Hukum Mengubur Jenazah Korban Bencana Tanpa Menghadap Kiblat

 
Hukum Mengubur Jenazah Korban Bencana Tanpa Menghadap Kiblat

LADUNI.ID, Jakarta - Dalam tayangan live di salah satu stasiun TV swasta, penulis sempat membahas hal ihwal tentang Fikih Bencana, mulai dari bagaimana seharusnya kita menyikapi suatu bencana alam yang terjadi, ayat dan hadits yang berkaitan dengannya. Utamanya adalah bagaimana menjadikan bencana alam sebagai media yang dapat menyatukan kita sebagai anak bangsa untuk bersatu dalam satu frame kemanusiaan. Namun di luar itu ada pertanyaan menarik dari salah seorang permisa asal Nusa Tenggara Barat (NTB), H. Lulu, berkaitan dengan pemakaman massal korban bencana alam yang dilakukan tidak sebagaimana umumnya, yaitu jenazah tidak menghadap kiblat, bagaimana hukumnya?

Pendapat Mazhab Syafi’i

Menurut pendapat mayoritas ulama Syafi’iyah hukum menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam liang lahat adalah wajib. Bahkan ketika tidak diperlakukan seperti itu dan liang kubur terlanjur ditutup, maka wajib menggalinya untuk menghadapkannya ke arah kiblat selama jenazah tersebut belum berubah (mulai membusuk), sebagaimana dikatakan oleh pakar fikih dan hadits asal Hauran Suriah Imam Yahya bin Syaraf an-Nawawi (631-676 H/1233-1277 M):

وَوَضْعُهُ مُسْتَقْبِلَ الْقِبْلَةِ وَاجِبٌ، كَذَا قَطَعَ بِهِ الْجُمْهُورُ. قَالُوا: فَلَوْ دُفِنَ مُسْتَدْبِرًا أَوْ مُسْتَلْقِيًا نُبِشَ وَوُجِّهَ إِلَى الْقِبْلَةِ مَا لَمْ يَتَغَيَّرْ. فَإِنْ تَغَيَّرَ لَمْ يُنْبَشُ.

Artinya, “Dan meletakkan mayit menghadap kiblat hukumnya wajib, demikian jumhur ulama memastikan hukumnya. Mereka berpendapat: “Andaikan mayit dikubur dengan membelakangi kiblat atau terlentang, maka harus digali dan dihadapkan ke arah kiblat selama belum berubah. Bila sudah berubah maka tidak boleh digali.” (An-Nawawi, Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, [Bairut, al-Maktab al-Islami, 1405 H], juz II, halaman 134).

Namun demikian, dalam mazhab Syafi’i terdapat pula ulama yang berpendapat bahwa hukum menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam liang lahat hanyalah sunnah. Adalah tokoh fikih Syafi’i kenamaan pada masanya asal Thabaristan, Al-Qadhi Abu At-Thayyib Thahir bin Abdillah at-Thabari (348-450 H) dalam kitab al-Mujarrad sebagaimana disampaikan pula oleh Imam an-Nawawi:

اَلتَّوْجِيهُ إِلَى الْقِبْلَةِ سُنَّةٌ. فَلَوْ تُرِكَ اسْتُحِبَّ أَنْ يُنْبَشَ وَيُوَجَّهَ وَلَا يَجِبَ.

Artinya, “Menghadapkan ke arah kiblat jenazah (di dalam liang kubur) hukumnya sunnah. Sebab itu, andaikan tidak dilakukan maka sunnah digali dan dihadapkan ke arah kiblat, dan hal itu tidak wajib.” (An-Nawawi, Raudhah at-Thalibin wa ‘Umdah al-Muftin, [Bairut, al-Maktab al-Islami, 1405 H], juz II, halaman 134).

Namun demikian, pendapat ini terkadang menjadi bermasalah bagi orang yang disiplin dalam bermazhab. Sebab pendapat Al-Qadhi oleh Imam an-Nawawi sendiri dikategorikan sebagai muqabil as-shahih (yang berbandingan/berlawanan dengan pendapat yang shahih di dalam mazhab Syafi’i), sehingga tidak bisa diamalkan. (Muhyiddin bin Syaraf an-Nawawi, al-Majmu’ Syarh al-Muhaddzab, [Bairut, Dar al-Fikr, tanpa keterangan tahun], juz V, halaman 293).

Lalu apakah pendapat tersebut benar-benar tidak boleh diamalkan? Berkaiatan dengan hal ini, menarik sekali kita simak penjelasan Syaikh Qulyubi (w. 1069 H/1659 M) yang menyatakan bahwa pendapat muqabil ash-shahih tetap boleh diamalkan. Beliau berkata:

قَوْلُهُ (مُشْعِرٌ) أَيْ مِنْ حَيْثُ اللَّفْظُ لَا أَنَّ مُقَابِلَهُ فَاسِدٌ مِنْ حَيْثُ الْحُكْمُ لِمَا مَرَّ مِنْ جَوَازِ الْعَمَلِ بِهِ.

Arftinya, “Ungkapan al-Mahalli: ‘Mengisyaratkan fasidnya muqabil ash-shahih’, maksudnya dari tinjauan lafalnya. Bukan berarti muqabil ash-shahih rusak dari tinjauan hukumnya, karena alasan yang telah disebutkan di depan, yaitu boleh mengamalkannya.” (Ahmad bin Ahmad al-Qulyubi, Hasyiyah al-Qulyubi pada Hasyiyata Qulyubi wa Umairah, [Beirut, Dar Ihya` al-Kutub al-‘Arabiyah: tanpa keterangan tahun], Juz I, halaman 14).

Dengan demikian diketahui, bahwa terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama mazhab Syafi’i berkaitan dengan hukum menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam liang lahat. Menurut mayoritas ulama adalah wajib, sementara menurut al-Qadhi Abu Thayyib hanya sunnah. Kedua pendapat ini pun boleh diamalkan.

Mazhab Selain Syafi’i

Sementara menurut mazhab Maliki dan Hanafi, sebagaimana dijelaskan oleh Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili, hukum menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam liang lahat adalah sunnah, berbeda dengan mazhab Hanbali yang mewajibkannya sebagaimana umumnya ulama mazhab Syafi’i. Semua itu berdasarkan semangat sabda Rasulullah SAW:

قِبْلَتُكُمْ أَحيَاءً وأمواتًا. رَوَاهُ أَبُو دَاوُد وَالْحَاكِم وَقَالَ صَحِيح الْإِسْنَادِ.

Artinya, “(Ka’bah adalah) kiblat kalian, kalian dalam kondisi hidup dan mati.” HR. Abu Dawud dan al-Hakim yang mengatakan: “(Hadits ini) shahih sanadnya.” (Ibn al-Mulaqqin Umar bin Ali al-Mishri, Tuhfah al-Muhtaj ila Adillah al-Minhaj, [Makkah, Dar Harra’: 1406 H], cetakan pertama, tahqiq: Abdullah bin Sa’af al-Lihyani, Juz I, halaman 580).

Selain itu, juga didasari tradisi penguburan jenazah yang sudah berlangsung semenjak generasi salaf hingga sekarang. Nabi Muhammad SAW sendiri pun dimakamkan dengan cara demikian. (Wahbah as-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, [Damaskus, Dar al-Fikr, tanpa keterangan tahun], cetakan keempat, juz II, halaman 663).

Kesimpulan

Dari uraian di atas dapat disimpulkan, menurut mayoritas ulama mazhab Syafi’i dan mazhab Hanbali hukum menghadapkan jenazah ke arah kiblat di dalam liang lahat adalah wajib; sementara menurut sebagian ulama mazhab Syafi’i (Al-Qadhi Abu Thayyib), Maliki dan Hanafi adalah sunnah. Dengan demikian, bukankah pertanyaan ‘Bagaimana hukum pemakaman massal korban bencana alam dimana jenazah tidak menghadap kiblat’ sudah terjawab? Wallahu a’lam.

Oleh: Ahmad Muntaha AM, Sekretaris LBM NU Jatim