Meneladani Kezuhudan dan Ketegasan KH Hasani Nawawi Sidogiri

 
Meneladani Kezuhudan dan Ketegasan KH Hasani Nawawi Sidogiri

LADUNI.ID, Jakarta - Haul KH Hasani Nawawi akan dilaksanakan pada tanggal 13 Rabiul Awwal 1439 H. Beliau lahir sekitar tahun 1924/1925, Kiai Hasani sudah yatim semenjak masih dalam usia dini. Abah beliau, K.H. Nawawie wafat ketika Kiai Hasani masih berusia sekitar 2 tahun.

Kiai Hasani adalah putera bungsu KH. Nawawie bin Noerhasan. Beliau adalah satu dari 8 bersaudara putera Kiai Nawawie. Masing-masing adalah KH. Noerhasan bin Nawawie (dari Nyai Ruyanah); Nyai Hanifah, K.H. Kholil Nawawie, Nyai Aisyah (dari Nyai Nadhifah); K.H. Sirajul Millah, K.A. Sa’doellah Nawawie dan K.H. Hasani Nawawie (dari Nyai Asyfi‘ah).

Diceritakan, suatu ketika saat Kiai Hasani diundang acara Walimah, saat semua yang hadir berdiri untuk membaca mahallul qiyam (Maqom), hanya kiai Hasani yang tetap duduk ditempatnya. Ketika selesai acara ada yang mencoba memberanikan diri untuk bertanya kepada Kiai Hasani mengapa tadi saat mahallul qiyam tetap duduk. Akhirnya Kiai bilang: "Bagaimana aku akan berdiri sementara saat itu Rosulullah duduk di dekatku."

Diceritakan oleh putra angkat beliau, bahwa beliau merasa sangat ketakutan saat ada hujan lebat yang disertai angin dan petir. Beliau takut bhw itu adalah adzab dari Allah kepada hambanya. Dan suatu ketika saat putra bungsunya matur pada Kiai bhw ada tamu yang menunggu di depan dalem beliau, maka beliau bilang bhw tdk usah memberi tahu padanya karena beliau sudah tahu siapa yang datang bertamu. Memang setiap tamu yang akan sowan ke beliau biasanya menunggu di depan dalem, sampai pintunya dibukakan oleh beliau sendiri..

Kiai Hasani menghabiskan masa belianya penuh dengan cahaya keagamaan. Beliau adalah sosok pemuda yang agamis, wara’, khusyu’, rajin, dan berbudi pekerti luhur. Menghabiskan waktu dengan aktivitas tak berguna merupakan hal yang sangat tidak disukainya. Raut wajahnya sejuk dipandang. Bila berjalan, selalu menundukkan kepala dan tampak sangat tenang.

Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya untuk menimba ilmu di berbagai lembaga pendidikan. Beliau tidak pernah bersekolah dan mondok di pesantren manapun kecuali di pesantren abahnya di Sidogiri. Dalam hal ini Kiai Hasani mengaku dirinya mondok ke Sidogiri dari rumah ibunya (Ibu Nyai Asyfi’ah) di Gondang Winongan ke Sidogiri. Selain itu, beliau tidak pernah mondok ke mana-mana.

Kiai Hasani lebih banyak mendapatkan ilmunya secara otodidak. Semasa hidup, putra bungsu K.H. Nawawie bin Noerhasan ini, hanya mempunyai tiga orang guru. Pertama kali beliau belajar kepada K.H. Syamsuddin di Tampung Winongan Pasuruan. Kepada ulama yang biasa dipanggil Gus Ud ini, Kiai Hasani ngaji kitab al-Ajurumiyah, ‘Imrithi dan Mutammimah. Selain kepada Gus Ud, di Tampung, beliau juga ngaji kepada K.H. Birrul Alim.

Selanjutnya, Kiai Hasani belajar kitab Alfiyah Ibn Malik kepada kakak iparnya sendiri, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur, di Sidogiri. Kitab monumental tentang ilmu nahwu (gramatika Arab) ini beliau pelajari sampai tuntas. Usai mengkhatamkan Alfiyah, atas saran kakak iparnya itu, Kiai Hasani bermaksud belajar ilmu fiqh (hukum Islam). Kiai Djalil juga berjanji akan membacakan kitab al-Asybah wa al-Nazha’ir kepadanya. Tapi, sebelum kitab kaidah fiqh itu sempat diajarkan kepada Kiai Hasani, K.H. Abdul Djalil Abd. Syakur terlebih dahulu wafat. Kiai Hasani merupakan satu-satunya orang yang belajar secara langsung kepada K.H. Abdul Djalil. K.H. Abdul Djalil adalah pengasuh Pondok Pesantren Sidogiri pada era 1930-an serta menantu K.H. Nawawie bin Noerhasan, abah Kiai Hasani.

Kiai Hasani memang tidak pernah mengenyam pendidikan di lembaga tertentu. Dalam pertualangannya mencari ilmu, Kiai Hasani lebih banyak mempelajari ilmu pengetahuan secara otodidak. Di dalemnya, beliau tekun me-muthalaah kitab-kitab. Tafsir dan akhlaq merupakan disiplin pengetahuan kesukaannya. Kitab-kitab yang beliau miliki penuh dengan catatan dan kertas-kertas kecil sebagai tanda bahwa terdapat sebuah pernyataan penting pada halaman kitab tersebut. Beberapa hari setelah wafatnya, kitab-kitab itu diwakafkan ke Perpustakaan Sidogiri.

Kiai Hasani tidak menghabiskan masa mudanya dari pesantren ke pesantren. Beliau hidup pada masa di mana penjajahan Belanda sedang pada puncaknya. Kiai Hasani muda lebih memilih berjuang melawan para penjajah itu dibanding menghabiskan waktunya di sebuah menara gading. Namun modus perjuangan yang beliau tempuh adalah modus yang unik. Tidak seperti Kiai A. Sa’doellah Nawawie, kakaknya, yang memilih berjuang mengangkat senjata, Kiai Hasani lebih suka berjuang melalui jalan diplomasi. Beliau kerap mendatangi kamp-kamp Belanda dan berpidato di situ.

Dengan mendekati Belanda Kiai Hasani berupaya menetralisir incaran Belanda terhadap Sidogiri. Sidogiri, saat itu, memang sedang menjadi salah satu incaran utama pasukan Kompeni. Sidogiri merupakan markas perjuangan Kiai A. Sa’doellah dalam mengusir Belanda. Kakak Kiai Hasani itu sering memimpin pasukan untuk mengadakan penyerbuan terhadap Belanda dari Sidogiri. Apa yang dilakukan Kiai Hasani dengan mendekati Belanda ternyata cukup efektif untuk mengamankan Sidogiri dari serangan mereka. Jika pasukan Belanda mau menyerang Sidogiri, Kiai Hasani sudah menyetop mereka sebelum masuk ke Sidogiri. Beliau menyuruh mereka untuk kembali. Dan, mereka pun menuruti apa yang dikatakan Kiai Hasani.

Kiai Hasani memang menyukai hidup sederhana. Apa yang dijalani dalam hidupnya merupakan bentuk nyata dari nilai-nilai sufistik yang tak mengacuhkan materi. Sufisme memang telah menjadi pandangan hidup beliau sejak muda. Beliau konsisten dengan nilai-nilai itu, qawlan wa fi‘lan. Sehingga ada kesan unik pada pola hidup yang beliau jalani. Memang pola hidup sufistik pada jaman ini, secara realitas tidaklah populer, meski hal itu sering muncul sebagai komoditas wacana. Ia telah menjadi tumpukan cerita di masa lalu.

Di pintu gerbang Pondok Pesantren Sidogiri. Di pintu masuk timur tepat di sebelah barat jalan, anda akan disambut ukiran Burung Garuda. Lambang Republik Indonesia tersebut diukir di tembok sebelah kiri gerbang. Di bawahnya, tertera butir-butir Pancasila. Tak ada gambar dan tulisan lain selain itu, termasuk petunjuk bahwa gerbang itu adalah pintu masuk ke Pondok Pesantren Sidogiri.

Kiai Hasani tinggal di tepi selatan asrama Pesantren Sidogiri bersebelahan dengan Mesjid,  Bangunannya tampak tua sekali, dengan jendela dan pintu bercat cokelat. Bagian depan berlantai semen seluas 1x3 meter. Tak ada aksesori apapun, hanya tampak beberapa pohon pisang di depan dalem. Pagar bambu yang menutupinya sudah tampak agak rusak. Di sebelah barat, dalem itu ditutupi beberapa satir dari anyaman bambu. Di sinilah, Kiai Hasani tinggal. Jika anda ke sana, anda tak mengira bahwa itu adalah dalem seorang ulama besar yang amat disegani, terutama di Jawa Timur. Rumah itu memang terlalu sederhana.

Jika ada tamu, Kiai Hasani selalu mengantarkan sendiri suguhannya. Beliau juga sangat sedih jika banyak tamu, khawatir tidak bisa menghormati mereka dengan layak.

Memang, dari 8 orang putra Kiai Nawawie, Kiai Hasani berbeda dari saudara-saudaranya adalah kesempatan untuk kaya selalu beliau tolak. Beliau tidak pernah menghiraukan urusan uang dan harta. “Jangan sampai engkau tahu, berapa jumlah uang yang ada di sakumu,” dawuh beliau.

Begitulah Kiai Hasani dalam memandang dunia. Zuhud (asketisme) menjadi cermin utama dalam pola hidup yang beliau jalani. Seperti tak ada kesukaan sedikit pun terhadap dunia. Kalau pada umumnya, para tokoh (termasuk ulama) menyukai fasilitas-fasilitas mewah, tapi lain halnya dengan Kiai Hasani. Beliau malah hidup sangat sederhana. Tidak suka mobil. Sering tampak berjalan kaki atau naik becak untuk sebuah keperluan. “Keinginan punya mobil saja, aku tidak ingin,” dawuhnya suatu ketika kepada K.H. Nawawi bin Abdul Jalil, keponakannya.

Dalam dahar-nya (makan) sehari-hari, K.H. Hasani biasanya hanya cukup dengan nasi putih dengan lauk krupuk dan kecap. Makanan kesukaan beliau adalah kentang rebus diletakkan di piring kecil dan tempe mendol.

Memang, beliau sangat akrab dengan kesederhanaan itu. Hidup layaknya orang biasa sudah menjadi manhaj al-hayahbagi beliau. Berpakaian seperti lazimnya orang biasa. Sering terlihat memakai baju takwa hitam. Tidak suka memakai sorban seperti kebiasaan para ulama. Bahkan, beliau juga lebih suka memakai kopyah hitam dibanding kopyah putih. Itu semua merupakan manifestasi dari pandangan kesederhanaan dan kesukaan untuk hidup layaknya orang biasa.

Kiai Hasani memang amat tidak suka memakai atribut jasmaniah para ulama. Beliau juga tidak senang diperlakukan istimewa. Pernah suatu ketika, beliau diundang menghadiri walimatul arusy salah seorang tokoh di Pasuruan. Di tempat yang disediakan untuk undangan para kiai, tertulis kalimat “Khusus Masyayikh”. Tahu ada tulisan semacam itu, Kiai Hasani yang kebetulan diundang dan hadir dalam acara tersebut tidak berkenan masuk. Apa kata beliau? “Aku bukan masyayikh”. Akhirnya tuan rumah melepas tulisan itu dan Kiai Hasani pun berkenan masuk. Konon, Kiai juga senang diundang ke Probolinggo karena di tempat itu beliau tidak di’istimewa’kan dari yang lain.

Etiket sufisme sudah begitu melekat pada Kiai Hasani adalah melestarikan ajaran khumul. Dalam kamus sufi,khumul berarti tidak mau dikenal orang (tentang keistimewaan dirinya). Dalam tuntunan tasawuf Ibnu Atha’ al-Sakandari ajaran ‘tidak suka tampil’ itu dimaksudkan sebagai langkah penyelamatan bagi seorang yang menjalani kehidupan sufi agar tidak terjerumus oleh popularitas dan ketenaran. “Sing enak saiki iki mastur,” dawuh Kiai kepada K.H. A. Nawawi bin Abdul DJalil, keponakannya.

Memang, khumul seperti telah menjadi filosofi baku, tidak hanya bagi Kiai Hasani tapi juga Sidogiri. Pondok pesantren yang sudah berusia 256 tahun itu seperti besar dalam ketersembunyian: tidak pernah menyebar brosur atau jenis promosi lain, bahkan memasang plakat pun.

Beliau memang sosok sufi, zuhud dan tidak menyukai kehidupan materialistik. Sebagai sosok dengan komitmen relegius yang kental, tak bisa dibayangkan betapa kecewa beliau melihat ‘jaman’ ini. Ya, kekecewaan itu memang sering diungkapkan beliau.

Jika Kiai Hasani mau, bukannya beliau tidak bisa untuk hidup seperti lazim tokoh-tokoh lain. Dalam pembagiantirkah warisan setelah beliau wafat, uangnya banyak tercecer di mana-mana. Kadang di bawah kasur, di dalam kitab dan di tempat-tempat lain. . Ini merupakan sebuah cermin bahwa Kiai tidak pernah memasukkan urusan harta ke dalam pikirannya. Beliau tidak pernah menghitung berapa uang yang dimilikinya. “Jangan sampai kau ketahui uang yang masuk ke sakumu, agar kamu tidak bersandar pada uang,” ungkap beliau menyiratkan sebuah pandanganzuhdiyah-nya.

“Al-Dun’ya dawa’,” dawuh Hadratussyekh. “Dunia adalah obat”. Kalimat singkat itu diperoleh beliau melalui mimpi. Syahdan, Kiai Hasani pernah bermimpi bertemu Soekarno (Presiden ke-1 Republik Indonesia). Dalam mimpi itu, Soekarno hanya menyampaikan kalimat “al-dun’ya dawa”kepada Kiai. Konon, mimpi yang sempat beliau tulis dalam manuskripnya itu, terjadi selama 21 kali. Awalnya K.H. Hasani tidak paham apa maksud dari kalimat tersebut. Lalu beliau menceritakan mimpi itu kepada kakak beliau Almaghfurlah K.H. Cholil Nawawie. Setelah berpikir cukup lama, K.H. Cholil bisa menjawab apa maksud dari kalimat “dunia adalah obat”. “Obat itu hanya digunakan jika keadaan sakit (betul-betul membutuhkan, begitu pula dunia,” jelas Kiai Cholil kepada Kiai Hasani. Mengenai hal itu, Kiai Hasani juga berdawuh: “Yang baik, obat itu apa kata dokternya. Tidak boleh overdosis.”

Kiai Hasani suka berbaur dengan masyarakat sekitar. Kerap berkumpul di tengah-tengah mereka untuk sekedar bincang-bincang, kadang juga di warung-warung. “Kalau kiainya warung dan kiainya kucing, tanyakan saya,” dawuh beliau suatu ketika. Detik-detik persentuhan dengan masyarakat itulah yang kerap digunakan Hadratussyekh untuk menaburkan ajaran Islam dari pikiran ke pikiran.

Kedekatannya dengan masyarakat akar rumput membuat mereka merasa amat kehilangan atas kemangkatan Kiai Hasani. “Kiai Hasani wafat, siapa lagi yang akan dekat dengan masyarakat,” ujar salah seorang penduduk desa.

Dalam dakwahnya kepada masyarakat luas, Kiai Hasani lebih mengutamakan aksi dibanding retorika. Selama hidupnya, Hadratussyekh tidak pernah tampil memberi ceramah maupun pengajian di depan publik. Beliau berdakwah dari pintu ke pintu; dari orang ke orang. Naluri dakwah semacam inilah yang membuat masyarakat merasa bahwa Kiai Hasani begitu dekat dengan mereka. “Mereka tidak salah. Yang salah itu kamu dan aku. Mereka tidak mengerti, tidak mendengar dakwah Islam,” dawuh Kiai kepada Mas Abdullah Syaukah, keponakannya.

Kiai Hasani memang sosok ulama yang mempunyai kepedulian sosial amat tinggi. Kiai memposisikan dirinya sebagai bagian dari masyar

Kiai Hasani adalah sosok yang netral. Dalam berdakwah, beliau tidak pernah membeda-bedakan orang. Siapapun orangnya, kalau ia memiliki visi dakwah yang sama, maka akan beliau dekati. K.H. Hasani tidak pernah mempermasalahkan dari kelompok mana ia. Dalam aksi dakwah dan pemberdayaan umat, baju sektarianisme mesti harus disingkirkan. Yang terpenting bagi K.H. Hasani orang itu adalah muslim yang taat beragama.

Dalam hidupnya, selain dikenal dekat dengan sejumlah ulama dari kalangan NU, K.H. Hasani juga dekat dengan ulama-ulama yang terkenal sebagai tokoh Syi’ah, seperti Habib Husein al-Habsyi (YAPI Bangil) dan Habib Husein al-Habsyi (Malang). Kedua tokoh tersebut memang dikenal sebagai ulama yang amat concern dengan dakwah Islam dan pemberdayaan umat.

Tidak ada kamus fanatik terhadap figur tertentu bagi K.H. Hasani. Standar tunggalnya adalah visi dan ketaatannya dalam beragama. Pernah suatu ketika ada acara Peringatan Tahun Baru Islam yang diselenggarakan GP Ansor di lapangan Sidogiri. Penceramah dalam acara tersebut adalah Habib Muhsin Alatas. Sehabis acara, Habib Muhsin Alatas berniat sowan kepada al-Maghfurlah K.H. Hasani. Ia minta tolong kepada Sudirman (kawan dekat Mas Fuad Noerhasan, keponakan K.H. Hasani) untuk menyampaikan maksudnya kepada beliau.

Kiai Hasani menolak bertemu dengan habib tersebut, karena dikiranya adalah Habib Husein al-Habsyi Malang. Seperti telah menjadi berita hangat di berbagai media, saat itu Habib Husein terlibat dalam percaturan politik yang memanas. Ia memberi statemen yang nyaris mengakibatkan perpecahan antara sesama umat Islam. Ia juga sering berkomentar kepada sesama muslimnya dengan nada cacian. K.H. Hasani tidak suka dengan sikap Habib Husein itu kendati sebelumnya beliau cukup dekat. Ketika dijelaskan bahwa yang akan sowan bukan Habib Husein, tapi Habib Muhsin Kiai Hasani bersedia menerimanya.

Kiai Hasani memang tidak suka dunia politik. Selama hidupnya, beliau tidak pernah mendukung partai apapun di Indonesia. Tapi jika perseteruan politik mengakibatkan pecahnya umat, maka Kiai akan peduli untuk mempersatukan kembali.

K.H. Hasani memang sangat konsisten dengan pandangan-pandangan tentang persatuan umat. Tak ada kamus fanatisme terhadap madzhab dan golongan tertentu bagi beliau. Yang terpenting adalah Islam dan berperilaku Islami, bukan golongan ini dan golongan itu atau madzhab ini dan madzhab itu.

Pandangannya yang lurus dan tak kenal kompromi membuat K.H. Hasani disegani ulama-ulama lain. Beliau memang putera ulama besar, tapi yang membuatnya disegani adalah sikap dan pandangannya yang lurus serta tegas.

Menyikapi kerusakan moral di masyarakat, Kiai Hasani tidak terlalu menyalahkan mereka. Beliau melihat hal ini sebagai kesalahan para pengemban dakwah Islam. “Mereka tidak salah, yang salah itu kamu dan saya,” dawuhnya.

Rusaknya moral umat bersumber dari rusaknya moral para ulama. Begitulah salah satu inti dari tulisan beliau dalam beberapa manuskripnya. Menurutnya, seperti ditegaskan Rasulullah, komponen yang paling menentukan baik-buruknya umat ada 2, yaitu ulama (kaum cendekiawan) danumara (kaum birokrat).

Kerusakan moral masyarakat merupakan akibat dari bobroknya moral para penguasa (birokrat). Kebobrokan penguasa, disebabkan karena tidak becusnya para ulama. Begitulah Kiai Hasani mengurai sumber utama kebobrokan ini. Dalam pandangan beliau, ulama saat ini telah banyak yang tergila-gila pada harta dan kedudukan (hubb al-jah wa al-mal).

Kiai Hasani wafat sehari setelah peringatan Maulid Nabi Muhammad; tepatnya pada malam Selasa, 13 Rabiuts Tsani 1422, pukul 03.50 dini hari. Beliau wafat pada usia 77 tahun karena serangan darah tinggi yang sudah sejak lama dideritanya.

Dalam bahasa K.H. Hasyim Muzadi, Kiai Hasani adalah ulama yang alim amaliyah dan amil ilmiyah. Hal tersebut diungkapkan K.H. Hasyim saat memberi sambutan dalam selamatan 40 hari wafatnya Hadratussyekh.

Semoga kita bisa meneladani ibadah, kezuhudan, kesederhanaan, kewaro'an, ketegasan, akhlaq dan perjuangan beliau. Amin.