Awal Kisah Cinta Mengharukan Sang Pemuda di Semenanjung Negeri Arab

 
Awal Kisah Cinta Mengharukan Sang Pemuda di Semenanjung Negeri Arab

 

LADUNI.ID, CERPEN- Bumi terus di bakar sang surya, kala itu, tengah terik matahari yang membakar bumi tandus semenanjung (jazirah) Arabia, Ibnu Marzuki dengan sangat bersahaja berangkat menghadap seorang yang terkenal di negeri tersebut, Syekh Ismail Al-Qari.

Mulanya, seakan-akan langkah pemuda jenius yang adalah mahasiswa pascasarjana Universitas Al-Azhar itu bukannya bergerak maju, tetapi mundur. Begitu segannya Ibnu Marzuki al-Atsyih kepada  keluarga Syekh Ismail. Meski jantung berdebar-debar ditambah perasaan acuh tidak acuh, ia membulatkan tekad, tetap melangkah hingga tiba di kediaman almarhum Syekh Ismail yang saat meninggalnya dimandikan dan dishalatkab oleh orang shalih yang bisa dikatagorikan waliyullah yang sangat benci kepada kain sarung dan mikrofon yang sempat menegur secara tidak langsung salah seorang Al-Mujaddid negeri sebelah timur Mekkah itu. Padahal kala itu belum adanya handphone dan medsos media yang bisa memberikan informasi supercepat, namun yang namanya waliyullah pasti ada "handphone" supranatural tersendiri.

"Assalamu’alaikum...," ucap Ibnu Marzuki dua kali mengulangi salam. “Seperti tidak ada beliau," gumamnya dalam hati.

"Assalamu’alaikum…,” ucap Ibnu Marzuki lagi saat itu didampingi kawan akrabnya berbadan kurus hitam manis dan murah senyum.

“Wa'alaikumsalam...," jawab Ummi yang merupakan istrinya Syekh Ismail Al-Qari yang merupakan ahli qira’ah sab'ah yang masyhur di semenanjung Arabia itu.

Jawaban yang muncul dari balik dinding itu terasa menyejukkan hati Ibnu Marzuki. Seperti biasa, setiap tamu yang datang disilakan duduk dan dihidangkan air atau sedikit makanan. Setelah berbincang-bincang dan terlibat dialog akrab, Ibnu Marzuki mencoba mengutarakan isi hatinya. Namun, mulutnya  seakan-akan terkunci rapat. Setelah berusaha sekuat tenaga, akhirnya pemuda tampan itu mampu mengeluarlah sepucuk hasrat yang telah lama terpendam.

Dengan suara nyaris tertahan, ia mengungkapkan, "Maksud dan tujuan saya ke sini wahai Syekh, tiada lain, melainkan ingin menikahi putrimu yang mulia.”

Sebagai seorang ayah, tentu saja dengan penuh bijaksana dihiasi akhlakul karimah, Syekh Ismail tidak langsung memberi jawaban. Ia tetap mengedepankan musyawarah sebelum mengambil keputusan. Ini berbeda dengan sebagian orang tua di zaman sekarang, tanpa musyawarah dengan pertimbangan harta, pangkat atau jabatan lebih diutamakan.

Detak jantung dan perasaan Ibu Marzuki tidak beraturan dan harap-harap cemas menunggu jawaban dari Syekh Ismail. Keringat kegundahan mahasiswa semester akhir pascasarjana Universitas Al-Azhar itu tidak terhindarkan. Di tengah suasana yang tidak menentu itu, Syekh Ismail pun membuka mulutnya sambil berucap: "Saya tidak akan menerimanya hingga saya meminta izin pada putriku Siti Rahmah."

Begitu mulia akhlak Syekh Ismail. Ia seorang ulama yang menghargai anaknya dalam hal ini. Lantas, Syekh pun menemui putrinya yang jelita dan menceritakan keinginan Ibnu Marzuki. Syekh Ismail dengan lemah lembut bertanya kepada putrinya Yenny Rahmah, "Ada seorang pemuda mahasiswa Al-Azhar datang padaku dan sungguh dia telah menyebut namamu. Apakah engkau ridha dia menjadi suamimu?"

Mendengar nama sosok yang disebutkan oleh ayahnya itu dan keinginan pemuda tersebut, detak jantung Yenny Rahmah melaju cepat. Apa yang terjadi kemudian?[] 

***Helmi Abu Bakar El-Langkawi Penggiat literasi asal Pidie Jaya