Seputar Hukum Puasa di Bulan Rajab dalam Pandangan Empat Mazhab

 
Seputar Hukum Puasa di Bulan Rajab dalam Pandangan Empat Mazhab
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Pada prinsipnya, puasa sunnah dianjurkan untuk dilaksanakan, sebab selain sebagai media untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT, puasa juga sarat dengan keutamaan lahir dan batin. Karenanya, agama Islam tidak pernah menghalangi pemeluknya, yang ingin mengejar banyak pahala dengan wasilah keutamaan amaliyah, melalui puasa selain pada hari-hari tertentu yang dilarang.

Rajab adalah salah satu bulan haram (mulia) dalam Islam. Karena Rajab termasuk bulan mulia, maka tak heran bila banyak umat Islam menyambut bulan ini dengan penuh semangat, hormat dan antusias untuk meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah sunnah mereka.

Di dalam Al-Qur'an, Allah SWT berfirman:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

"Sesungguhnya, jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya, sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang bertakwa." (QS. At-Taubah: 36)

Terkait maksud ayat tersebut, mayoritas ulama tafsir mengatakan bahwa bulan Rajab adalah salah satu dari empat bulan yang dimuliakan tersebut, sebagaimana dijelaskan di dalam Kitab Tafsir Al-Jami’ li Ahkam Al-Qur’an karya Imam Al-Qurthubi.

Imam Abu Bakar Al-Warraq Al-Balkhi pernah berkata, “Di bulan Rajab engkau menabur benih, di bulan Sya’ban engkau mengairi mereka (benih), sementara di bulan Ramadhan engkau memanennya.”

Dalam keterangan riwayat Hadis, salah satu anjuran dari Rasulullah SAW ketika umat Islam memasuk bulan-bulan yang dimuliakan itu adalah dengan berpuasa beberapa hari di dalamnya.

Rasulullah SAW pernah bersabda: 

صُمْ مِنَ الْحُرُمِ

"Berpuasalah pada bulan-bulan haram." (HR. Imam Abu Dawud)

Seputar Kemuliaan Bulan Rajab

Banyak literatur yang menjelaskan tentang keutamaan bulan Rajab. Salah satunya adalah Hadis yang dinukil dari Kitab Jami' Al-Ahadis, sebagaimana berikut ini: 

رَجَبُ شَهْرُ اللّٰه وَشَعْبَانُ شَهْرِى وَرَمَضَانُ شَهْرُ أُمَّتِى أبو الفتح بن أبى الفوارس فى أماليه عن الحسن مرسلاً

“Rajab adalah bulan Allah, Sya’ban itu bulanku, dan Ramadhan adalah bulan umatku.” (HR. Imam Ad-Dailami)

Imam Ibn Rajab Al-Hambali menyadur dalam kitabnya Lathaif Al-Ma’arif, sebuah Hadis yang diriwayatkan dari Abu Bakr Al-Warraq Al-Bulkhi tentang keutamaan bulan Rajab, sebagaimana berikut:

شَهْرُ رَجَبَ مِفْتَاحُ أَشْهُرِ اْلخَيْرِ وَالْبَرَكَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ اْلوَرَّاقِ اْلبُلْخِيّ شَهْرُ رَجَبَ شَهْرُ الزَّرْعِ وَشَهْرُ شَعْبَانَ شَهْرُ السَّقْيِ لِلزَّرْعِ وَشَهْرُ رَمَضَانَ شَهْرُ حِصَادِ الزَّرْعِ

“Rajab adalah sebaik-baik bulan yang didalamnya kunci pembuka kebaikan dan keberkahan. Abu Bakr Al-Warraq Al-Bulkhi berkata: Rajab adalah bulan untuk menanam, Sya’ban adalah bulan untuk menyiram, dan Ramadhan adalah bulan untuk memanen.”

Meskipun terdapat banyak Hadis yang menjelaskan tentang keutamaan dan kemuliaan bulan Rajab, namun banyak ditengarai bahwa berbagai Hadis yang tersebar itu berstatus dha’if. Tapi, jika merujuk kembali kepada pendapat Ibnu Hajar Al-Asqalani, kita akan mendapatkan keterangan bahwa Hadis yang serstatus dha’if masih diperbolehkan untuk dijadikan pijakan dalam Fadhail Al-A’mal, atau inspirasi dalam beramal baik.

Hukum Puasa di Bulan Rajab dalam Pandangan Empat Mazhab

Mazhab Hanafi

Di dalam Kitab Al-Fatawa Al-Hindiyyah karya Syaikh Nidhamuddin Al-Balkhi Al-Hanafi rahimahullah, disebutkan fatwa yang menyatakan tentang anjuran berpuasa di bulan Rajab, sebagaimana berikut:

أَوَّلُهَا صَوْمُ الْمُحَرَّمِ وَالثَّانِي صَوْمُ رَجَبَ وَالثَّالِثُ صَوْمُ شَعْبَانَ وَصَوْمُ عَاشُورَاءَ وَهُوَ الْيَوْمُ الْعَاشِرُ مِنْ (الْمَرْغُوبَاتُ مِنْ الصِّيَامِ أَنْوَاعٌ) الْمُحَرَّمِ عِنْدَ عَامَّةِ الْعُلَمَاءِ وَالصَّحَابَةِ – رَضِيَ اللَّهُ تَعَالَى عَنْهُمْ

“Termasuk puasa yang disenangi ada beberapa macam, antara lain: 1) puasa di bulan Muharram, 2) puasa di bulan Rajab, 3) puasa di bulan Sya’ban,  dan 4) puasa ‘Asyura; yaitu hari kesepuluh dari bulan Muharram menurut mayoritas ulama dan sahabat radliyallahu anhum.” (Al-Fatawa Al-Hindiyyah, jilid 1, hlm. 202)

Di dalam Kitab Fath Al-Qadir karya Imam As-Syaukani rahimahullah, juga disebutkan tentang kewajiban memenuhi puasa nazar di bulan Rajab, apabila ia bernazar:

وَلَوْ قَالَ: شَهْرًا لَزِمَهُ كَامِلًا أَوْ رَجَبَ لَزِمَهُ هُوَ بِهِلَالِهِ

“Apabila seseorang menyatakan: (ia bernazar berpuasa) sebulan, maka ia harus memenuhinya secara penuh atau (ia bernazar berpuasa) di bulan Rajab, maka ia juga harus memenuhinya dengan berpedoman pada hilalnya.” (Fath Al-Qadir, jilid 4, hlm. 452)

Dari beberapa kitab induk yang berafiliasi pada Mazhab Hanafi ini, jelas sekali bahwa posisi Mazhab Hanafi adalah menyatakan bahwa puasa Rajab merupakan puasa yang disenangi atau dengan kata lain dianjurkan.

Mazhab Maliki

Di dalam Kitab Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani, karya Syaikh Ibn Abi Zaid Al-Qayrawani rahimahullah, dijelaskan bahwa puasa bulan Rajab adalah merupakan perbuatan yang disenangi.

“Begitu juga demikian bahwa puasa di bulan Rajab termasuk puasa yang disenangi berdasarkan Hadis yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwa Sa’id bin Jubair ditanya tentang puasa Rajab. Ia berkata: Ibn Abbas telah menceritakan kepadaku bahwa Rasulullah SAW sering berpuasa hingga kami mengatakan seolah beliau tidak pernah berbuka, namun juga beliau sering tidak berpuasa (berturut-turut) hingga kami mengatakan seolah beliau tidak berpuasa.” (Kifayat At-Thalib, jilid 2, hlm. 531)

Kemudian dijelaskan lebih detail dalam Kitab Hasyiyah Al-‘Adawi ‘ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani, karya Syaikh Ahmad bin Muhammad Al-‘Adawi Al-Maliki rahimahullah, bahwa pahala berpuasa di bulan Rajab itu lebih besar dibandingkan berpuasa di bulan yang lain, hanya saja tetap tidak bisa mengalahkan pahala berpuasa di bulan Muharram:

تَنْبِيهٌ: ظَاهِرُ كَلَامِهِ أَنَّ ثَوَابَ صَوْمِهِ يَفْضُلُ ثَوَابَ صَوْمِ غَيْرِهِ وَلَوْ مِنْ بَاقِي الْحُرُمِ إذْ لَوْ لَمْ يَكُنْ كَذَلِكَ لَمْ يَكُنْ لِذِكْرِهِ دُونَ بَاقِيهَا وَجْهٌ وَلَيْسَ كَذَلِكَ كَمَا أَشَارَ لَهُ الشَّيْخُ زَرُّوقٌ بَلْ وَرَدَ أَنَّ صَوْمَ الْمُحَرَّمِ أَفْضَلُ مِنْ صَوْمِ رَجَبَ أَوْ غَيْرِهِ مِنْ الْحُرُمِ

“Dari perkataan di atas menunjukkan bahwa pahala berpuasa di bulan Rajab lebih besar dibandingkan pahala berpuasa di bulan selainnya, meskipun termasuk bagian dari bulan-bulan yang dimuliakan. Sebab apabila tidak demikian, maka tidak akan disebutkan pendapat yang menyatakan tentang puasa itu, sebagaimana yang dijelaskan oleh Syaikh Zarruq. Namun puasa Muharram tetap lebih utama (pahalanya) dibandingkan puasa Rajab atau bulan-bulan yang dimuliakan lainnya.” (Hasyiyah Al-‘Adawi ‘ala Kifayat At-Thalib Ar-Rabbani, jilid 2, hlm. 407)

Selain itu, ulama dari kalangan Madzhab Maliki dalam berbagai pendapat yang termaktub dalam karya-karyanya juga menyebutkan demikian. Sehingga posisi Madzhab Maliki juga mengakui tentang kesunnahan puasa Rajab secara mutlak, sebagaimana Mazhab Hanafi di atas.

Mazhab Syafi’i

Dalam Mazhab Syafi’i, banyak sekali literatur yang menyebutkan tentang kesunnahan berpuasa di bulan Rajab. Pendapat-pendapat tersebut disadur dalam berbagai kitab yang luas pembahasannya, seperti dalam Kitab Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab karya Imam An-Nawawi rahimahullah, yang menyebutkan bahwa termasuk puasa yang dianjurkan adalah puasa di bulan yang dimuliakan itu:

قَالَ أَصْحَابُنَا وَمِنْ الصَّوْمِ الْمُسْتَحَبِّ صَوْمُ اْلاَشْهُرِ الْحُرُمِ وَهيَ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ وَرَجَبُ وَأَفْضَلُهَا الْمُحَرَّمُ قَالَ الرُّويَانِيُّ فِي الْبَحْرِ أَفْضَلُهَا رَجَبُ وَهَذَا غَلَطٌ لِحَدِيثِ أَبِي هُرَيْرَةَ الَّذِي سَنَذْكُرُهُ إنْ شَاءَ الله تعالى ” اَفْضَلُ الصَّوْمِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ

"Murid-murid kami (Imam Syafi’i) berkata: Termasuk dari puasa yang disunnahkan adalah puasa di bulan-bulan yang dimuliakan; Dzulqo’dah, Dzulhijjah, Muharram, dan Rajab. Bulan yang paling mulia adalah bulan Muharram. Imam Ar-Ruyani dalam kitabnya Al-Bahrul Madzhab, menyebutkan bahwa bulan yang paling mulia adalah bulan Rajab. Pendapat ini dibantahkan dengan adanya Hadis yang diriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ‘Puasa yang paling mulia setelah puasa Ramadhan adalah puasa di bulan Allah, yaitu Muharram.'" (Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, jilid 6, hlm. 386)

Syaikhul Islam Imam Ibnu Hajar Al-Haitami rahimahullah di dalam kitabnya Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra dengan lantang membantah orang-orang yang mengatakan bahwa puasa Rajab termasuk bid’ah dan terlarang. Beliau memang mengakui bahwa sebagian dalil tentang puasa Rajab adalah Hadis maudhu’ (palsu), namun Ulama Madzhab Syafi’i tidak menggunakan dalil tersebut. Beliau menyatakan:

وَقَدْ تَقَرَّرَ أَنَّ الْحَدِيثَ الضَّعِيفَ وَالْمُرْسَلَ وَالْمُنْقَطِعَ وَالْمُعْضَلَ وَالْمَوْقُوفَ يُعْمَلُ بِهَا فِي فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ إجْمَاعًا وَلَا شَكَّ أَنَّ صَوْمَ رَجَبَ مِنْ فَضَائِلِ الْأَعْمَالِ فَيُكْتَفَى فِيهِ بِالْأَحَادِيثِ الضَّعِيفَةِ وَنَحْوِهَا وَلَا يُنْكِرُ ذَلِكَ إلَّا جَاهِلٌ مَغْرُورٌ

“Dan merupakan ketetapan, bahwa Hadis dha’if, mursal, munqathi’, mu’dlal, dan mauquf itu bisa diamalkan dalam hal Fadhail Al-A’mal secara ijma’. Tentunya tidak diragukan lagi bahwa puasa Rajab termasuk dari Fadhail Al-A’mal. Maka cukup berlandaskan pada Hadis-Hadis dha’if dan semisalnya. Dan tidak ada yang mengingkari kesimpulan ini kecuali orang yang bodoh dan tertipu.” (Al-Fatawa Al-Fiqhiyyah Al-Kubra, jilid 2, hlm. 54)

Mazhab Hanbali

Para Imam Fuqaha Madzhab ini sedikit berbeda dalam menyatakan status hukum berpuasa di bulan Rajab. Sebagaimana dinukil dalam Kitab Al-Mughni karya Syaikh Ibn Qudamah yang menyatakan makruh bagi orang yang mengkhususkan berpuasa di bulan Rajab saja. Berikut pernyataannya:

فَصْلٌ: وَيُكْرَهُ إفْرَادُ رَجَبَ بِالصَّوْمِ. قَالَ أَحْمَدُ: وَإِنْ صَامَهُ رَجُلٌ أَفْطَرَ فِيهِ يَوْمًا أَوْ أَيَّامًا بِقَدْرِ مَا لَا يَصُومُهُ كُلَّهُ

“Dimakruhkan bagi orang yang mengkhususkan bulan Rajab untuk berpuasa. Ahmad berkata: 'Apabila seseorang berpuasa, maka hendaknya ia berbuaka sehari atau beberapa hari sekiranya dia tidak berpuasa sebulan penuh.'” (Al-Mughni li Ibn Qudamah, jilid 3, hlm. 171)

Hanya saja kemakruhan tersebut bisa hilang sebab tidak berpuasa sebulan penuh, artinya seseorang menyisipi dengan berbuka sehari maupun beberapa hari. Hal ini juga senada, sebagaimana diungkapkan dalam Kitab Kasyfu Al-Qina’ karya Syaikh Manshur bin Yunus Al-Bahuti Al-Hanbali. Berikut pernyataannya:

(وَتَزُولُ اْلكَرَاهَةُ بِفِطْرِهِ فِيْهِ وَلَوْ يَوْمًا أَوْ بِصَوْمِهِ شَهْرًا آخَرَ مِنَ السَّنَةِ قَالَ اْلمُجِدُّ وَإِنْ لَمْ يَلِهِ) أي يَلِي الشَّهْرَ اْلآخَرَ رَجَبُ (وَلاَ يُكْرَهُ إِفْرَادُ شَهْرِ غَيْرِهِ) أي غَيْرِ رَجَبَ بِالصَّوْمِ

“Status makruh (dalam puasa Rajab) bisa hilang sebab seseorang berbuka (tidak berpuasa) di bulan Rajab walaupun hanya sehari atau berpuasa Rajab (dengan diiringi berpuasa) di bulan yang lain pada tahun tersebut. Al-Mujidd berkata: 'meskipun bulan yang lain itu tidak bersambung dengan bulan Rajab.' Dan juga tidak dimakruhkan mengkhususkan puasa di selain bulan Rajab.” (Kasyfu Al-Qina’, jilid 2, hlm. 340)

Dengan demikian, kita bisa mengetahui bahwa Mazhab Hanbali hanya menyatakan makruh dalam hal mengkhususkan puasa Rajab sebulan penuh, namun status makruh tersebut hilang dengan sebab tidak berpuasa sebulan penuh atau menyambungkan dengan bulan lainnya.

Jelas sekali dari argumentasi empat Mazhab di atas, bahwa keempat Mazhab tersebut tidak ada yang menyatakan haram terkait puasa di bulan Rajab. Hanya saja terdapat kemakruhan dalam pandangan Mazhab Hanbali tatkala mengkhususkan puasa di bulan Rajab saja, sebab bisa menyerupai bulan Ramadhan. Namun hal ini hanyalah masalah khilafiyah yang mu’tabar atau memang biasa terjadi di kalangan ulama, sehingga berlaku kaidah berikut ini:

لاَ يُنْكَرُ الْمُخْتَلَفُ فِيْهِ وَإِنَّمَا يُنْكَرُ اْلمـُجْمَعُ عَلَيْهِ

“Masalah yang masih diperselisihkan (keharamannya) tidak boleh diingkari, tapi harus mengingkari masalah yang sudah disepakati (keharamannya).” (Al-Asybah wa An-Nadhair, hlm. 158)

Oleh karena itu, klaim bid’ah atau haram atas tradisi puasa di bulan Rajab tidak memiliki dasar yang kuat, dan hal itu otomatis terbantahkan. Sehingga bisa ditarik benang merah bahwa posisi Mazhab Syafi’i sama seperti Mazhab Hanafi dan Madzhab Maliki dalam hal kesunnahan berpuasa di bulan Rajab, sementara demikian pula dalam pandangan Mazhab Hanbali, hanya saja disyaratkan untuk tidak berpuasa penuh di dalam bulan Rajab. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 21 Februari 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Editor: Hakim