Anatomi Radikalisme di Indonesia : Dari JI ke JAT, Dari JAT ke JAD (Bag 6)

 
Anatomi Radikalisme di Indonesia : Dari JI ke JAT, Dari JAT ke JAD (Bag 6)

M Kholid Syairozi

Sekretaris Jenderal PP ISNU

Saat Indonesia dirundung konflik komunal dan JI menemukan ladang jihad, di tubuh JI terjadi dinamika menyusul wafatnya Abdullah Sungkar, Amir JI yang disegani pada 20 Oktober 1999. Meski tidak definitif, tampuk kepemimpinan pindah ke Abu Bakar Ba’asyir sebagai tokoh senior, tetapi figur ini dianggap lemah oleh banyak anggota JI. Dalam Kongres Mujahidin I di Yogyakarta, 5-7 Agustus 2000, sejumlah aktivis dan ormas Islam mengangkat Ba’asyir sebagai Amir Majelis Mujahidin Indonesia (MMI), sebuah organisasi yang banyak menampung veteran Afghanistan dan napiter eks-aktivis DI/NII. Ba’asyir bersedia menjadi Amir MMI karena merasa bukan Amir JI yang diangkat sesuai PUPJI (Pedoman Umum Perjuangan JI). Meski ada upaya mengangkat Ba’asyir sebagai pengganti Sungkar, JI kehilangan kepemimpinan definitif setelah 1999. Struktur DI bisa dikatakan lumpuh, yang tersisa adalah para kombatan ‘liar’ yang tidak terikat komando. Karena itu, ketika Hanbali dan Imam Samudera meledakkan 25 bom di sejumlah gereja hampir serentak di delapan kota—yang dikenal dengan Bom Natal 24 Desember 2000—Ba’asyir menyangkal terlibat. Sebagian besar anasir JI, baik alumni Afghanistan maupun Mindanao, juga menolak bertanggung jawab.

Ba’asyir masih sempat melantik Nasir Abas sebagai Ketua Mantiqi III JI pada April 2001. Namun, ketika gedung WTC dihancurkan oleh Al-Qaeda pada 9 September 2001 (9/11), Ba’asyir menyangkal terkait JI atau berhubungan dengan organisasi Al-Qaeda. Thoriquddin alias Abu Rusydan alias Hamzah, dalam sebuah pertemuan di Mega Mendung pada 2 April 2002, disebut-sebut diangkat menjadi pelaksana harian Amir JI.

Termotivasi dengan aksi 9/11, Encep Nurjaman alias Hanbali, Ali Ghufron alias Mukhlas, Abdul Aziz alias Imam Samudera, Ali Imron alias Ziad, Dulmatin, Umar Patek alias Abu Syeikh, Amrozi bin Nurhasyim, Abdul Ghoni alias Umeir, dan Sajio alias Sawad kembali mengguncang Indonesia dengan Bom Bali, 12 Oktober 2002. Meski menyangkal, Ba’asyir dituduh terlibat dan kemudian dihukum penjara 2,6 tahun pada 3 Maret 2005. Para petinggi JI yang anti Bom Bali juga diciduk aparat seperti Ahmad Roihan alias Saad, Thoriqudin alias Hamzah alias Abu Rusydan, Musthopa alias Abu Tholut, dan Nasir Abas alias Sulaiman.

Bebas pada 14 Juni 2006, Ba’asyir kecewa terhadap MMI yang ternyata masih mengadopsi ‘sistem jahiliyah’ demokrasi dalam kepemimpinan organisasi. Dia mundur sebagai Amir MMI pada 13 Juli 2008 dan kemudian mendirikan Jamâah Anshârut Tauhîd (JAT) pada 17 September 2008. Pada 2010, Ba’asyir kembali ditahan dan divonis bersalah pada 16 Juni 2011 atas tuduhan mendanai pelatihan militer Aceh. Tuduhan lainnya, mendirikan sayap Al-Qaeda di provinsi NAD. Ba’asyir dihukum 15 tahun penjara.

Dari JAT ke JAD

Aman Abdurrahman, pengagum Syeikh Abu Muhammad al-Maqdisi (ideolog Al-Qaeda), semula ikut mendirikan JAT bersama Ba’asyir. Dia juga dihukum 9 tahun penjara dalam kasus pelatihan militer Aceh. Dari bilik sel tahanan Nusakambangan, Cilacap, dia mendirikan Jamâ’ah Anshârut Daulah (JAD) pada Oktober 2014 dengan empat tujuan: (i) sebagai wadah menyatukan para pendukung ISIS di Indonesia yang berasal dari berbagai organisasi Islam, (ii) mempersiapkan kaum muslimin Indonesia untuk menyambut kedatangan Khilâfah Islâmiyah, (iii) menyatukan pemahaman dan manhaj dari para pendukung Anshar Daulah, dan (iv) mempersiapkan orang-orang yang hendak pergi berjihad.

Dibantu Marwan alias Abu Musa, Zainal Anshori alias Abu Fahry, dan Abu Khatib, Aman sukses mengajak ribuan orang berbaiat kepada ISIS pimpinan Abu Bakar al-Baghdadi. Beberapa bulan sebelumnya, al-Baghdadi—bekas anggota al-Qaeda—memproklamirkan berdirinya Khilâfah dan mengangkat dirinya sebagai Khalîfah di Mosul pada 29 Juni 2014. Untuk mendukung perjuangan al-Baghdadi, Aman pada awal 2015 merancang tadrîb ‘askarî untuk pengikutnya di Gunung Panderman, Batu, Malang, dan mengirim pasukan ke Suriah. Salah satu yang berangkat ke Suriah itu adalah Bahrun Naim, dalang teror Sarinah di jalan MH Thamrin. Pelakunya sendiri Afif alias Sunakim, tukang urut Aman Abdurrahman.

Dari dalam sel tahanan Nusakambangan, Ba’asyir, atas bujukan Aman, dikabarkan mendukung perjuangan ISIS meski tidak secara terbuka menyatakan bai’at. Dukungan Ba’asyir membuat pengikutnya gusar. JI dekat dengan al-Qaeda dan organisasi afiliasinya, Jabhah Nusrah. Sementara al-Qaeda tidak akur dengan ISIS dan menyatakan perang melawan Abu Bakar al-Baghdadi sejak 11 September 2015. Sekelompok orang JAT yang tidak setuju dengan sikap Ba’asyir seperti Muhammad Achwan, Firman Taufikuroman, dan anak Ba’asyir sendiri—Abdur Rochim Ba’asyir—mendirikan Jamâ’ah Anshârus Syarîah (JAS) pada Agustus 2014.

JAD menjadi kelompok teroris paling aktif saat ini, meski terbilang lemah dalam struktur, kaderisasi, dan kemampuan militer. JAD berbentuk jaringan otonom tanpa struktur komando yang jelas seperti JI hingga 1999. Aman, pendiri JAD, ditangkap pada 2010 karena terlibat pelatihan militer di Aceh dan dihukum 9 tahun penjara. Pada Desember 2016, kepemimpinan diserahkan ke Zainal Anshori alias Abu Fahry. Zainal kemudian mengundang semua sel JAD ke Malang untuk menyusun plot amaliah. Pada Maret 2017, Zainal ditangkap atas tuduhan mengotaki penyerangan pos polisi Tuban pada April 2017 dan divonis 7 tahun penjara. Pasca penangkapan Aman dan Anshori, sel JAD bergerak tanpa komando. Aman mungkin tetap figur paling berpengaruh, tetapi penjara tak mungkin membuatnya efektif menjalankan komando. Pada 22 Juni 2018, Pengadilan memvonis Aman hukuman mati.

JAD juga gampang merekrut orang tanpa kaderisasi dan proses indoktrinasi panjang. Tanpa bekal agama yang cukup, orang bisa bergabung ke JAD dan berbaiat ke ISIS. Rekrutmen, ideologisasi, dan pelatihan amaliah kadang juga dilakukan secara daring. Sel JAD memang tergolong paling aktif menggunakan platform media sosial. Di JI, anggota direkrut lebih ketat dan kadang baru dibai’at setelah melalui proses indoktrinasi panjang selama dua tahun. Tanpa kemampuan militer mumpuni seperti anggota JI yang dilatih khusus di Afghanistan dan Mindanao, sel JAD umumnya tidak menerima tadrîb ‘askarî yang terstruktur dan sistematis, karena itu amaliahnya sekelas bom panci seperti bom Kampung Melayu, Surabaya-Sidoarjo, dan Riau. Kemampuan militer mereka tidak sanggup menghasilkan aksi se-spektakuler Bom Bali. Terkesan amatiran, pelakunya kini mengambil pola baru: melibatkan keluarga dan anak-anak. Selain untuk mengaburkan identifikasi aparat, pelibatan anak-anak adalah untuk mengirim sinyal ke sel JAD lain bahwa kewajiban amaliah sudah menjangkau keluarga, isteri, dan anak-anak. Target operasi amaliah JAD umumnya kepolisian. Dari segi daerah operasi, terjadi pergeseran basis. Dulu DI/NII berbasis di Jawa Barat dan kemudian bergeser ke Jawa Tengah di bawah Sungkar-Ba’asyir yang mendirikan JI. Kini sel JAD yang paling aktif berada di Jawa Timur. Artinya, semua bagian Pulau Jawa telah terpapar radikalisme.

Bersambung...