Hukum Mengangkat Anak Orang Lain untuk Adopsi

 
Hukum Mengangkat Anak Orang Lain untuk Adopsi
Sumber Gambar: KibrisPdfsandipo

LADUNI.ID, Jakarta – Rumah tangga yang tidak memiliki anak tidak akan sempurna keberadaannya. Demi memperoleh anak berbagai cara dilakukan seperti mengadopsi Atau mengangkat anak orang lain, baik dari anak keluarga maupun dari orang lain untuk dijadikan anak kandung Pada masyarakat umum masih banyak yang belum mengetahui tata cara pengangkatan anak yang benar. Pengangkatan anak atau adopsi akan berdampak negatif pada keturunan, warisan dan sebagainya, misalnya menghapus nasab anak yang diangkat dengan orang tua kandungnya, memberikan warisan kepada anak angkat padahal ada ahli waris lain yang berhak terhadap harta tersebut dan hal lain yang bertentangan dengan ajaran Islam dan sistem hukum yang berlaku di Indonesia.

Memiliki anak angkat lewat jalan adopsi kerap menjadi salah satu solusi pilihan pasangan suami istri yang tidak bisa memiliki keturunan. Islam telah lama mengenal istilah tabbani, yang di era modern ini disebut adopsi. Rasulullah SAW bahkan mempraktikkannya langsung, yakni ketika mengangkat Zaid bin Haritshah sebagai anak nya.
 

Tabanni secara harfiah diartikan sebagai seseorang yang mengambil anak orang lain untuk diperlakukan seperti anak kandung sendiri. Hal ini itu dilakukan untuk memberi kasih sayang, nafkah pendidikan, dan keperluan lainnya. Secara hukum anak itu bukanlah anaknya. Adopsi dinilai sebagai perbuatan yang pantas dikerjakan oleh pasangan suami istri yang luas rezekinya, tapi belum dikaruniai anak. Maka itu, sangat baik jika mengambil anak orang lain yang kurang mam pu agar mendapat kasih sa yang ibu-bapak (karena yatim piatu), atau untuk mendidik dan memberikan kesempatan belajar kepadanya.

Di Indonesia, peraturan terkait pengangkatan anak terdapat pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Demikian pula Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang turut memperhatikan aspek ini. Pasal 171 huruf h KHI menyebutkan, anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan, dan sebagainya, beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Kalangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) sejak lama sudah memfatwakan tentang adopsi.
 

Fatwa itu menjadi salah satu hasil Rapat Kerja Nasional MUI yang berlangsung Maret 1984. Pada salah satu butir pertimbangannya, para ulama memandang, Islam mengakui keturunan (nasab) yang sah, ialah anak yang lahir dari perkawinan (pernikahan). Namun, MUI mengingatkan, ketika mengangkat (adopsi) anak, jangan sampai si anak putus hubungan keturunan (nasab) dengan ayah dan ibu kandungnya.
Sebab, hal ini bertentangan dengan syariat Islam.Banyak dalil yang mendasarinya.
Dalam Qs. Al-Ahzab ayat 4:

مَا جَعَلَ اللّٰهُ لِرَجُلٍ مِّنْ قَلْبَيْنِ فِيْ جَوْفِهٖ ۚوَمَا جَعَلَ اَزْوَاجَكُمُ الّٰـِٕۤيْ تُظٰهِرُوْنَ مِنْهُنَّ اُمَّهٰتِكُمْ ۚوَمَا جَعَلَ اَدْعِيَاۤءَكُمْ اَبْنَاۤءَكُمْۗ ذٰلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِاَفْوَاهِكُمْ ۗوَاللّٰهُ يَقُوْلُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِى السَّبِيْلَ (٤)

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar [1199] itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). [1199] Zhihar ialah perkataan seorang suami kepada istrinya: punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku atau perkataan lain yang sama maksudnya. Adalah menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila dia berkata demikian kepada istrinya maka istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda). (Qs.Al-Ahzab 33:4)


اُدْعُوْهُمْ لِاٰبَاۤىِٕهِمْ هُوَ اَقْسَطُ عِنْدَ اللّٰهِ ۚ فَاِنْ لَّمْ تَعْلَمُوْٓا اٰبَاۤءَهُمْ فَاِخْوَانُكُمْ فِى الدِّيْنِ وَمَوَالِيْكُمْ ۗوَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ فِيْمَآ اَخْطَأْتُمْ بِهٖ وَلٰكِنْ مَّا تَعَمَّدَتْ قُلُوْبُكُمْ ۗوَكَانَ اللّٰهُ غَفُوْرًا رَّحِيْمًا (٥)

Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu [1200]. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [1200] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yant telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.(Qs.Al-Ahzab 33:5)

Dan dalam Qs. Al-Ahzab 33:40 Allah SWT kembali menegaskan


مَا كَانَ مُحَمَّدٌ اَبَآ اَحَدٍ مِّنْ رِّجَالِكُمْ وَلٰكِنْ رَّسُوْلَ اللّٰهِ وَخَاتَمَ النَّبِيّٖنَۗ وَكَانَ اللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمًا ࣖ (٤٠)

Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu [1224], tetapi dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. Dan adalah Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. [1224] Maksudnya: Nabi Muhammad SAW bukanlah ayah dari salah seorang sahabat, karena itu janda Zaid dapat dikawini oleh Rasulullah SAW. (Qs. Al-Ahzab 33:40)

Nabi Muhammad SAW bersabda, "Dan, Abu Zar RA sesungguhnya ia mendengar Rasulullah bersabda, "Tidak seorang pun mengakui (membangsakan diri) kepada bukan ayah yang sebenarnya, sedang ia tahu bahwa itu bukan ayahnya, melainkan ia telah kufur.'' (HR Bukhari dan Muslim).

Dalam fatwanya MUI memandang, mengangkat anak hendaknya tidak lantas mengubah status (nasab) dan agamanya. Misalnya, dengan menyematkan nama orang tua angkat di bela kang nama si anak. Rasulullah telah mencontohkan. Beliau tetap mempertahankan nama ayah kandung Zaid, yakni Haritsah di belakang namanya, tidak lantas mengubahnya dengan nama bin Muhammad.

MUI mengharapkan, supaya adopsi dilakukan atas rasa tanggung jawab sosial untuk memelihara, mengasuh, dan mendidik anak dengan penuh kasih sayang, seperti anak sendiri. Ini adalah perbuatan yang terpuji dan termasuk amal saleh.

"Tidak diragukan lagi bahwa usaha semacam itu merupakan perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh agama serta diberi pahala,'' demikian fatwa MUI. Nantinya, bagi ayah angkat, boleh mewasiatkan sebagian dari peninggalannya untuk anak angkat nya, sebagai persiapan masa depannya agar ia merasakan ketenangan hidup.

Para ulama di Tanah Air telah menfatwakan, pengangkatan anak Indonesia oleh Warga Negara Asing, selain bertentangan dengan UUD 1945 pasal 34, juga merendahkan martabat bangsa.

Ulama Nahdlatul Ulama (NU) dalam Munas Alim Ulama di Situbondo, Jawa Timur pada 21 Desember 1983 juga telah menetapkan fatwa tentang Adopsi. Dalam fatwanya ulama NU menyatakan, "Mengangkat anak orang lain untuk diperlakukan, dijadikan, diakui sebagai anak sendiri hukumnya tidak sah.''

Sebagai dasar hukumnya, ulama NU mengutip hadis Nabi SAW. "Barang siapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut bukan bapaknya, maka surga diharam kan terhadap dirinya.'' Qata dah berkata, siapa pun tidak boleh mengatakan "Zaid itu putra Muhammad''. (Khazin, Juz Vi hlm 191)

 

Keterangan, dari kitab:

Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil [1]

أَنَّ النَّبِيَّ -  قَالَ مَنِ ادَّعَى إِلَى غَيْرِ أَبِيْهِ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ غَيْرُ أَبِيْهِ فَالْجَنَّةُ عَلَيْهِ حَرَامٌ

Sungguh Nabi Saw. bersabda: “Barangsiapa mengaku orang lain sebagai bapaknya, dan ia tahu bahwa orang tersebut memang bukan bapaknya, maka surga diharamkan terhadap dirinya.”
 Ma’alim al-Tanzil [2]

قَالَ قَتَادَةُ لاَ يَجُوْزُ أَنْ يَقُوْلَ فِيْهِ زَيْدٌ بْنُ مُحَمَّدٍ فَإِنْ قَالَ لَهُ اَحَدٌ مُتَعَمِّدًا عَصَى وَمَنْ يَعْصِى اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً بَعِيْدًا

Qatadah berkata: “Siapa pun tidak  boleh berkata tentang Zaid bin Haritsah: “Zaid bin Muhammad.” Jika seseorang dengan sengaja mengatakan seperti itu, maka ia telah maksiat, dan barang siapa bermaksiat kepada Allah SWT. dan RasulNya, maka niscaya ia tersesat dengan kesesatan yang sangat jauh.”

Penjelasan: Pengangkatan anak tidak bisa menjadikan anak tersebut sederajat dengan anak sendiri di dalam nasab, mahram maupun hak waris.

Footnote:
[1]
   Ali bin Muhammad al-Khazin, Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiyah, 2004), Jilid III, h. 409.
[2]   Abu Muhammad al-Baghawi, Ma’alim al-Tanzil pada Lubab al-Ta’wil fi Ma’ani al-Tanzil, (Beirut: Dar al- Fikr, 1979), Jilid V, h. 230. Redaksi ini merupakan gubahan dari teks aslinya yang cukup panjang, dalam penafsiran ayat 5, surah al-Ahzab.

 

___________

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Senin, 3 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Sandipo

Sumber: Ahkamul Fuqaha no. 347 KEPUTUSAN MUNAS ALIM ULAMA Di Sukorejo Situbondo Pada Tanggal 13 - 16 Rabiul Awwal 1404 H./18 - 21 Desember 1983 M.