Ketika Politik Uang Dimainkan dalam Panggung Demokrasi

 
Ketika Politik Uang Dimainkan dalam Panggung Demokrasi
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pemimpin merupakan sosok yang memegang peranan penting menuju kesuksesan sebuah negeri. Dalam menentukan seorang pemimpin itu membutuhkan proses yang panjang, salah satunya dengan melaksanakan pemilihan umum, baik pilkada, pilpres maupun pemilihan lain yang sejenis. Biasanya, tidak jarang dalam setiap menjelang pemilihan kepala daerah maupun presiden bermacam cara dilakukan oleh timses, baik itu yang dibenarkan oleh undang-undang ataupun terkadang ada yang menyalahinya.

Salah satu praktik yang sangat marak terjadi adalah "money politic" (poitik uang). Fenomena ini biasanya dilakukan menjelang hari pelaksanaan pemilihan, yang kemudian banyak masyarakat mengenalnya dengan istilah "serangan fajar". Dalam aksinya, terkadang diberikanlah uang kepada setiap orang yang sudah berhak memilih, biasanya perorang bervariasi, ada yang 50.000, 100.000, 200.000, bahkan lebih untuk mencoblos seseorang yang dimaksudkan oleh tim pemberi (serangan fajar).

Politik uang itu bervariasi dalam aplikasinya. Secara hukum, politik uang merupakan sebuah bentuk pelanggaran terhadap hukum, karena di dalam Pasal 73 UU Nomor 1 Tahun 2015 telah dijelaskan tentang pemilihan gubernur, bupati, dan walikota secara tegas dan dinyatakan bahwa calon dan/atau tim kampanye dilarang menjanjikan dan/atau memberikan uang atau materi lainnya untuk mempengaruhi pemilih dalam pelaksanaan pemilu.

Calon yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap bisa dikenai sanksi pembatalan sebagai calon oleh KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota dan dikenai sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan tim kampanye yang terbukti melakukan pelanggaran berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dikenai sanksi pidana sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Galang Asmara, 2018)

Dalam pemilihan seorang pimpinan termasuk dijenjang apapun terlebih kepala daerah dan negara, tentu saja ini harus dilaksanakan untuk menegakkan kebenaran dan kebaikan dalam batas syariat yang telah digariskan. Singkat kata, semangat ini tidak lain adalah dalam rangka mengimplementasikan amar makruf nahi mungkar. Pemilihan tidak didasarkan demi fulus (uang).

Jika kita mengkaji beberapa fenomena dalam masyarkat dengan kajian kitab para ulama di saat bergemanya suasana pemilihan kepala daerah atau presiden dan lainnya, maka kita akan menemukan bahwa perlu memilah persoalan money politic dalam beberapa katagori dari perspektif kajian ulama.

Di antara fenomena tersebut adalah tentang seseorang yang hanya memberi sekedar untuk mencari dan menarik simpati dalam masyarakat, maka tindakan seperti ini diperbolehkan terhadap pemberi. Sedangkan mereka sang penerima hukumnya makruh mengambil money (uang) itu. (Imam Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, jilid II, hlm. 156-157)

Kejadian dan fenomena yang tidak kalah menariknya, adalah adanya sang pemberi uang melakukan perjanjian ikatan kontrak yang mengikat dengan penerima uang untuk memilih salah satu calon pemimpin. Jika ini dilakukan, maka hukumnya adalah haram, baik penerima maupun pemberi. Indikator atau alasan diharamkannya perbuatan tersebut adalah disamakan dengan praktik risywah (penyuapan). (Imam Al-Ghazali, Ihya' Ulumuddin, jilid II, hlm. 156-157)

Jika dikaji lebih jauh, fenomena yang terjadi tersebut juga sebagaimana digambarkan oleh Baginda Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis yang artinya adalah berikut ini: 

"Tiga orang yang tidak akan diajak berbicara oleh Allah kelak pada Hari Kiamat, Allah tidak akan membersihkan mereka dan mereka akan memperoleh siksa yang pedih. Pertama, orang yang memiliki air melebihi kebutuhan dalam perjalanan dan tidak memberikannya kepada musafir (yang membutuhkannya). Kedua, laki-laki yang membai'at seorang pemimpin hanya karena dunia. Apabila pemimpin itu memberinya, ia akan memenuhi pembai'atannya, tetapi apabila tidak diberi, dia tidak akan memenuhinya. Dan ketiga, orang yang menawarkan dagangannya kepada orang lain sesudah waktu Ashar, lalu dia bersumpah bahwa barang dagangan itu telah ditawar sekian oleh orang lain, lalu pembeli mempercayainya dan membelinya, padahal barang itu belum pernah ditawar sekian oleh orang lain." (HR. Bukhri dan Muslim).

Menyikapi perkara yang marak terjadi setiap menjelang pemilihan umum tersebut, Tim Bahsul Masail NU Jember pernah menyebutkan sebuah fenomena dengan status kejadian yang mana pemberian seorang politikus untuk ormas atau yayasan Islam yang diberikan tanpa disertai kontrak politik yang jelas, namun terindikasi bertujuan untuk mendapatkan dukungan politis dari para penerima bantuan dalam persaingan pemilihan pemimpin daerah ataupun kepala negara. Para tim perumus kemudian mengumpulkan jawaban dari berbagai 'ibarah kitab dan menghasilkan satu pandangan dengan menyebutkan bahwa pemberian seorang politikus yang bertujuan untuk mempengaruhi pilihan seseorang secara tidak benar dalam memilih pemimpin, maka hukumnya praktik tersebut adalah haram karena termasuk risywah (sogok). (Tim Bahsul Masail NU, 29 Januari 2017 di PP Darul Muhlisin). Wallahu A'lam bis Showab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 27 November 2018. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Iswadi Arsyad, M. Sos (Dosen IAI Al-Aziziyah Samalanga)

Editor: Hakim