KH Afifuddin Muhajir: Boleh Saja Negara Buat Aturan Larang Cadar

 
KH Afifuddin Muhajir: Boleh Saja Negara Buat Aturan Larang Cadar

LADUNI.ID, Jakarta - Salah satu tokoh Nahdlatul Ulama yang dikenal sebagai pakar Usul fikih yang saat ini menjadi Rais Syuriyah PBNU, Kiai Afifuddin Muhajir juga ikut memberi penjelasan mengenai tema cadar dan celana cingkrang yang jadi perbincangan publik akhir-akhir ini. Tema tersebut viral setelah Menteri Agama yang baru, Jend. Fachrul Razi memberi komentar bahwa cadar tidak ada urusan dengan ketakwaan dan komentar lain tentang kebijakan pelarangan cadar di tempat tertentu.

Berikut ini adalah petikan wawancara dari KH Afifuddin Muhajir:

  • Kiai! Saat ini ribut masalah cadar, sebenarnya bagaimana Islam (fikih) memandang persoalan cadar ini?

“Mulai sejak dulu sampai sekarang, para ulama, baik fuqaha, mufassir, dan muhaddist terbelah menjadi dua kelompok tentang persoalan aurat perempuan. Ada yang mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan kecuali wajah dan telapak tangan. Ada sebagian yang mengatakan bahwa aurat perempuan adalah seluruh badan termasuk wajah dan kedua telapak tangan. Akan tetapi, kelompok mayoritas (jumhur) ulama kebanyakan adalah pendapat yang pertama. Artinya, para ulama mayoritas mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan bukanlah aurat, karena bukan aurat maka tidak wajib ditutupi. Tidak wajib ditutupi tidak bermakna tidak boleh ditutupi.

"Sampai sekarang misalnya, mayoritas ulama al-Azhar di Mesir, ulama al-Zaituna di Tunisia, ulama al-Qarawain di Maroko, mereka berpandangan seperti itu (wajah dan kedua aurat bukan telapak tangan) sehingga mereka tidak punya kewajiban untuk menutupi. Tapi masih ada sebagian yang mengatakan bahwa wajah dan kedua telapak tangan adalah aurat sehingga wajib ditutupi. Salah satu dari mereka adalah Syaikh Muhammad Said Ramadan al-Buthi.

"Berhubung ulama terbelah menjadi dua pendapat, umat Islam terpecah menjadi dua kelompok tentang penggunaan cadar. Pertama menyebut bahwa cadar dan menutup wajah tidak wajib. Kedua, cadar dan menutup wajah adalah kewajiban.

"Sebenarnya ada ulama ketiga yang meyakini bahwa menutup wajah tidak wajib namun mereka tetap memerintahkan untuk menggunakam cadar dalam rangka ihtiyath (hati-hati) dengan dasar al-Khuruj min al-Khilaf Mustahabbun, keluar dari perbedaan ulama adalah sunnah.

"Menurut saya, mereka dibiarkan menurut keyakinan masing-masing. Artinya, yang menganggap wajah adalah aurat tidak perlu dipaksa untuk membuka wajahnya. Demikian pula mereka yang punya keyakinan wajah bukan aurat, tidak boleh dipaksa untuk menutup wajahnya. Idealnya seperti itu."

  • Bolehkah pemerintah melarang warga negara secara umum atau secara khusus seperti di kantor-kantor pemerintahan untuk melarang penggunaan cadar?

“Menurut saya, boleh saja negara itu (pemerintah) membuat aturan yang melarang perempuan memakai cadar di tempat tertentu. Kalau ini diberlakukan maka berlaku pula kaidah hukmu al-Hakim yarfau al-Khilaf, bahwa keputusan negara itu menghilangkan perbedaan ulama. Dengan adanya ketentuan dari negara maka perbedaan-perbedaan ulama dianggap tidak ada. Akan tetapi, negara tidak bisa serta-merta membuat aturan yang seperti ini. Artinya alasannya harus tepat dan masuk akal dan harus legal secara syariat. Apa alasannya negara punya kebijakan seperti itu? Apakah sudah melakukan penelitian mendalam bahwa ternyata dari mereka yang banyak menggunakan cadar bukan karena motivasi agama tapi karena menyamarkan identitas?

"Soal kejelasan identitas tiap orang ini sangat penting. Salah satu contohnya adalah urusan muamalah atau transaksi antara kedua belah pihak harus jelas. Jangan jauh-jauh, dalam persoalan urusan khusus misalnya perempuan tidak boleh menutup wajah di hadapan laki-laki yang hendak meminangnya karena ada anjuran dalam agama bahwa laki-laki yang hendak melamar perempuan diperkenkan melihat wajahnya, biar tidak ada istilah membeli kucing dalam karung.

"Pada intinya, bisa saja negara membuat aturan yang melarang penggunaan cadar, tapi alasannya apa? Apa sudah melalui kajian mendalam?"