Kontribusi Dayah dalam Mengusir Penjajah

 
Kontribusi Dayah dalam Mengusir Penjajah
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta -  Dirilis dari jurnal Mudarrisuna karya Nuraini, “Potret Islam Tradisional ‘Dayah Dan Ulama Di Aceh Abad Ke-20’ dalam Perspektif Sejarah”menyatakan bahwa, Ketika Belanda ke Aceh, terdapat beberapa dayah yang telah berdiri di kawasan tersebut. Ketika perang meletus, dayah memainkan peranan penting dalam perlawanan rakyat Aceh. Sultan dan para uleebalang tidak sanggup menjalankan roda kepemimpinan, jadi para tentara ingin pemimpin lain untuk melanjutkan perlawanan dalam rangka mempertahankan tanah air mereka. Selain itu, Teuku Panglima Polem membujuk Tgk. Abdul Wahab Tanoh Abee untuk membangkitkan semangat rakyat untuk ikut berperang.

Dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh Teuku Panglima Polem dan beberapa uleebalang yang masih ingin melanjutkan peperangan, Tgk. Chik Tanoh Abee mengatakan bahwa ia setuju dengan gerakan ini jika para uleebalang yang mengambil harta rakyat dengan cara tidak adil, maka ia menginginkan mereka untuk mengembalikan harta tersebut; sebelum berperang melawan musuh, mereka harus membersihkan diri mereka dari ketidakbenaran. Jika tidak, maka dia tidak ingin terlibat dalam peperangan ini dan murid-muridnya tidak akan diizinkan juga.

Dalam pertemuan itu tidak menghasilkan apa-apa, sementara itu beberapa tentara yang ingin melanjutkan perang selanjutnya mencari pemimpin yang lain. Setelah diskusi panjang lebar, salah satu kelompok tentara, yang dikenal dengan utusan Gunong Biram, pergi ke satu dayah di Tiro47 untuk mencari seorang pemimpin. Utusan ini diterima oleh Tgk. Chik Dayah Cut, pada saat itu menjabat sebagai pimpinan Dayah Cut. Tgk. Chik Dayah mendukung keinginan utusan Gunong Biram dan dalam satu pertemuan yang dilaksanakan dengan beberapa muridnya untuk memecahkan masalah yang diajukan oleh utusan tersebut.

Akhirnya, Tgk. Muhammad Saman (yang kemudian dikenal dengan sebutan Tgk. Chik Di Tiro), salah seorang guru di Dayah tersebut dipilih sebagai pemimpin pasukan. Untuk menyakinkan rakyat agar ikut dengan Saman dan memberi dukungan moril dan spirituil, Tgk. Dayah Cut menyelenggarakan dua pertemuan akbar bertempat di dua dayah yang berbeda di Tiro; pertemuan pertama yang dilaksanakan di Dayah Krueng dan yang kedua di Dayah Lampoh Raya. Untuk mendapatkan senjata dibangun sebuah “teumpeun” (pabrik senjata tradisional) yang dibangun di Tiro yang memproduksi berbagai senjata tradisional, seperti rencong (pisau rakyat Aceh) dan pedang-pedang.

Sebelum menjadi komandan, Tgk. Muhammad Saman pernah mendapatkan pengalaman kemiliteran ketika bersama muridmurid Dayah Lamkrak dalam menghadapi garnisun Belanda di Lamkrak, Aceh Besar. Pengalaman ini menjadi asset yang penting terhadap Tgk. Muhammad Saman dan menjadi mudah baginya untuk mendapatkan dukungan dari Aceh Besar. Semua temantemannya bergabung dengannya ketika perang melawan garnisun Belanda, mencari makanan dan merekrut masyarakat.

Setelah masa persiapan dan konsultasi, seluruh anggota dayah di Aceh Besar terlibat dalam perang, termasuk juga beberapa pimpinan dayah, seperti Tgk. Chik Tanoh Abee dan Tgk. Chik Kuta Karang, bergabung menjadi staf Tgk. Muhammad Saman. Tgk. Dayah Krueng Kale mengirim murid-muridnya untuk berperang dalam pasukan Tgk. Muhammad Saman. Dayah Tiro sendiri dijadikan sebagai markas besar oleh Tgk. Muhammad Saman. Setelah ia wafat, dayah ini tetap dijadikan sebagai markas besar militer oleh keturunannya yang melanjutkan berperang hingga tahun 1910. Hal ini menunjukkan bahwa dayah, apa pun bentuk namanya di tempat lain, telah menjadi pusat perlawanan dalam menghadapi penetrasi penjajah. Hal serupa juga terdapat di Pattani, Thailand, zawiyah menjadi pusat latihan bagi para kesatria untuk mencapai kemerdekaan.

Ketika Diponegoro melawan penjajah Belanda, seluruh murid pesantren Pabelan di Jawa Tengah ikut terlibat. Pesantren ini merupakan markas Kiyai Maja, salah satu wakil Diponegoro. Apa yang terdapat dalam Hikayat Prang Sabi, yang kemudian menjadi suatu kekuatan yang membangkitkan semangat rakyat Aceh terjun ke perang suci untuk mempertahankan tanah Aceh merupakan salah satu indikasi lain yang menjelaskan keterlibatan ulama dayah dalam perang ini.

Dalam konteks ini, indikasi pertama menyatakan bahwa Hikayat Prang Sabi disusun dalam bahasa Aceh yang sering dipakai oleh ulama dayah. Dalam hal ini, dalam satu dayah biasanya dipakai tiga bahasa, yaitu bahasa Aceh, Melayu dan Arab. Kebanyakan kitab Al-Qur’an dan Hadis. Meskipun demikian, bahasa Aceh dan Melayu senada juga dapat ditemui dalam kitab Hikayat Prang Sabi. Kata-kata yang dipakai adalah bahasa Aceh, meskipun kadang-kadang memakai bahasa Melayu, dan di tempat lain digunakan bahasa Arab, terutama dalam hal mengutip dari Al-Qur’an dan al-Hadis. Tgk. Chik Pante Kulu merupakan salah seorang pengarang yang dikenal banyak memberikan kontribusi dalam kegiatan tersebut. Ia sendiri pernah belajar di Dayah Tgk. Dayah Cut. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 8 Oktober 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar