Anekdot ala Madura: Ambil saja Tanah Negara di Bawah Sana

 
Anekdot ala Madura: Ambil saja Tanah Negara di Bawah Sana

Oleh: Fariz Alniezar

Kawan saya di daerah Jakarta Utara bercerita bahwa ia sekeluarga datang ke Jakarta akhir tahun 80an. Sebagaimana nasib para perantau lazimnya, mulanya keluarga mereka juga hidup bergelimang kesusahan.

“Susahmu tidak ada apa-apanya. Apalagi perantau-perantau zaman sekarang. Bedanya generasi bapakku dengan generasi kita dan anak-anak sekarang itu cuma satu,” kawan itu berbusa-busa.

“Apa?”

“Keberanian”

Saya bengong. Kawan itu memegangi dagunya yang hanya ditumbuhi beberapa helai rambut. Kalau dari teksturnya, jenggot kawan itu lebih bersifat aksesoris, bukan ideologis, apalagi wahabis.

“Ibarat masuk hutan, anak sekarang ndak mau melangkah sebelum ia mendapat kepastian atau minimal informasi yang pasti bahwa di dalam hutan itu tersedia warteg, tempat karaoke, papan karambol, dan pos kamling. Kalau orang dulu tidak begitu. Yang penting masuk dulu. Perkara di dalam hutan nanti mau ngapain, pikir setelah itu. Lha merantau itu persis masuk hutan. Begitu kata Bapakku,” kawan saya semakin tak terbendung.

Ia kemudian bercerita perjuangan dan karier keluarganya.

“Ini bukan main-main. Keluarga kami datang ke Jakarta tidak punya apa-apa. Kami menempati sebuah empang,” kawan itu berkisah.

“Empang milik siapa?”

“Tidak jelas dan tidak terawat. Tapi di situ ada tulisannya Milik Negara. Bagi kami namanya karena tidak terawat berarti ya tidak jelas. Semangat kami adalah ihyaul mawat. Semangat yang dilandasi ajaran fikih”

“Itu masuk kategori perjuangan?”

“Tentu. Bukan main-main. Ini perjuangan melawan Negara yang abai terhadap potensi tanah airnya. Termasuk empangnya. Karena empang isinya tanah dan Air. Maka menelantarkan empang sama dengan pengingkaran terhadap konstitusi dan UUD 45. Empang itu diurug oleh Bapak. Habis ber-truk2 tanah. Baru kemudian pelan-pelan didirikan bangunan di atasnya.”
 
Saya diam. Saya menduga kawan ini sedang jazab.

“Perjuangannya di mana?”

“Jadi begini, pada awal tahun 2000an, Rumah kami dikepung satpol PP. Mereka bawa surat yang menyatakan tanah yang kami tempati adalah tanah milik negara”

“Waduh. Lalu?”

“Bapak saya mulanya tenang menghadapi mereka. Namun, satpol PP itu ngotot. Bapak lama-lama marah dan satpol PP itu semuanya meneng cep dan mingkem.”

“Kok bisa?”

“Walaupun Bapak tidak pernah rangking kelas, tapi dalam hal ini kami sekeluarga mengagumi kecerdasannya. Bapak bilang begini: ini bukan tanah pemrentah. Tanah pemrentah ada di bawah sana. Bagian dasar empang. Lha ini empangnya saya urug pakai tanah yang saya beli. Sampean mau ambil tanah negara? Ambil kalau bisa. Tapi di sana, jauh di bawah pondasi saya.”