Sudahkah Kita Bertauhid

 
Sudahkah Kita Bertauhid

LADUNI.ID - Sejak tragedi pembakaran bendera HTI yang terjadi pada Apel Hari Santri Nasional di Garut beberapa hari lalu (22 Oktober 2018), kita melihat orang-orang mulai mempamerkan ketauhidan. Padahal sebagaimana kita tahu, Tauhid sebagai sebuah nilai dan ilmu hanya diterapkan dan dipahami oleh segelintir orang hari ini. Dari masa ke masa, seorang yang menggandrungi ilmu-ilmu fiqh jauh lebih banyak dan laris ketimbang pakar-pakar ilmu-ilmu “tauhid” sampai hari ini.

Seperti tiada lagi yang lebih cinta tauhid selain mereka, bahkan tulisan-pun dibakar tiada mereka rela. Tragedi itu telah “menghisab” siapa yang bertauhid secara tulus dan sejati dan siapa yang cuma happy-happy. Ketika hampir semua media memuat analisa tentang tragedi itu dari berbagai sudut pandang, maka sakralitas tauhid sebenarnya sedang digadaikan kepada “manusia-manusia” pemburu tulang. Hari itu pula, kita menyaksikan bagaimana tauhid dengan begitu mudah dipermainkan seperti anak-anak kecil main tebak-tebakan.
Marilah kita duduk sejenak! sambil menikmati kopi, kita rangkai semua masalah ini sampai rapi!

Beriman dan Bertauhid
Tauhid tidaklah semakna dengan iman. Karena banyak manusia yang mengaku beriman, namun tak berdasarkan tauhid yang benar. Pasca seorang manusia memutuskan untuk beriman, maka aspek digmatis dari sebuah agama yang mendorongnya untuk memperoleh gelar mukmin. Tauhid-lah kemudian yang akan memperkokoh keimanan itu, sehingga dia tak akan goyah sampai kapanpun.

Maka, para ulama sejak dahulu telah mewajibkan kepada seluruh umat Islam agar mempelejari tauhid sebagai fondasi bagi kokohnya bangunan agama seseorang. Dalam lingkungan Ahulussunnah wal Jama’ah mengkaji akidah dengan menjadikan asy’ariyyah sebagai metodologi, kita mengenal beberapa ulama seperti Imam al-Ghazali, Syekh Abdul Karim asy-Syihristani, Syekh Fakhruddin Arrozi, Syekh Adzdhuddin al-Iji, Syekh Muhammad as-Sanusi, Syekh ad-Dasuqi, Syekh Ibrahim al-Bajuri, Kiai Zaini Dahlan, Kiai Nawawi al-Bantani, Kiai Makhfudz at-Tirmasi sampai kepada Khadrotussyaikh Kiai Haji Hasyim Asy’ari (Pendiri Nahdlatul Ulama).

Dari para guru-guru yang agung itulah kita mengenal apa yang disebut dengan aqo’id khomsin (akidah lima puluh) yang sejak kecil kita sering menyanyikan di masjid, surau atau langgar sambil menunggu imam salat tiba. Akidah kelima puluh itulah yang dirangkum dalam satu disiplin ilmu pengetahun mulai dari kitab paling dasar di Pesantren seperti Aqo’id ad-Diniyyah, Aqidatul Awam, Ummul Barohin, Hasyiyah Sanusiyah, Kifayatul Awam, Fathul Majid sampai al-Milal wan Nihal, Maqolatul Islamiyyin dan kitab-kitab lainnya.

Sampai di sini, para ulama melalui karya-karya agung itu sedang berusaha untuk memperkenalkan makna sejati dari kalimat Tauhid, dengan penuh kesungguhan ingin menghunjamkan lafadz “La ilaha illa Allah, Muhammad Rasulullah” ke lubuk hati paling dalam seseorang yang mengaku Islam dan beriman.

Tauhid dalam Ruang Makna
Dalam memahami kalimat tauhid, paling tidak kita dituntut untuk memahaminya dalam dua level (sho’id) sekaligus. Yang pertama adalah level definisi (Sho’idut Ta’rif) dan yang kedua adalah level praktis (sho’idut Tahqiq).
Seruput lagi kopimu! Mari kita mulai diskusi dari level pertama!

Dari sisi gramatikal Arab (Nahwu), lafadz La ilaha (tiada tuhan), terdiri dari susunan (tarkibla nafi jins (artinya: la yang bertugas mentiadakan segala macam jenis benda) yang hanya masuk pada isim nakiroh (kata benda yang bermakna umum). Maka ketika lafadz ini diucapkan, seseorang sedang berusaha untuk mentiadakan segala jenis sesembahan dan tempat menggantung segala harapan. Dalam fase La ilaha ini secara mendadak dia menjadi ateis dengan menghancurkan segala konsepsi tentang tuhan.

Seiring kemajuan zaman dan tingkat sosialitas manusia semakin dibutuhkan, dia tak dapat hidup dengan terpisah sama sekali dari manusia-manusia di luarnya. Bukan cuma itu, bahkan manusia terus bergantung hidup kepada apa yang ada di sekelilingnya. Segala apa yang mereka butuhkan hari ini nyaris bisa dipenuhi dengan terus melakukan interaksi berkesinambungan antar satu manusia dengan segala hal yang ada di kiri kanan. Senada dengan itu, maka tuhan-tuhan baru pun mulai bermunculan. Dalam fase “ateis” ini, kita seringkali berbohong untuk bersikap “ateis” sama sekali, karena nyatanya kita masih saling membutuh(an)kan.

Penggal kata kedua adalah illa Allah (kecuali Allah). Kata ini laksana sebuah hasil pengembaraan panjang manusia untuk mencari esensi kebenaran tentang tuhan. Setelah dia melewati masa krisis tentang tuhan, dengan kalimat simpel ini dia seperti menemukan “oase” sesaat sebelumnya berkubang di antara panas dan gersang pada pasir kehidupan. Muatan inilah yang kemudian diringkas oleh para ulama –di antaranya Kiai Nawawi al-Bantani- yang memaknai kalimat tauhid itu dengan kalimat “la ma’buda bihaaqin fil wujud, illa Allahi” (segala hal yang “ada”, tiada yang pantas disembah secara “Haqiqi” kecuali Allah).

Tauhid Sebagai Nilai Yang Hidup
Jika pada level pertama kita memahami tauhid dalam kerangka yang begitu normatif, ibarat tanaman, dia adalah benih yang kita tanam dalam hati, maka pada level kedua ini adalah hasil yang kita tuai. Level ini kita sederhanakan istilahnya dengan sho’idut Tahqiq. Adalah merasionalisasikan makna tauhid dalam cermin kehidupan dengan segudang fakta dan realita yang mengitarinya. Ketika berbicara tauhid pada level ini, maka kita sejenak melupakan aspek-aspek teoritis yang sangat beragam tatkala para ulama mulai mendefinsikannya. Sebagai sebuah nilai yang harus hidup di tengah-tengah kita, maka ayat berikut bisa kita jadikan bahan untuk membaca fungsi tauhid dalam kehidupan sosial.

ضرب الله مثلا رجلا فيه شركاء متشكسون ورجلا سلما لرجل هل يستويان مثلا, الحمد لله بل اكثرهم لايؤمنون

Artinya : Allah memberi perumpamaan pada seorang lelaki yang dimiliki oleh beberapa orang yang berserikat dan berselisih. Dengan seorang yang menjadi milik penuh seorang saja. Apakah dua orang lelaki itu sama halnya? Segala puji bagi Allah kebanyakan mereka tidak mengetahui. (az-Zumar [39]:29)

Ayat ini secara sederhana menggambarkan tentang “satu orang budak” yang dimiliki oleh dua penguasa yang antara keduanya saling berselisih perihal satu budak itu. Adakanya sang majikan A menghendaki agar sang budak mengerjakan sesuatu yang ini, sedangkan yang B menghendaki sesuatu yang berbeda. Bisa dibayangkan kekacauan yang akan terjadi pada satu orang budak itu.

Menurut Dr Wahbah Zukholili dalam Tafsirnya al-Munir (Vol: 12, hal: 311), ayat ini adalah gambaran tentang seorang yang musyrik dan menyembah pada banyak tuhan. Sang budak akan selalu dirundung kebingungan yang rumit. Bagaimana mungkin dia dapat melaksanakan dengan sempurna tugas kehambaannya untuk dua tuhan sekaligus?
Perumpamaan yang ditampilkan oleh al-Quran ini cukup menyiratkan kepada kita tentang makna tauhid dalam kehidupan sehari-hari. Ayat ini –dipandang dari sisi balaghah– jauh melampaui sekadar kiasan. Ada nilai tauhid yang sangat niscaya untuk diterapkan pada level praktis kehidupan saat ini.

Tak sampai di situ, al-Quran juga memberikan kiasan tentang orang-orang yang beriman serta berpegang teguh pada prinsip tauhid dalam hidupnya. Yakni dengan perumpamaan budak yang hanya dimiliki oleh seorang tuan saja. Dalam menjalankan tugas kehambaan, tentu seorang budak ini akan lebih terjaga komitmennya, sehingga dari sana dia tidak akan dirundung kebingungan oleh sebuah perintah dari sang tuan.

Hidup dengan beragam realita dan fakta tak bisa dihindarkan dari keniscayaan nilai-nilai tauhid. Seseorang dengan segenap tujuan dan cita-cita di dunia tak akan mampu bergerak dalam sebuah proses dualisme yang sama sekali berbeda. Dia harus mampu memposisikan diri di antara sekian titik dialektis realita. Dalam artian, di tengah tumpang-tindih realita sosial manusia, ketika tuhan-tuhan baru mulai bermunculan, tauhid adalah sebuah pembimbing utama manusia untuk bisa terus menentukan posisi lurus dengan kebenaran di tengah apa yang “tampak” benar.

Dalam bahasa yang lebih praktis hari ini, yang mana Islam di negeri ini tampil dalam beberapa wajah yang berbeda-beda sekaligus. Ada yang berwajah sejuk, tenang dan tampak sangat Islami, tapi di baliknya tersimpan sejuta niat untuk menghancurkan manusia lain yang dianggap tidak sama agamanya. Ada yang teduh nan sejuk, selalu komitmen membawa pesan damai, tapi sebagian terjerumus dalam kelok-kelok kepentingan politik yang kurang baik. Walhasil, sebagian akal sehat kerap digadaikan. Ada yang tampak beringas, namun memiliki niat yang baik bagi agama dan bangsa, hanya karena kurang hati-hati dalam melangkah, kerapkali mereka hanya dijadikan tunggangan belaka oleh pihak yang ingin berkuasa. Di mana wajah tauhid sebenarnya? Adakah di antara sekian wajah itu?

Masyarakat beragama hari ini dirundung kebingungan luar biasa dalam silang sengkarut politik yang sarat kepentingan. Lilitan inilah yang mengitari sekeliling fenomena beragama hari ini, benalu itu begitu sulit untuk dibersihkan sejak dahulu sampai sekarang. Di sinilah bisa kita jadikan tauhid sebagai sebuah alat yang berfungsi untuk mencerabut segala macam parasit mengganggu itu. Jika tauhid justru masuk ke dalam salah satu wajah yang penuh dengan problem itu, maka dia hanya akan menjadi tak lebih dari hiasan yang mengundang jenis-jenis tetumbuhan parasit lainnya untuk menghisap saripati pohon agama tersebut.

Tragedi pembakaran bendera Kalimat Tauhid, yang menurut penelitian PBNU sengaja dipasang oleh HTI untuk memprovokasi banser agar terkecoh serta reaksi yang lahir setelahnya berupa aksi-aksi massa, merupakan fenomena awal kesalahan menempatkan tauhid dalam kehidupan sosial. Pihak utama (HTI) berfikir bahwa bendera bisa mengikis nasionalisme rakyat, pihak kedua (Banser) berfikir bahwa dengan membakar bendera HTI berisi kalimat tauhid, maka nasionalisme akan semakin terjaga. Pihak ketiga (massa aksi bela-membela) berfikir bahwa bendera tauhid adalah “makna sejati dari ketauhidan itu”.

Semua pihak yang terlibat seperti sedang terlibat dalam sebuah transaksi besar-besaran atas nama tauhid, bukan tauhid sebenarnya.

Oleh: Muhammad Hasanie Mubarok

 

 

Tags