Hukum Shalat Sunah Sebelum Shalat Jumat

 
Hukum Shalat Sunah Sebelum Shalat Jumat

LADUNI.ID, Jakarta -  Di antara sunnah ketika menghadiri shalat Jumat adalah memperbanyak shalat sunnah. Selain shalat tahiyatul masjid, kita juga dianjurkan untuk memperbanyak shalat sambil menunggu datangnya Imam atau Khatib. Namun sebagian kalangan menganggap shalat ini adalah shalat sunnah rawatib sebelum Jumat, layaknya shalat sunnah waktu Dhuhur.

Mazhab Syafi‘i menyebut adanya kesunnahan shalat sunnah qabliyyah Jumat sebagai pengganti posisi shalat sunnah qabliyyah zuhur. Sebagaimana diketahui, shalat sunnah qabliyyah adalah shalat sunnah yang dilakukan sebelum shalat wajib lima waktu dilakukan.

Shalat sunnah qabliyyah Jumat dilakukan setelah masuk waktu Jumat. Tetapi ketika khatib sudah mulai berkhutbah, shalat sunnah qabliyyah Jumat sebaiknya dilakukan secara ringkas.

قَوْلُهُ (نَفْلُ يَوْمِ الْجُمُعَةِ) أَيْ سُنَّتُهَا الْقَبْلِيَّةُ وَأَمَّا الْبَعْدِيَّةُ فَفِعْلُهَا فِي الْبَيْتِ أَفْضَلُ

Artinya, “Redaksi (shalat nafilah hari Jumat), maksudnya shalat sunnah qabliyyah Jumat. Sedangkan shalat sunnah ba‘diyyah Jumat dikerjakan lebih utama di rumah,” (Lihat Syekh Sulaiman Al-Bujairimi, Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, juz II, halaman 458).

Adapun berikut ini adalah lafal niat shalat sunnah qabliyyah Jumat:

أُصَلِّيْ سُنَّةَ الجُمُعَةِ رَكْعَتَيْنِ قَبْلِيَّةً لِلهِ تَعَالَى

Ushalli sunnatal Jumu‘ati rak‘ataini qabliyyatan lillāhi ta‘ālā.
Artinya, “Aku menyengaja sembahyang sunnah qabliyyah Jumat dua rakaat karena Allah SWT,”

Shalat sunnah qabliyyah pada hari Jumat ini tetap dianjurkan. Kekhususan ibadah di hari Jumat tidak menghalangi kesunnahan shalat sunnah rawatib yang lazim mengiringi shalat wajib lima waktu baik sebelum dan sesudahnya.
Para ulama sepakat bahwa shalat sunnat yang di lakukan setelah shalat jum'at adalah sunnah dan termasuk rawatib ba'diyah Jum'at. seperti yang di riwayatkan oleh Imam Muslim dan Imam Bukhari:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا صَلَّى أَحَدُكُمْ الجُمْعَةَ فَلْيُصَلِّ بَعْدَهَا أَرْبَعاً

”Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. ia berkata: Rasulullah saw bersabda: ”Jika salah seorang di antara kalian shalat jum’at hendaklah shalat empat raka’at setelahnya”. (HR. Bukhari dan Muslim).

Sedangkan shalat sunnah sebelum shalat Jum'at terdapat dua kemungkinan. Pertama, shalat sunnah mutlak, hukumnya sunnah. Waktu pelaksanannya berakhir pada saat imam memulai khutbah.

Kedua, shalat sunnah qabliyyah Jum'at. Para ulama berbeda pendapat tentang shalat sunnah qabliyyah Juma’at. Pertama, shalat qabliyyah Jum’ah dianjurkan untuk dilaksanakan (sunnah). Pendapat ini di kemukakan oleh Imam Abu Hanifah, Syafi'iyyah (menurut pendapat yang dalilnya lebih tegas) dan pendapat Hanabilah dalam riwayat yang tidak masyhur. Kedua, shalat qabliyyah Jum’at tidak disunnahkan menurut pendapat Imam Malik, sebagian Hanabilah dalam riwayat yang masyhur

Adapun dalil yang menyatakan dianjurkannya sholat sunnah qabliyah Jum'at: Hadist Rasulullah SAW

مَا صَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانٍ مِنْ حَدِيْثِ عَبْدِاللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ "مَا مِنْ صَلاَةٍ مَفْرُوْضَةٍ إِلاَّ وَبَيْنَ يَدَيْهَا رَكْعَتَانِ

"Semua shalat fardlu itu pasti diikuti oleh shalat sunnat qabliyah dua rakaat". (HR.Ibnu Hibban yang telah dianggap shohih dari hadist Abdullah Bin Zubair). Hadist ini secara umum menerangkan adanya shalat sunnah qabliyah tanpa terkecuali shalat Jum'at.

Hadist Rasulullah SAW

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ جَاءَ سُلَيْكٌ الغَطَفَانِيُّ وَرَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَخْطُبُ فَقَالَ لَهُ النَّبِيُّ صَلَّى الله ُعَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَصَلَّيْتَ رَكْعَتَيْنِ قَبْلَ أَنْ تَجِيْءَ؟ قاَلَ لاَ. قَالَ فَصَلِّ رَكْعَتَيْنِ وَتَجَوَّزْ فِيْهِمَا. سنن ابن ماجه

"Diriwayatkan dari Abi Hurairah r.a. berkata: Sulayk al Ghathafani datang (ke masjid), sedangkan Rasulullah saw sedang berkhuthbah. Lalu Nabi SAW bertanya: Apakah kamu sudah shalat sebelum datang ke sini? Sulayk menjawab: Belum. Nabi SAW bersabda: Shalatlah dua raka’at dan ringankan saja (jangan membaca surat panjang-panjang)” (Sunan Ibn Majah: 1104).

Berdasar dalil-dalin tersebut, Imam al Nawawi menegaskan dalam kitab al Majmu’ Syarh al Muhadzdzab:

فَرْعٌ فِيْ سُنَّةِ الجُمْعَةِ بَعْدَهَا وَقَبْلَهَا. تُسَنُّ قَبْلَهَا وَبَعْدَهَا صَلاَةٌ وَأَقَلُّهَا رَكْعَتَانِ قَبْلَهَا وَرَكْعَتَانِ بَعْدَهَا. وَالأَكْمَلُ أَرْبَعٌ قَبْلَهَا وَأَرْبَعٌ بَعْدَهَا

“(Cabang). Menerangkan tentang sunnah shalat Jum’at sebelumnya dan sesudahnya. Disunnahkan shalat sunnah sebelum dan sesudah shalat jum’at. Paling sedikit dua raka’at sebelum dan sesudah shalat jum’at. Namun yang paling sempurna adalah shalat sunnah empat raka’at sebelum dan sesudah shalat Jum’at”. (Al Majmu’, Juz 4: 9)

Adapun Dalil yang menerangkan tidak dianjurkannya shalat sunnat qabliyah Jum'at adalah sbb.:

Hadist dari Saib Bin Yazid: "Pada awalnya, adzan jum'at dilakukan pada saat imam berada di atas mimbar yaitu pada masa Nabi SAW, Abu bakar dan Umar, tetapi setelah zaman Ustman dan manusia semakin banyak maka Sahabat Ustman menambah adzan menjadi tiga kali (memasukkan iqamat), menurut riwayat Imam Bukhori menambah adzan menjadi dua kali (tanpa memasukkan iqamat). (H.R. riwayat Jama'ah kecuali Imam Muslim).

Dengan hadist di atas Ibnu al-Qoyyim berpendapat, "Ketika Nabi keluar dari rumahnya langsung naik mimbar kemudian Bilal mengumandangkan adzan. Setelah adzan selesai Nabi SAW langsung berkhutbah tanpa adanya pemisah antara adzan dan khutbah, lantas kapan Nabi SAW dan jama’ah itu melaksanakan shalat sunnat qabliyah Jum'at?

Dari dua pendapat dan dalilnya diatas jelas bahwa pendapat kedua adalah interpretasi dari tidak shalatnya Nabi SAW sebelum naik ke mimbar untuk membaca khuthbah. Sedangkan pendapat pertama berlandaskan dalil yang sudah sharih (argumen tegas dan jelas). Maka pendapat pertama yang mensunnahkan shalat qabliyyah jum’ah tentu lebih kuat dan lebih unggul (rajih).

Permasalahan ini semua adalah khilafiyah furu'iyyah (perbedaan dalam cabang hukum agama) maka tidak boleh menyudutkan di antara dua pendapat di atas. Dalam kaidah fiqh mengatakan “la yunkaru al-mukhtalaf fih wa innama yunkaru al- mujma' alaih” (Seseorang boleh mengikuti salah satu pendapat yang diperselisihkan ulama dan tidak boleh mencegahnya untuk melakukan hal itu, kecuali permasalahan yang telah disepakati).

 

Sumber:

  1. Hasyiyatul Bujairimi ‘alal Manhaj, juz II, halaman 458
  2. Sunan Ibn Majah: 1104
  3. Al Majmu’, Juz 4: 9

________________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada 2019-03-12 . Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.