Al-Farabi, Filsuf Muslim Terkemuka di Masa Bani Abbasiyah

 
Al-Farabi, Filsuf Muslim Terkemuka di Masa Bani Abbasiyah
Sumber Gambar: Akun IG @emiramahic, Ilustrasi: Laduni.ID

1. Riwayat Hidup
1.1 Lahir

Abu Nasir Muhammad bin Al-Farakh Al-Farabi atau biasa disebut sebagai Al-Farabi lahir pada tahun 257 H/870 M pada masa pemerintahan Bani Abbasiyah Khalifah Al-Mu'tamid Alallah. Al-Farabi terkenal sebagai ilmuwan dan Filsuf Muslim yang berasal dari Farab, Kazakhstan. Di dunia barat beliau lebih dikenal sebagai Alpharabius, Al-Farabi, atau Abu Nasir.

Ayahnya seorang opsir tentara Turki keturunan Persia, sedangkan ibunya berdarah Turki asli. Sejak kecil Al-Farabi digambarkan memiliki kecerdasan istimewa dan bakat besar untuk menguasai hampir setiap subyek yang dipelajarinya.

Al-Farabi muda belajar ilmu-ilmu Islam dan musik di Bukhara, kemudian pergi ke Baghdad (Ibu Kota Bani Abbasaiyah waktu itu) untuk menimba ilmu di sana selama puluhan tahun. Al-Farabi juga pernah mengembara ke Kota Harran yang terletak di utara Suriah, di mana saat itu Harran merupakan pusat kebudayaan Yunani di Asia Kecil.

1.2 Wafat
Al-Farabi wafat di Kota Damaskus (Suriah) pada Bulan Rajab Tahun 339 H atau 950 M di masa pemerintahan Bani Abbasiyah Khalifah Al-Muthi’ Lillah. Beliau telah hidup selama kurang lebih 80 tahun.

Semasa hidupnya Al-Farabi telah melewati 9 periode pemerintahan Bani Abbasiyah, dimulai sejak Khalifah Al-Mu'tamid Alallah (870-892 M), Khalifah AI-Mu'tadhid Billah (892-902 M), Khalifah AI-Muktafi Billah (902-908 M), Khalifah Al-Muqtadir Billah (908-932 M), Khalifah AI-Qahir (932-934 M), Khalifah Ar-Radhi (934-940 M), Khalifah Al-Muttaqi (940-944 M), Khalifah Al-Mustakfi Billah (944-946 M), hingga Khalifah Al-Muthi’ Lillah (946-974 M).

2. Sanad Ilmu dan Pendidikan
2.1 Pendidikan
Al-Farabi menghabiskan masa kanak-kanak dan pendidikan dasarnya dengan mempelajari Al-Qur’an, tata bahasa, kesusasteraan, ilmu-ilmu agama (fiqih, tafsir, dan ilmu hadis) serta aritmatika dasar di Farab, Kazakhstan. Kemudian beliau melanjutkan pendidikannya di Kota Bukhara dan menempuh pendidikan tingginya di Kota Baghdad, yang pada waktu itu adalah Ibu Kota Bani Abbasiyah.

Selama di Baghdad, Al-Farabi belajar bahasa Arab kepada Ahli tata bahasa dan linguistik, Abu Bakr ibn Saraj. Sedangkan ketika mempelajari bahasa Yunani dan filsafat kuno, terutama filsafat Plato dan Aristoteles, di bawah bimbingan filsuf terkenal, Abu Bishr Matta ibn Yunus.

Pengetahuannya tentang filsafat Plato dan Aristoteles beliau padukan dengan ajaran dari Al-Qur'an dan Hadis. Untuk memahami pemikiran kedua filsuf Yunani tersebut, Al-Farabi harus membaca karya-karya Plato dan Aristoteles berulang kali. Misalnya, membaca Buku On the Soul 200 kali dan Buku Physics 40 kali. Tak heran jika kemudian hari beliau mampu mendemonstrasikan dasar persinggungan Aristoteles dan Plato dalam sejumlah hal, seperti tentang penciptaan dunia, kekekalan ruh, maupun siksa dan pahala di akhirat.

Al-Farabi juga mampu menuangkan pemikiran filsafatnya ke dalam Kitab Fushush Al-Hikam dan Kitab Al-Ihsha` Al-'Ulum. Kitab Fushush Al-Hikam menjadi karya monumentalnya yang hingga kini masih menjadi buku teks filsafat di berbagai institusi pendidikan. Sedangkan Kitab Al-Ihsha` Al-'Ulum menjabarkan klasifikasi dan prinsip dasar sains secara unik dan cerdas. Karena itu, pemikirannya banyak mempengaruhi para filsuf sesudahnya, seperti Ibnu Sina yang terpengaruh pemikiran metafisik Al-Farabi. Selain ilmu filsafat, Al-Farabi juga mempelajari ilmu-ilmu lain seperti, aritmatika, fisika, kimia, medis, dan astronomi, sehingga Al-Farabi dapat dikatakan sebagai seorang multi disiplin keilmuwan.

Setelah 40 tahun lebih berada di Baghdad, Al-Farabi meninggalkan kota itu dan menetap di Turkistan. Selama di Turkistan beliau menghasilkan karya terkenal, yakni At-Ta'lim Ats-Tsani. Berikutnya Al-Farabi menuju ke Suriah, dan ke Mesir. Namun tak lama di Mesir, beliau kembali ke Suriah dan bermukim di Kota Allepo.

Dari pengembaraan hidupnya ini, kemudian hari Al-Farabi dikenal sebagai seorang filsuf yang mampu menelorkan ide-ide Aristoteles, sehingga beliau disebut-sebut sebagai Aristoteles kedua dari Islam. Al-Farabi telah berhasil membuka jalan kepada kunci ilmu pengetahuan, di mana manusia memperoleh keberkahan dan manfaat yang tak ternilai harganya.

2.2 Guru-Guru
Selama menimba berbagai ilmu pengetahuan, Al-Farabi memiliki beberapa guru, yaitu:
1. Abu Bakr ibn Saraj
2. Abu Bishr Matta ibn Yunus

3. Pemikiran Al-Farabi
3.1 Pemikiran tentang Ilmu Logika
Mengenai ilmu logika, Al-Farabi terkenal dengan sebutan “Guru Kedua” dan otoritas terbesar setelah Filsuf Terkemuka Aristoteles. Al-Farabi mempunyai kapasitas ilmu logika yang memadai, filsafatnya yang demikian merekonstruksi praktik pendidikan Islam untuk mengembangkan adanya integralitas antara pemikiran naturalisme dan nativisme dengan empirisme. Perpaduan antara keyakinan (belief) akan pentingnya pembawaan, namun tetap memperhatikan adanya pengaruh pengalaman empirik (inquiry) seorang warga belajar.

3.2 Pemikiran tentang Asal-Usul Negara
Salah satu karya besar dan terkenal Al-Farabi adalah Al-Madinah Al-Fadhilah (Kota atau Negara Utama). Dalam karyanya tersebut, Al-Farabi berpendapat bahwa manusia merupakan warga negara yang merupakan salah satu syarat terbentuknya negara. Karena manusia tidak dapat hidup sendiri dan selalu membutuhkan bantuan orang lain, maka manusia menjalin hubungan-hubungan dengan sesamanya. Kemudian, dalam proses yang panjang, pada akhirnya terbentuklah suatu Negara.

Menurutnya, warga negara merupakan unsur yang paling pokok dalam suatu negara. Keberadaan warga negara sangat penting karena warga negaralah yang menentukan sifat, corak, serta jenis negara.

Al-Farabi membagi negara ke dalam lima bentuk, yaitu:

  1. Negara Utama (Al-Madinah Al-Fadilah): negara yang dipimpin oleh para nabi dan dilanjutkan oleh para filsuf, penduduknya merasakan kebahagiaan.
  2. Negara Orang-orang Bodoh (Al-Madinah Al-Jahilah): negara yang penduduknya tidak mengenal kebahagiaan.
  3. Negara Orang-orang Fasik: negara yang penduduknya mengenal kebahagiaan, tetapi tingkah laku mereka sama dengan penduduk negara orang-orang bodoh.
  4. Negara yang Berubah-ubah (Al-Madinah Al-Mutabaddilah): pada awalnya penduduk negara ini memiliki pemikiran dan pendapat seperti penduduk negara utama, namun kemudian mengalami kerusakan.
  5. Negara Sesat (Al-Madinah Ad-Dallah): negara yang dipimpin oleh orang yang menganggap dirinya mendapat wahyu dan kemudian ia menipu orang banyak dengan ucapan dan perbuatannya.

Pemikiran Al-Farabi di atas, terinspirasi dari pemikiran Plato yang tertuang dalam karya monumentalnya Kitab “Republik”, bahwa tujuan pendidikan adalah mencapai keadilan di dalam negara dengan pimpinan raja bijaksana. Oleh karena itu, menurut Plato pendidikan dan politik tidak dapat dipisahkan. Pendidikan harus juga memperhatikan terwujudnya masyarakat adil dan sejahtera, sehingga dalam praktik pendidikan mikro dalam institusi pendidikan, kurikulum sekolah harus terintegrasi dengan permasalahan negara, dan permasalahan yang muncul dalam lingkungan sosial masyarakatnya.

3.3 Pemikiran tentang Pemimpin
Menurut Al-Farabi, pemimpin adalah seorang yang disebutnya sebagai filsuf yang berkarakter nabi, yakni orang yang mempunyai kemampuan fisik dan jiwa (rasionalitas dan spiritualitas). Filsafat Al-Farabi tentang pemimpin ini, menarik untuk dipraktikkan dalam pendidikan Islam, lebih khusus dalam pembelajaran di kelas. Bagaimana warga negara belajar sejak dini terarah untuk belajar mencari ilmu.

Niat mencari ilmu sejak awal harus difokuskan agar dirinya bisa menjadi pemimpin, minimal pemimpin dirinya sendiri. Seorang guru semestinya harus memiliki landasan pemikiran yang kuat, bahwa warga belajar atau peserta didik 10–20 tahun yang akan datang merupakan generasi pemimpin. Karenanya pembelajaran yang dilakukan pada hakikatnya mempersiapkan calon-calon pemimpin dengan pribadi yang memiliki kekokohan akidah atau memegang teguh prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan dalam rangka terciptanya masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera.

3.4 Pemikiran tentang Filsafat dan Metafisika
Untuk pemikiran tentang filsafat dan metafisika, Al-Farabi adalah penerus tradisi intelektual Al-Kindi, tapi dengan kompetensi, kreativitas, dan kebebasan berpikir yang lebih tinggi lagi. Masalah metafisika dalam filsafat Yunani, problema ini dibahas dalam tingkat fisika, sedangkan dalam filsafat Neo-Platonisme dan Islam, ia dikaji sebagai problema keagamaan.

Dalam mazhab Neo-Platonisme dan filsafat Islam, tujuan pembahasan metafisika adalah untuk membangun suatu sistem alam semesta yang dapat memadukan ajaran agama dengan tuntutan akal.

4. Karya-Karya
Semasa hidupnya Al-Farabi menghasilkan sejumlah karya besar yang penting. Kebanyakan pemikiran filsafat yang dikembangkan oleh Al-Farabi sangat berafiliasi dengan sistem pemikiran Hellenik berdasarkan Plato dan Aristoteles. Berikut karya-karya Al-Farabi di antaranya:
1. Kitab Fushush Al-Hikam
2. Kitab Al-Ihsha` Al-'Ulum
3. Kitab Maqalah fi Aghradhi ma Ba’da Al-Thabi’ah
4. Kitab Ara’ Ahl Al-Madinah Al-Fadhilah
5. Kitab Tahshil Al-Sa’adah
6. Kitab U’yun Al-Masa’il
7. Kitab Risalah fi Al-Aql
8. Kitab Al-Jami’ bain Ra’y Al-Hakimain: Al-Aflatun wa Aristhu
9. Kitab Risalah fi Masail Mutafariqah
10. Kitab Al-Ta’liqat
11. Kitab Risalah fi Itsbat Al-Mufaraqat
12. Kitab At-Ta'lim Ats-Tsani

5. Referensi
Data diolah dan dikembangkan dari penelitian Abdul Majid, Filsafat Al-Farabi dalam Praktek Pendidikan Islam, Jurnal Ilmiah Studi Islam: Universitas Sains Al-Qur'an Wonosobo. (ojs.unsiq.ac.id)