Menghindari Sifat Kaum Khawarij Modern dalam Memandang Seorang Pemimpin

 
Menghindari Sifat Kaum Khawarij Modern dalam Memandang Seorang Pemimpin
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Dalam kehidupan di dunia ini, kita dijadikan Allah SWT sebagai khalifah (pemimpin), minimal pemimpin diri sendiri. Begitu pula dalam konteks masyarakat secara lebih luas dan lebih umum, dari tingkat pedesaan hingga ke atas termasuk negara, tentu ada yang menjadi pemimpin. Dan sebagai Negara Republik, Indonesia harus dipimpin oleh seorang presiden, bukan seorang raja. Pemimpin dipiliah oleh rakyat secara adil dalam pemilihan umum.

Kita harus menyadari, bahwa sosok pemimpin itu juga merupakan manusia biasa yang tidak ma'shum atau terjaga dari kesalahan, yang tentunya kesalahan dan kekhilafan kerap juga terjadi dalam menjalankan roda kepemimpinan.

Lantas apakah tepat jika kita langsung mencaci dan sejenisnya kala pemimpin kita berbuat khilah atau kesalahan, baik disengaja maupun tidak?

Dalam konteks ini, tentu ada prosedur tersendiri dalam memperingatkan pemerintah atau mengkritiknya, baik dalam perspektif agama maupun undang-undang yang berlaku di negara kita tercinta ini.

Tapi tidak bisa dipungkiri, bahwa sebagian golongan dari masyarakat ada yang tanpa kontrol melontarkan kritik yang berupa cacian dan makian, yang terkadang tak berdasar sama sekali. Mereka melakukan hal itu tidak lain adalah karena egoisme dan merasa paling benar, tanpa sadar bahwa mereka juga telah melakukan kesalahan.

Melihat fenomena yang demikian itu, jika kita melihat kembali sejarah Islam, kita akan menemukan sebagian kelompok yang cenderung bersikap kasar, atau lebih tepatnya sembarangan dalam mengkritik dan merasa paling benar. Mereka dikenal dengan sebutan kaum Khawarij. Kaum yang tidak menghendaki seorang pemimpin yang tidak seideal yang mereka inginkan.

Karena itu, sebagaimana dahulu kala, mereka yang kerap mencela atau menghina pemimpin tanpa dasar, merupakan ciri khas manhaj yang ditempuh oleh kaum Khawarij. Awalnya hanya sekedar mengkritik dan membeberkan aib pemimpin di atas mimbar, seminar, koran dan medsos tetapi kemudian bisa membengkak hingga pada akhirnya sampai pada gerakan makar atau memberontak pemimpin.

Manhaj yang demikian itu tentu menyelisihi petunjuk nabi dalam bersikap terhadap penguasa. Apa yang dilakukan tersebut juga merupakan sumber segala fitnah atau berpotensi menimbulkan kerusakan berkepanjangan, sebagaimana sejarah mencatatnya. 

Sebagai bukti bahwa manhaj yang demikian itu adalah metode yang diterapkan kaum Khawarij, terdapat satu keterangan dalam riwayat Imam Tirmidzi berikut ini:

كُنْتُ مَعَ أَبِيْ بَكْرَةَ تَحْتَ مِنْبَرِ أَبِيْ عَامِرٍ وَهُوَ يَخْطُبُ وَعَلَيْهِ ثِيَابٌ رِقَاقٌ، فَقَالَ أَبُوْ بِلاَلٍ: انْظُرُوْا إِلَى أَمِيْرِنَا يَلْبَسُ لِبَاسَ الْفُسَّاقِ، فَقَالَ أَبُوْ بَكْرَةَ: اسْكُتْ! سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ يَقُوْلُ: مَنْ أَهَانَ سُلْطَانَ اللهِ فِيْ الأَرْضِ أَهَانَهُ اللهُ

"Saya pernah bersama Abu Bakrah di bawah mimbar Ibnu Amir yang sedang berkhutbah sambil mengenakan pakaian tipis. Abu Bilal berkata, 'Lihatlah pemimipin kita, dia mengenakan pakaian orang-orang fasiq.' Abu Bakrah menegurnya seraya berkata, 'Diamlah, saya mendengar Rasulullah bersabda, 'Barangsiapa yang menghina pemimpin di muka bumi, niscaya Allah akan menghinakannya.'" (HR. At-Tirmidzi)

Allah akan menghinakan orang yang menghina dan mencibir seorang pemimpin. Abu Usman Az-Zahid mengatakan, “Nasihatilah para penguasa, perbanyakanlah doa untuk mereka agar mereka melakukan kebaikan dan kebenaran dalam beramal dan menjalankan hukum. Sesungguhnya jika mereka baik, maka akan baiklah rakyat. Hati-hatilah kamu! Jangan sampai kamu mendoakan keburukan atau melaknat mereka, kerana yang demikian hanya akan menambah kerusakan keadaan orang-orang Islam. Tetapi mintakanlah ampunan kepada Allah untuk penguasa (pemerintah dan pemimpin), semoga mereka meninggalkan perbuatan yang tidak baik, kemudian dihilangkanlah musibah dari kaum Muslimin.” (Imam Al-Baihaqi, Al-Jami' li Syu’abil Iman)

Ibnu Hajar Al-Asqalani pernah menjelaskan mengenai hal tersebut sebagaimana berikut ini:

اَلْقَعَدِيَّةُ هُمُ الَّذِيْنَ يُزَيِّنُوْنَ الْخُرُوْجَ عَلَى الْأَئِمَّةِ وَلَا يُبَاشِرُوْنَ ذَلِكَ

“Qa’adiyyah adalah orang-orang yang memperindah pemberontakan kepada pemerintah sekalipun mereka tidak memberontak secara langsung”.

Kemudian jika kita membuka Al-Qur'an, maka kita akan mendapati sebuah ayat yang berbunyi berikut ini: 

وَكَذلِكَ نُوَلِّيْ بَعْضَ الظَّالِمِيْنَ بَعْضًا بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

“Demikianlah kami jadikan sebagian orang-orang yang zalim itu menjadi pemimpin bagi sebagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan.” (QS. Al-An’am: 129). 

Dalam menafsirkan ayat di atas, Al-Imam Fakhruddin Ar-Razi berkata:

اَلْمَسْأَلَةُ الثَّانِيَةُ: اْلآيَةُ تَدُلُّ عَلىَ أَنَّ الرَّعِيَّةَ مَتَى كَانُوْا ظَالِمِيْنَ، فَاللهُ تَعَالَى يُسَلِّطُ عَلَيْهِمْ ظَالِماً مِثْلَهُمْ، فَإِنْ أَرَادُوْا أَنْ يَتَخَلَّصُوْا مِنْ ذَلِكَ اْلأَمِيْرِ الظَّالِمِ فَلْيَتْرُكُوْا الظُّلْمَ. وَعَنْ مَالِكِ بْنِ دِيْنَارٍ: جَاءَ فِيْ بَعْضِ كُتُبِ اللهِ تَعَالَى: أَنَا اللهُ مَالِكُ الْمُلُوْكِ، قُلُوْبُ الْمُلُوْكِ وَنَوَاصِيْهَا بِيَدِيْ، فَمَنْ أَطَاعَنِيْ جَعَلْتُهُمْ عَلَيْهِ رَحْمَةً، وَمَنْ عَصَانِيْ جَعَلْتُهُمْ عَلَيْهِ نِقْمَةً، لاَ تَشْغَلُوْا أَنْفُسَكُمْ بِسَبِّ الْمُلُوْكِ، لَكِنْ تُوْبُوْا إِلَيَّ أُعَطِّفُهُمْ عَلَيْكُمْ .

“Masalah kedua, ayat di atas menunjukkan bahwa apabila rakyat melakukan kezaliman, maka Allah akan mengangkat seorang yang zalim seperti mereka sebagai penguasa. Sehingga apabila mereka ingin melepaskan diri dari pemimpin yang zalim tersebut, hendaknya mereka meninggalkan perbuatan zalim. Diriwayatkan dari Malik bin Dinar, “Dalam sebagian kitab-kitab suci, Allah berfirman: “Akulah Allah, Penguasa raja-raja di dunia. Hati dan ubun-ubun mereka berada dalam kekuasaan-Ku. Barangsiapa yang taat kepada-Ku, Aku jadikan raja-raja itu sebagai rahmat baginya. Dan barangsiapa yang durhaka kepada-Ku, Aku jadikan raja-raja itu sebagai azab atas mereka. Janganlah kalian menyibukkan diri dengan memaki-maki para penguasa karena kezaliman mereka. Akan tetapi, bertaubatlah kalian kepada-Ku, maka akan Aku jadikan mereka mengasihi kalian.” (Fakhruddin Ar-Razi, At-Tafsir Al-Kabir wa Mafatihul Ghaib, juz 13, hlm. 159)

Dengan demikian, kita akan bisa memahami bagaimana seharusnya bersikap terhadap pemimpin, sekalipun ia adalah seorang yang zalim. Kita harus menghindari sikap yang dicontohkan oleh kaum Khawarij, yang frontal dan tidak mengindahkan sama sekali kedudukan seorang pemimpin.

Dalam konteks modern, mungkin segala media digunakan untuk melakukan tindakan-tindakan provokatif yang berpotensi terjadinya sebuah makar atau pemberontakan yang justru menimbulkan kerusakan lebih besar. Kaum Khawarij tidak pernah peduli semua itu. Karenanya, apapun akan ditempuhnya demi tercapainya kepentingan semu yang sementara itu. Mereka yang tidak menghormati dan bersimpati pada arti sebuah kepemimpinan, akan terjebak sendiri di dalam kezalimannya sendiri dan kelak akan dihinakan oleh Allah SWT. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 30 Agustus 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Helmi El-Langkawi

Editor: Hakim