Organisasi di Persimpangan Jalan

 
Organisasi di Persimpangan Jalan

LADUNI.ID - Kenapa organisasi kemahasiswa hari ini banyak beroleh sorotan tajam? Mulai dari kritik tajam yang dilengkapi dengan referensi ilmiah, kata-kata penuh nyinyir yag menyudutkan sampai cemo’ohan yang membuat organisasi mahasiswa seolah tak memiliki legitimasi apa-apa atas keberadaannya di jagat pertiwi ini.

Padahal, as you know, organisasi kemahasiswaan memiliki sejarah panjang atas munculnya tanggal-tanggal keramat seperti 45, 66 sampai yang terakhir 1998 yang menunjukkan fase penting dalam sejarah negeri ini. Sebuah perjuangan merebut reformasi struktural dan kultural sekaligus, telah melibatkan gerakan mahasiswa mengambil porsi dominan sampai hari ini, minimal di kampus-kampus.

Namun, kesimpulan beberapa orang bahwa organisasi hari ini ada dipersimpangan jalan dan termenung lama (setidaknya sampai keluarnya tulisan ini) adalah sebuah kenyataan eksistensial yang tidak terelakkan. Sebagian masih terlalu bingung untuk berjalan ke arah kiri atau kanan, mau hadir sebagai komponen bagi bangsa atau eksponen. Pertanyaan itu kemudian membuat gerakan mahasiswa berjalan di tempat atau paling tidak mencoba menghibur diri dengan jargon netralitas.

Bersikap netral tentu sesuatu yang membingungkan, karena gerakan apapun nama dan orientasinya harus selalu berangkat dari struktural materi yang konkrit untuk kemudian berpihak dan bergerak. Netralitas adalah isapan jari. Upaya untuk menjejakkan kaki ke dalam basis materi konkrit inilah mengharuskan gerakan mahasiswa masuk dalam gerakan pragmatisme yang jika salah penafsiran dan penggunaan akan menjerumuskannya pada kehancuran, paling tidak nilai-nilai normatifnya.

Salah satu efek kesalahan dalam memaknai pragmatisme dalam gerakan atau penyempitan terhadap maknanya adalah fenomena “sulitnya membedakan antara OKP dan Partai Politik” dalam varian gerakannya di lapangan. Sungguh tak bermaksud untuk “lebay”, namun inilah yang kemudian menyebabkan gerakan mahasiswa memperoleh banyak sorotan tajam sampai cemo’ohan.

Salah satu yang paling kentara terlihat tentang fenemona “OKP semi Parpol” adalah paradigma berfikir yang “eksistensi oriented”. Ini bukan sebuah terminologi yang baik, karena sama dengan “gila eksistensi”. Ini tampak dari sajian agenda-agenda yang hampir sama dengan parpol, dan “ngekor” secara membabi-buta dengan politisi-politisi yang memiliki kepentingan tertentu. Semua dilakukan dalam rangka mendongkrak ensistensi.

Paradigma itu kemudian membentuk pola kaderisasi yang sudah tak lagi bermakna kaderisasi sebagaimana dipahami sebenarnya. Banyak OKP hari ini –mesti tak semua-, hanya sibuk bagaimana mengemas agenda yang sebenarnya tak berkaitan secara langsung dengan proses kaderisasi seperti dialog ilmiah yang tak ilmiah, diskusi publik yang tak populis serta sosialisasi ini dan itu yang tak sosialis. Belum lagi gebyar acara harlah dan macam-macam agenda lain yang tak bersambungan dengan proses kaderisasi.
Kekacauan seperti itu lahir dari paradigma berfikir tentang organisasi yang “eksistensi oriented”. Ini adalah dampak dari kegamangan dan kebingungan OKP terhadap kondisi di mana posisi mereka serta ke mana seharusnya arah gerakan ditujukan. Tak heran jika kemudian organisasi kemahasiswaan terlihat absen dalam melakukan kontrol sosial alih-alih untuk mentransformasi sejarah dan perubahan. Kontrol dan narasi perubahan dalam banyak sektor lebih banyak dipegang oleh kapitalisme dan borjuasi. Naifnya, sebagian mahasiswa malah larut di dalamnya.

Walau demikian kondisi yang hari ini menyelimuti bak awan gelap gerakan mahasiswa masih mungkin untuk diperbaiki dengan merefleksi secara konstan nilai-nilai dasar yang darinya organisasi dibentuk. Refleksi seperti ini akan berguna untuk menjawab pertanyaan “ke mana roda organisasi dijalankan? Pola seperti apa yang harus dikembangkan agar kaderisasi benar-benar sesuai dengan tujuan? Bagaimana cara mengemas program organisasi yang sesuai dengan tujuannya?

Mari berorganisasi dengan menjadikan kaderisasi sebagai tulang punggung dalam mencapai perjuangan mulia keorganisasian. Tiada organisasi yang memiliki cita-cita dan tujuan buruk, kecuali hanya orang-orang yang ada di dalamnya telah mencederai nilai-nilai itu karena kurangnya penghayatan terhadap nilai-nilai dasar pergerakannya. Dengan hanya memperhatikan nilai, organisasi kemahasiswaan berhak untuk terus hidup. Organisasi kemahasiswaan bukan Parpol tempat untuk memperoleh kekuasaan dan eksistensi yang sewaktu-waktu bisa pindah ke parpol lain jika tak sesuai dengan kepentingan syahwatnya. Organisasi adalah tempat belajar, membentuk dan mensuplai kader demi tercapainya perubahan wajah Indonesia ke arah yang lebih baik.

Oleh: M. Hasanie Mubarok

Aktivis PMII IAIN Pontianak