Dinamika Umat Islam di Nusantara pada Masa Kolonialisme Belanda

 
Dinamika Umat Islam di Nusantara pada Masa Kolonialisme Belanda
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni. ID, Jakarta – Dalam sebuah Jurnal Artefak, Humar Sidik secara rinci menyampaikan, kejatuhan Konstantinopel ke tangan bangsa Turki Usmani pada 1453 membawa perubahan-perubahan besar di Eropa, dalam bidang sosial, politik dan ekonomi. Terputusnya hubungan perdagangan dunia Eropa-Asia melalui Laut Tengah, menyebabkan bangsa Barat untuk mencari jalan ke Asia. Dengan diketemukannya jalan baru ke Asia terjadilah revolusi dalam struktur perdagangan, yaitu adanya hubungan langsung antara daerah produksi dengan daerah konnsumsi.

Pada 2 April 1595 Armada Belanda yang dipimpin oleh dua orang bersaudara Cormelis dan Frederik de Houtman berangkat dari Tessel, melewati pantai Perancis, Portugal dan Afrika Barat sampai Malagasi. Kemudian kapal tersebut menuju pantai Malabar, terus menyisir hingga sampai pantai Kalikut kemudian sampai di Srilangka. Karena mendengar kabar bahwa singgah di pantai timur Sumatra sangat berbahaya dan ada larangan dari Sultan Aceh maka de Houtman langsung berlayar ke Johor dan menuju pantai Jawa.

Ekspedisi inilah yang akan menjadi cikal bakal munculnya VOC (Verenigde OostIndische Compagnie). Sesampainya di Jawa ,Houtman melihat lingkungan desa yang masih bersifat komunal dengan sistem ekonomi yang tradisional dan hubungan solidaritas yang dibangun lewat ikatan perasaan, sehingga dalam hal ini kemudian berkembang sebuah sistem tukar menukar dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik. Melihat faktor tersebut dan bertolak belakang pada tujuan pelayarannya bahwa daerah jajahan harus menghasilkan dan menjamin negara induk, maka jalan yang dipilih oleh pemerintah Kolonial pada saat itu adalah dengan menerapkan sistem pemerintahan tidak langsung. Hal ini sesuai dengan struktur kekuasaan tradisional yang diterapkan pada masa itu yaitu sistem feodal (Kartodirdjo, 1992).

Sistem politik yang dipilih oleh bangsa Kolonial tersebut mulai diterapkan, dengan tujuan untuk mengambil sumber daya alam sebanyak mungkin demi memperkaya bangsa Induk. Untuk terus bisa melakukan hal ini maka pemerintah Hindia Belanda mencoba memperkuat sistemnya agar dapat melindungi transportasi perdagangan yang telah lama dibentuknya. Akan tetapi Nusantara yang pada saat itu dikuasai oleh kesultanan-kesultanan muslim karena mengalami proses Islamisasi yang kuat dan besar di segala penjuru, mencoba untuk melakukan perlawanan kepada pemerintah Hindia Belanda.

Akhirnya pada abad XIX, masyarakat muslim di Nusantara melakukan perlawanan terhadap Kolonial Belanda. Masyarakat Islam pada saat itu memiliki kesadaran untuk melakukan pemberontakan, kemudian masyarakat Islam yang melakukan pemberontakan tersebut membentuk kelompok-kelompok kecil. Pada saat itu konsep “UMAT” belum sepenuhnya mereka sadari. Islam di Nusantara belum sanggup untuk menyatukan masyarakat Islam secara keseluruhan, dan hanya membentuk masyarakat dalam kelompok-kelompok kecil. Berikut merupakan beberapa pergerakkan yang di dalamnya tedapat Ulama yang bukan hanya sebagai penasehat kerohanian tetapi juga sebagai pimpinan perang.

Perang Padri (1821-1837) sejak awal telah memperoleh sifat keagamaan. Perang ini pada dasarnya perang saudara antara kaum Padri dengan kaum Adat di Sumatera Barat, yang dengan usaha Belanda untuk mencampurinya kemudian berubah menjadi perang nasional melawan Belanda. Perang ini bermula dari dari gerakan puritanisme kaum Wahabi pada awal abad 19 yang bertujuan membersihkan kehidupan agama Islam dari pengaruh adat dan kebudayaan setempat yang dianggap menyalahi ajaran agama Islam ortodoks. Bangkitnya revivalisme atau revitalisme di kalangan para bangsawan menyebabkan mereka menggabungkan diri dengan kaum Padri.

Pusat gerakan ini berada di Pojol atau Alam Panjang dan di bawah pimpinan Tuanku Imam Bonjol, yang dibantu oleh Tuanku Mudik Padang dan Mansiangan. Akan tetapi perang ini berakhir pada 1838 dengan tertanamnya kekuasaan Belanda di Wilayah Sumatera Barat yang secara perlahan namun pasti mengikis kedaulatan dan kebebasan rakyat Minangkabau. Kemudian satu persatu daerah-daerah di Sumatra Barat mulai tunduk di bawah pemerintah Kolonial Belanda.

Selain perang Padri terdapat perang lain juga yang bersifat keagamaan yaitu perang Aceh (1873-1917). Perang ini dikatakan mengandung sifat-sifat jihad yang paling hebat, pimpinan perang suci melawan orangorang kafir Belanda. Maka dari itu yang paling berhak untuk menjadi panglima, pemimpin serta mengorganisasi dan mengakomondir perang adalah ulama. Perang Aceh memiliki dimensi yang bukan hanya mencakup nasional saja melainkan juga skala internasional. Untuk memperkuat diri dalam menghadapi kemungkinan-kemungkinan serangan dari pihak Belanda, Aceh berusaha mengadakan hubungan diplomatik dengan negara-negara luar yang dapat membantunya karena mereka sadar amunisi dari pihak Kolonial lebih maju ketimbang milik bangsa Aceh pada saat itu.

Pada Januari 1873 Sultan Aceh mengirimkan seorang utusan Habib Abdurahman, ke Turki untuk meminta bantuan. Di dorong oleh rasa takut akan makin meluasnya gerakan Pan-Islamisme yang dirangsang oleh peristiwa-peristiwa di Aceh maka Belanda segera bertindak. Atas nasihat Prof. Dr. C. Snouck Hurgronje, Belanda meninggalkan sistem konsentrasi (consentratie stelsel) dan mengadakan serangan-serangan gencar agar dapat menandingi sifat jihad rakyat, pimpinan diserahkan kepada jenderal Van Heurt, ia memadukan taktik mobil pasukan-pasukan marchussee dengan psywar berdasarkan pengetahuan yang mendalam akan hal-ikhwal mengenai rakyat Aceh.


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 September 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar