Kebijaksanaan dalam Membangun Peradaban

 
Kebijaksanaan dalam Membangun Peradaban
Sumber Gambar: masrawy.com, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Abu Ja’far Muhammad Ibn Jarir At-Thabari, guru besar para ahli tafsir dan sejarawan besar, dalam bukunya yang termasyhur Tarikh Al-Umam wa Al-Muluk (Sejarah Bangsa-Bangsa dan Raja-Raja), mencatat dokumen sejarah penting tentang perjanjian yang dibuat dan ditandatangani oleh Khalifah Umar bin Khattab dengan umat Nasrani di Yerussalem. Perjanjian ini dikenal dengan nama “Mu’ahadah Elia”, karena dideklarasikan di Elia, nama kuno Yerussalem, tahun 15 H/636 M. Isinya adalah sebagai berikut:

بسم الله الرحمن الرحيم، هَذَا مَا أَعْطَى عَبْـدُ اللهِ أَمِيرُ الْمُؤمِنِينَ عُمَر، أَهْلَ إِيلِيَا مِنَ الْأَمَـانِ، أَعْطَـاهُمْ أَمَـانـاً لِأَنْفُسِهِمْ وَأَمْوَالِهِمْ وَلِكَنَائِسِهِمْ وَلِصُلْبَانِهِمْ وَمُقِيمِهَا وَبَرِيئِهَا وَسَائِرِ مِلَّتِهَا، إِنَّهَا لَا تُسْكَنُ كَنَائِسُهُمْ وَلَا تُهْدَمُ وَلَا يَنْتَقَصُ مِنْهَا وَلَا مِنْ حَدِّهَا وَلَا مِنْ حِيَّزِهَا وَلَا مِنْ صلْبَانِهِمْ، وَلَا شَيْء مِنْ أمْوَالِهم، وَلَا يُكْـرهُـوْنَ عَلَى دِيْنِهِمْ، ولَا يُضَارُّ أَحدٌ مِنْهُمْ،....

“Dengan nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Inilah yang diberikan oleh hamba Allah, Umar, pelayan orang-orang yang beriman, kepada penduduk Elia. Umar memberikan jaminan keamanan/perlindungan atas hak hidup, hak milik, bangunan-bangunan gereja, salib-salib, orang-orang yang lemah, orang-orang merdeka dan semua sekte. Gereja-gereja mereka tidak boleh diduduki, tidak boleh dihancurkan, tidak boleh ada hal-hal (sesuatu) yang dikurangi dari apa yang ada dalam gereja itu atau diambil dari tempatnya; tidak juga salib-salibnya dan tidak pula harta benda mereka, penduduknya tidak dipaksa (meninggalkan) agama mereka dan tidak satu orangpun dari mereka yang boleh disakiti....”

شَهِـدَ عَلى ذلـك خَالِـدُ بن الـوليد، وعمرو بن العـاص، وعبد الرحمن بن عوف، ومعاوية بن أبي سفيان. كتب وحضر سنه خمس عشرة

"Penandatangan perjanjian ini disaksikan oleh Khalid Ibn Al-Walid, Amr bin ‘Ash, Abdurrahman bin ‘Auf, Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan ditetapkan pada tahun 15 H."

Perjanjian yang dibuat Umar bin Khatthab tersebut menggambarkan pandangannya yang sangat mendalam tentang kerahmatan Islam yang tidak hanya diberikan kepada bangsa dan umatnya sendiri, melainkan kepada semua umat manusia apapun agama yang dianutnya.

Cak Nur (Dr. Nurcholis Madjid) pernah menulis begini:

"Pada masa-masa awal, banyak pergaulan sosial yang lancar di antara kaum Muslimin, Kristen dan Yahudi. Sementara menganut agama masing-masing, mereka membentuk masyarakat yang satu di mana relasi persahabatan pribadi, kerjasama bisnis hubungan guru-murid dalam ilmu pengetahuan dan bentuk-bentuk aktivitas bersama lainnya berjalan normal dan sangat umum di mana-mana. Kerjasama budaya ini dibuktikan dalam banyak cara." (Nurcholis Madjid, Islam Agama Peradaban, hal. 60)

Membaca sejarah di atas, kita melihat bahwa Islam pada masa lalu begitu inklusif (terbuka), ramah dan toleran. Relasi antar umat beragama berlangsung damai dan bersahabat. Perbedaan agama tidak menghalangi mereka untuk saling berbagi pengetahuan dan kebijaksanaan. Berbuat baik dan adil serta "Qabul Al-Akhor" (menyambut liyan) tidak berarti tidaklah berarti mengakui keyakinannya. Keyakinan adalah milik individu, sedangkan perbuatan baik adalah milik bersama.

Al-Qur'an sudah menyatakan :

لَا يَنْهَاكُمُ اللهُ عَنِ الَّذِيْنَ لَمْ يُقَاتِلُوْكُمْ فِى الدِّيْنِ وَلَمْ يُخْرِجُوْكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ اَنْ تَبَرُّوْهُمْ وَتُقْسِطُوْا اِلَيْهِمْ. اِنَّ اللهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِيْنَ

"Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusir kamu dari kampung halamanmu. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil." (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Berkat relasi kesalingan kerjasama dan keterbukaan itu peradaban kaum Muslimin mengalami puncak kejayaan dan dapat memberi sumbangan yang berharga bagi kemajuan peradaban dunia.

Lalu, apakah kita sebagai kaum Muslimin hari ini masih menjaga warisan kebijaksanaan yang indah itu atau sedang kehilangan kebijaksanaan itu? Orang-orang bijak bestari berkata: "Kita sepatutnya mengambil kebijaksanaan itu di tangan siapapun dan di manapun ia berada, karena itu adalah milik kita." []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 04 Januari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: KH. Husein Muhammad

Editor: Hakim