Wisata Religi dan Bertawassul di Makam KH. Abd. Djalil bin Fadhil Sidogiri

Memperoleh Donasi Sebesar : Rp 0. Donasi Sekarang
 
Wisata Religi dan Bertawassul di Makam KH. Abd. Djalil bin Fadhil Sidogiri

Biografi Singkat

KH. Abd. Djalil bin Fadhil adalah ulama cerdas, wara',dan teguh pendiriannya. KH. Abd. Djalil bin Fadhil, adalah menantu kedua KH. Nawawie menjadi pengasuh Pesantren Sidogiri.

Kiai Abd. Djalil lahir dan besar dari keluarga yang agamis. Ayahnya bernama Kyai Fadlil bin Sulaiman bin Ahsan bin Zainal Abidin (Bujuk Cendana), nasabnya bersambung kepada Sayid Qasim (Sunan Drajat) bin Sayid Rahmatullah (Sunan Ampel). Sedangkan ibunya bernama Nyai Syaikhah binti Syarifah Lulu’ binti Sayid Abu Bakar asy-Syatha ad-Dimyathi, pengarang kitab I’ânah ath-Thâlibîn. Jadi, dari jalur ibu, Kiai Abd. Djalil adalah cicit dari pengarang kitab terkenal tersebut.
 
Abd. Djalil kecil tumbuh dan besar sebagaimana layaknya anak-anak yang lain, bergaul dan akrab dengan teman-temannya. Namun, menurut teman sepermainannya saat masih kanak-kanak, Abd Djalil sudah tampak kewara’annya. Disaat teman-temannya makan tebu atau mencari mangga jatuh, Abd Djalil selalu menghindar tidak mau ikut.
 
Suatu hari, Kiai Nawawie bin Noerhasan Sidogiri mendapatkan undangan menghadiri walimah di daerah timur Warungdowo, Pasuruan, berdekatan dengan rumah Abd. Djalil muda. Seusai acara Kiai Nawawie bertanya “Mana cucu Sayid Syatha?” Saat itu Abd. Djalil berada di tempat itu. 
“Kamu mondok di Sidogiri, ya?” kata Kiai Nawawie. Abd. Djalil pun mengangguk tanda setuju. Kiai Nawawie menawarkan Abd. Djalil mondok di Sidogiri karena merasa pernah berguru pada buyut Abd. Djalil, Sayid Syatha.
 
Di Sidogiri, Abd. Djalil dengan gigih dan bersungguh-sungguh mengikuti dan menyimak semua yang diajarkan oleh Kiai Nawawie. Bukan hanya ilmu dalam bentuk teori, akhlak dan pribadi luhur Kiai Nawawie juga membekas kuat dalam membentuk kepribadian Abd. Djalil.
 
Tidak ada kejelasan berapa tahun Abd. Djalil berguru kepada Kiai Nawawie. Yang jelas, saat mondok di Sidogiri Abd. Djalil sudah cukup alim.
Setelah beberapa tahun nyantri di Sidogiri, Abd. Djalil bermaksud boyong (berhenti mondok). Nah, saat minta restu Kiai Nawawie, ia ditawari menikah dengan putri beliau, Nyai Hanifah. Dengan persetujuan keluarganya, Abd. Djalil mengiyakan. Menurut cerita, Kiai Nawawie mengambil menantu Abd. Djalil disamping karena kewara’annya. Juga dilatarbelakangi dengan kejadian yang agak aneh.
 
Pada suatu malam, ketika semua santri terlelap tidur, Kiai Nawawie sambil wiridan berjalan-jalan melihat keadaan santri. Di tengah deretan bilik yang dilalui, beliau dikejutkan oleh cahaya yang memancar dari salah seorang santri yang sedang tertidur. Namun, karena dalam keadaan gelap, beliau kesulitan untuk mengenali santri yang memancarkan sinar itu. Kiai Nawawie lalu mengikat sarung anak yang memancarkan cahaya tersebut.
 
Keesokan harinya, sehabis menunaikan salat Subuh berjamaah, Kiai Nawawie bertanya siapa yang terikat sarungnya tadi malam. Ada yang menjawab, “Djalil, Kiai.” Lalu dipanggillah Abd. Djalil ke dalem (rumah) dan ditawari untuk ditunangkan dengan Nyai Hanifah, putri pertamanya.
 
“Koen dhe’ kene ta’ pe’ mantu, ya’ opo?” (kamu di sini saya jadikan menantu saya, bagaimana?” ) Abd. Djalil pun mengangguk.
Karena sudah ditunangkan, Kiai Abd. Djalil yang awalnya bermaksud boyong, malah dimondokkan ke Mekah oleh Kiai Nawawie. Di tanah suci itulah ia berguru kepada tokoh ulama ‘allâmah selama dua tahun.
 
Jumat 25 Syawal 1347 H, Kiai Nawawie wafat, menghadap Allah. Kabar ini pun sampai kepada Kiai Abd. Djalil yang sedang berada di Mekkah, dan beliau diminta pulang untuk menggantikan Kiai Nawawie mengasuh Pondok Pesantren Sidogiri.
 
Awalnya Kiai Djalil keberatan dan meminta Kiai Abd. Adzim (juga menantu Kiai Nawawie) yang diangkat. Namun Kiai Abd. Adzim juga tidak bersedia. Maka akhirnya, Kiai Abd. Djalil menerima amanat berat itu, melanjutkan perjuangan Kiai Nawawie mendidik santri menjadi generasi handal.
 
Dalam menjalankan tugas sebagai Pengasuh, Kiai Djalil mengikuti pola sekaligus meneruskan tradisi yang telah dirintis oleh Kiai Nawawie. Pengajian kitab yang dibaca Kiai Nawawie dilangsungkan aktif. Khataman kitab Tafsir pada setiap bulan Ramadan juga dilestarikan. Hingga ada ungkapan, “Masa Kiai Djalil tak ubahnya adalah masa Kiai Nawawie.”
 
Hampir selama 12 tahun Kiai Djalil memangku Sidogiri. Dalam masa itu pula, beliau mempersiapkan putra-putra Kiai Nawawie, yang masih kecil-kecil agar siap menjadi Pengasuh. Praktis, semua putra Kiai Nawawie (KH. Noerhasan, KH. Cholil, KH Siradjul Millah Waddin, KH. Sa’doellah, dan KH. Hasani Nawawie) diasuh dan dibesarkan oleh Kiai Djalil.
 
KH. Abdul Djalil Fadlil dikenal sebagai ulama pejuang untuk NKRI dan sangat ditakuti Belanda. Beliau wafat dalam agresi militer Belanda di tahun 1947. Tepatnya pada hari Kamis tanggal 10 Dzulqa’dah 1366/26 September 1947 usai shalat subuh.

Lokasi Makam

Makam KH. Abd. Djalil bin Fadhil berada di komplek pemakaman keluarga di pesantren Sidogiri, Pasuruan, Jawa Timur.