Wisata Religi dan Berdoa di Makam Mbah Syekh Abdul Jabbar Tuban

 
Wisata Religi dan Berdoa di Makam Mbah Syekh Abdul Jabbar Tuban

Lingkup Sejarah

Mbah Jabbar atau Syekh Abdul Jabbar nama aslinya adalah Pangeran Kusumoyudo. Beliau seorang yang berdarah bangsawan, khususnya dari raja-raja Jawa, seperti: Raja Brawijaya (Raja Majapahit), Raden Patah (Raja Demak Bintoro I), Sultan Trenggono (Raja Demak Bintoro II), Sultan Hadiwijoyo/Joko Tingkir (Raja Kerajaan Pajang I), dan Pangeran Benowo (Raja Kerajaan Pajang III). Dilihat dari nasab (keturunan), baik dari jalur kakek maupun nenek, keduanya masih keturunan raja Brawijaya V yakni Adipati Joyodiningrat. Oleh karenanya beliau disebut “Pangeran”.

Manuskrip Gresik mencatat, Sultan Hadiwijoyo (Joko Tingkir) mempunyai dua orang putera yang sama-sama diberi nama Pangeran Benowo. Akan tetapi Pangeran Benowo I lebih dikenal dengan nama Pangeran Selarong. Sedangkan Pangeran Benowo II dikenal luas dengan nama Pangeran Benowo.Pangeran Benowo I bukanlah anak kandung. Dia adalah anak angkat Sultan Hadiwijoyo dengan nama asli Sutowijoyo atau Senopati. Dialah yang kelak menjadi raja Mataram pertama. Nama Selarong sendiri adalah gelar yang diberikan Sultan Hadiwijoyo kepadanya.

 Dari Pangeran Benowo II inilah Mbah Jabbar lahir. Beliau mempunyai empat orang saudara, satu puteri dan empat putera. Anak pertama perempuan bernama Ratu Emas/Mas, anak ke-2 Pangeran Pringgodani yang berjuluk Kyai Pengging, yang ke-3 Pangeran Pringgokusumo berjuluk Kyai Mojo, anak ke-4 Pangeran DadungKusumo, sedangkan anak terakhir bernama Pangeran Sumoyudo alias Mbah Jabbar.

Syekh Abdul Jabbar adalah keturunan Pangeran Benowo. Tempat dan tanggal kelahirannya tidak diketahui secara pasti, karena tidak adanya bukti “autentik” yang tercatat dalam manuskrip maupun buku-buku sejarah Jawa. Akan tetapi dilihat dari masa kehidupan leluhurnya (Pangeran Benowo), dapat diperkirakan ia lahir di Pajang (wilayah Surakarta). Hal ini diperkuat dengan adanya folklore lisan (cerita rakyat) yang beredar dikalangan masyarakat Jojogan dan sekitarnya, bahwa sampainya Syekh Abdul Jabbar di Jojogan karena “pelarian” dari Pajang akibat kalah perang dengan penjajah Belanda.

Jika benar Syekh Abdul Jabbar “lari” dari Pajang maka dapat diperkirakan saat itu tahun 1628 atau 1629. Ini didasarkan pada tahun penyerangan Mataram ke Batavia, pusat VOC. Apalagi menurut Agus Sunyoto, peneliti dan penulis sejarah, Kerajaan Mataram pernah mempunyai seorang utusan yang bernama Pangeran Sumoyudo. Hal ini diperkuat dengan adanya informasi bahwa beliau hidup sezaman atau lebih muda sedikit dengan Mbah Sambu (Lasem), sedangkan Mbah Sambu hidup sezaman dengan bupati Lasem ke-14, Adipati Tejo Kusumo I yakni sekitar tahun 1585-1632.

Selain dikenal sebagai waliullah, juga panglima perang dan musuh besar Kompeni Belanda. Ibarat duri beliau adalah ‘duri dalam daging’ bagi Pemerintah Belanda, sehingga pada suatu saat terjadilah pertempuran yang sangat sengit antara keduanya. Akan tetapi beliau mengalami kekalahan kemudian “lari” dari Pajang menuju daerah Nglirip, Jojogan, Tuban. Di tempat ini beliau tinggal di rumah seorang tokoh dan ahli ilmu kanuragan bernama Mbah Sarkowi atau lebih dikenal dengan Mbah Ganyong. Dari sinilah babak baru kehidupan Syekh Abdul Jabbar dimulai.

Syekh Abdul Jabbar menjadikan Jojogan sebagai pusat aktifitasnya. Salah satu tempat tersebut bernama Kedung Banteng. Menurut cerita lisan yang berkembang di masyarakat Jojogan, Kedung Banteng adalah gudang persenjataan (pusaka) dan tem­pat penyimpanan barang-barang kerajaan. Tempat ini terletak di dalam hutan di pinggir kali/kedung, sebelah utara air Sumber Krawak. Konon tempat ini juga digunakan sebagai pertapaan dan markas agresi Syekh Abdul Jabbar melawan Kompeni Belanda. Tempat ini menjadi bukti sejarah bahwa Syekh Abdul Jabbar benar-benar seorang musuh besar dan buronan Kompeni. Suatu saat, untuk mengelabuhi kompeni beliau mengganti namanya menjadi Purboyo. Jadi, selain dikenal dengan nama Kusumoyudo dan Abdul Jabbar, di tempat ini beliau juga dikenal dengan Pangeran Purboyo.

Beliau meninggal dan dimakamkan di bukit Nglirip, Jojogan. Makamnya diapit oleh kedua makam Isterinya. Diceritakan, sesaat setelah meninggal bau wangi menyeruak dari jasadnya, bau itu begitu harum hingga mengherankan bagi penduduk sekitar. Bahkan yang lebih ajaib lagi wangi itu tercium sampai luar Desa Jojogan, yakni daerah Senori, Tanggir, dan sekitarnya.

 


 

Lokasi Ziarah

Makam Mbah Syekh Abdul Jabbar di bukit Nglirip, Jojogan, desa Mulyo agung, Singgahan, Tuban