalam Tanzihusy Syariat berkata:

وخرج بقوله من يتهم بالكذب من عرف بالكذب في الحديث وروى حديثا لم يروه غيره فإنا نحكم على حديثه ذلك بالوضع إذا انضمت إليه قرينة تقتضى وضعه كما صرح به الحافظ العلائى وغيره

“Dikecualikan dari ucapan “Perawi yang dicurigai berdusta” adalah perawi yang dikenal berdusta dalam hadits, yang meriwayatkan hadits yang tidak diriwayatkan oleh ulama lain (tafarrud), maka kami menghuhumi palsu apabila ada qarinah lain yang mendukung penilaian palsu, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh al-Ala’i dan lain-lain.

Lihatlah dengan seksama dan inshaf, selain perawi “kadzdzab” dan jalur “tafarrud” juga ada qarinah lain untuk dijadikan dasar kepalsuan hadits. Jadi, “kadzdzab” saja tidak cukup untuk menilai kepalsuan hadits.

Al-Hafizh adz-Dzahabi rahimahullah dalam al-Muqizhah berkata:

الموضوع : ما كان مَتْنُه مخالفاً للقواعد ، وراويه كذَّاباً

“Maudhu’ adalah hadits yang matannya menyelisihi kaidah dan perawinya kadzdzab”.

Ucapan ini menguatkan, bahwa perawi kadzdzab tidak serta merta haditsnya palsu sebagaimana klaim sebagian ustadz.

PERAWI “KADZDZAB” RIWAYAT HADITS-NYA LEMAH SEKALI, BUKAN PALSU.

Untuk membuktikan bahwa hadits perawi kadzdzab (yang tanpa ada penyebab kepalsuan lain, yaitu qarinah maudhu dan tafarrud) adalah sangat lemah, tidak palsu, adalah ungkapan al-Muhaddits Abdul Hayyi al-Laknawi rahimahullah dalam al-Atsar al-Marfu’ah berikut:

الضعيف الذي صرحوا بجواز العمل به وقبوله هو الذي لا يكون شديد الضعف بأن لا يخلو سند من أسانيده من كذاب أو متهم أو متروك أو نحو ذلك على ما بسطته في رسالتي الأجوبة الفاضلة للأسئلة العشرة الكاملة

“Hadits dhaif yang ditegaskan ulama boleh diamalkan dan diterima adalah hadits yang tidak dhaif sekali, yaitu hadits yang sanadnya tidak terdapat perawi kadzdzab, dicurigai dusta, atau matruk atau yang semakna dengan itu sebagaimana yang telah aku jelaskan dalam risalahku “al-Ajwibah al-Fadhilah li al-As’ilah al-Asyarah al-Kamilah”.

Jawaban yang cukup untuk mematahkan klaim perawi kadzdzab pasti haditsnya palsu.

KLAIM “PALSU DENGAN JALUR INI”.

Seseorang bersikukuh bahwa sanad yang terdapat perawi kadzdzab, walaupun banyak jalur, adalah palsu dengan sanad tersebut. Tepatnya adalah “PALSU DENGAN SANAD INI”. Ini adalah mahallun niza’ antara saya dan Ustadz yang sempat sedikit ramai.

Pertanyaannya, bukankah perawi kadzdzab tidak serta merta riwayatnya palsu jika tidak tafarrud dan terdapat qarinah lain. Lalu bagaimana bisa disebut “PALSU DENGAN SANAD INI” jika syarat kepalsuan tidak terpenuhi? Ini yang dari kemarin tidak diberikan hujjah dan contoh untuk saya baca. Hanya nukilan-nukilan yang ihtimal yang tidak menjawab klaim saya.

Misal nukilan:

الطعن بكذب الراوي في الحديث النبوي هو الموضوع

“Celaan dengan kedustaan perawi dalam hadits Nabawi adalah hadits maudhu’”

Ungkapan ini tidak bisa diartikan, bahwa perawi kadzdab riwayatnya otomatis palsu; dimanapun dan bagaimanapun. Tetapi maksudnya, hadits maudhu’ (palsu) adalah hadits yang perawinya melakukan kedustaan atas nama Nabi (ada nisbat; hadits yang dibuat-buat oleh perawi pendusta). Dan penjelasan di bawah mempertegas maksudnya:

لأن الموضوع هو الحديث الذي فيه الطعن بكذب الراوي ، لا نفس الطعن به

“Karena maudhu’ adalah hadits yang didalamnya terdapat celaan kedustaan perawinya (ada nisbat antara hadits dan perawi pendusta), bukan celaan itu sendiri pada haditsnya”.

APAKAH SAYA MELARANG PENILAIAN “PALSU DENGAN SANAD INI”?

Seorang ustadz dalam tulisannya mengatakan bahwa saya melarang penilaian “Palsu dengan sanad ini” tapi membolehkan “Lemah dengan sanad ini”.

Menurut saya ini adalah tidak benar dan cenderung fitnah. Dimanakah saya mengatakan demikian? Baik, saya tegaskan kembali lagi, yang tidak saya setujui adalah ucapan: “Palsu dengan sanad ini” tetapi alasan yang digunakan adalah perawi kadzdzab.

Bisa difaham titik mahallun niza’nya?


MAKSUD UCAPAN ULAMA’ “MAUDHU’ DENGAN SANAD INI”.

Imam Abu Hatim dalam kitab Ilal-nya termasuk salah seorang ulama yang sering menilai “MAUDHU’ DENGAN SANAD INI”.

Tetapi, bagi yang teliti dan kritis akan berfikir bahwa ungkapan “MAUDHU’ DENGAN SANAD INI” bukan melulu digunakan untuk hadits palsu (dusta atas nama Nabi) saja, tetapi terkadang dimaksudkan lain, seperti kesalahan perawi walaupun ia tsiqah, atau perawinya hanya majhul, dhaif biasa dan lain-lain. Artinya, ungkapan Abu Hatim atau yang lain jangan selalu difahami mentah tanpa melihat maksud yang beliau sampaikan.

Berikut beberapa contoh supaya difahami:

مثاله : حديث قتيبة في جمع التقديم أطلق عليه الحاكم بأنه موضوع مع تصريحه بأن قتيبة ثقة، انظر كتاب (الموازنة) للمؤلف . والمتتبع لكتاب العلل لابن أبي حاتم يجد أمثلة كثيرة من هذا النوع ، وأنا أذكر هنا بعضاً منها على وجه السرعة :
يقول أبو حاتم : هذا حديث موضوع ، وأبو سفيان الأنباري مجهول (1/68) .
وقال ابن نمير : الشيخ لا بأس به ، والحديث منكر ، قال أبو حاتم : الحديث موضوع (1/74).
ويقول أبو حاتم : هذا حديث موضوع لا أصل له ، وسنان عندنا مستور (1/416) .
ويقول : هذا حديث موضوع ، ويهلول ضعيف الحديث (2/321) .
ويقول أيضاً : وهذا حديث موضوع ، عبد الملك مضطرب الحديث (2/368) .
ويقول أيضاً : وهذا حديث موضوع بهذا الإسناد ، ونوفل بن سليمان هذا ضعيف الحديث (2/12).
ويقول أيضاً : هذا حديث موضوع بهذا الإسناد ، والمعلى متروك الحديث (2/375) وغير ذلك من الأمثلة .

Silahkan dibaca dengan seksama, ada hadits dengan perawi tsiqah tetapi dinilai palsu oleh al-Hakim. Tentu saja ada maksud lain.

Ini juga sebuah jawaban!

“MUTAWATIR DAN JALUR YANG KADZDZAB”.

Seorang Ustadz Berkata:

“Jika memang ada ungkapan ulama’ “maudhu dengan sanad ini” pada hadits mutawatir, maka saya mau saksikan”.

Jawaban saya:

“Apa yang aneh dengan pernyataan saya tersebut? Salah seorang ulama kontemporer dalam “Syarah Ikhtishar Ulum al-Hadits” memberikan penjelasan dan jawaban isykal:

أما الضعيف فيقولون يحتمل أن يكون هذا الحديث له إسناد آخر غير هذا، وهذا أيضا كثير، فرب حديث موضوع بهذا الإسناد وهو متواتر بأسانيد كثيرة، مثلا لو أخذنا حديث من كذب علي متعمدا هو معروف متواتر الحديث جماعة من الصحابة، لكن هو من حديث أبي بكر، يعد موضوعا.

“Adapun dhaif, ulama berkata: “Ada kemungkinan hadits ini memiliki sanad lain selain sanad ini. Dan ini juga sangat banyak. Banyak hadits “maudhu’ dengan sanad ini”, tetapi ia mutawatir dengan sanad yang sangat banyak. Umpamanya kita ambil hadits “Siapa yang berdusta atas nama saya dengan sengaja”. Dia adalah hadits ma’ruf, mutawatir dari segolongan sahabat. Tetapi hadits riwayat dari Abu Bakar dinilai palsu”.