Pemimpin Itu Bukanlah Penguasa, Tetapi Pengayom

 
Pemimpin Itu Bukanlah Penguasa, Tetapi Pengayom
Sumber Gambar: Unplash.com, Ilustrasi: laduni.ID

LADUNI.ID, Jakarta - Kedudukan pemimpin berada diatas dan berhak untuk mengatur dan memerintahkan bawahannya. Namun idealnya pemimpin itu mereka yang justru melayani bukan dengan tujuan untuk dilayani, yang memimpin dari qalbu seorang “hamba” dan yang penuh dedikasi pengabdian. Dari sini kewibawaan dan kerendahan hati sangat dibutuhkan bagi sosok pemimpin. Tidak diwarnai egois dan kesewenangan adalah keniscayaan.

Pemimpin yang besar adalah pemimpin yang memiliki jiwa besar untuk bersedia merendahkan diri, melayani mereka yang ia pimpin dengan penuh pengabdian. Fokusnya ada pada bagaimana mensejahterakan, mengantarkan segala kebaikan bagi mereka yang ia pimpin. Jiwa pelayanan atau pengabdian ini akan mengibarkan seorang pemimpin menjadi pemimpin yang besar dan bermartabat. (Andew king, 2010).

Pernyataan ini juga sebagaimana diamanatkan di dalam isi pidato politik Abu Bakar Ash-Shindiq pertama beliau, bunyinya: “Kejujuran itu merupakan amanah, sedangkan dusta itu merupakan pengkhianatan. Kaum yang lemah menempati posisi yang kuat di sisiku hingga aku dapat mengembalikan padanya haknya dengan izin Allah. Sedangkan, kaum yang kuat menempati posisi yang lemah di sisiku hingga aku dapat mengambil darinya hak orang lain dengan izin Allah.”

Berdasarkan paparan isi pidato khalifah Abu Bakar diatas, sangat jelas beliau ingin menegaskan kepada kita bahwa setiap jabatan itu merupakan sebuah kerugian bukan keuntungan, sebuah tanggung jawab bukan penghormatan, sebuah pengorbanan bukan penghargaan, dan sebuah kewajiban bukan kesewenang-wenangan.

Sayyidina Abu Bakar Ash-Shiddiq pun ingin menghilangkan kesan di tengah masyarakat bahwa seorang pemimpin itu harus dihormati secara berlebihan. Justru, seorang pemimpin itu diangkat untuk memberikan pelayanan dalam agama Allah dan risalah-Nya. Allah Taala mengangkatnya sebagai pemimpin untuk melayani rakyatnya bukan sebaliknya rakyatnya yang melayani dia.

Dengan demikian, Abu Bakar telah meletakkan batasan tanggung jawabnya termasuk batasan kewajiban kaum muslimin. Menurutnya, kita sebagai umat harus mampu berperan aktif dalam persoalan kepemimpinan. Mereka harus menjadi mitra pemerhati dan bukan pengikut yang tidak mau tahu dan peduli dengan apa yang sedang terjadi . (Abdus Sattar Asy-Syaikh, Sepuluh Shahabat yang Dijanjikan Masuk Surga)

Keberhasilan pemimpin juga di perankan ketika mampu memberdayakan dari semua komponen masyarakat yang berbeda menuju keberhasilan bersama demi kesejahteraan dan kemakmuran bersama pula, sehingga apayang di miliki oleh setiap individu masyarakat mampu di koordinir dengan baik dan komperhensif (menyeluruh).

Ini sesuai sebagaimana di ungkapkan oleh Maxwell dengan perkataannya berbunyi, “The best leaders are humble enough to realize their victories depend upon their people”, (Para pemimpin yang terbaik cukup rendah hati untuk menyadari bahwa kemenangan-kemenangan mereka bergantung pada orang-orang yang dipimpinnya).


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 06 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

________

Penulis: Helmi Abu Bakar El-Langkawi

Editor: Athallah