Membaca Sayyidina Saat Shalat

 
Membaca Sayyidina Saat Shalat
Sumber Gambar: Foto oleh Michael Burrows dari Pexels

Laduni.ID, Jakarta - Melafalkan Allahumma shalli 'ala Muhammad adalah sesuai dengan arahan Rasulullah​ dalam bershalawat dan bershalat. Namun, menambahkan sayyidina sehingga menjadi 'Allahumma shalli 'ala sayyidina Muhammad'

اللهم صل على سيدنا محمد

adalah mengedepankan etika (adab), dan dapat dibenarkan. Rasulullah sendiri adalah seorang Sayyid. Karena itulah beliau pernah bersabda, "Ana sayyidu waladi Adam."

Baca Juga: 0329. Sering Terjadi, Ini Hukum Menempelkan Kaki dengan Kaki Orang Lain dalam Shalat

Sahabat beliau, misalnya Abdullah ibn Mas'ud juga mempunyai shalawat dengan penyebutan Sayyidina, yaitu

اللهم اجعل صلواتك ورحمتك وبركاتك على سيد المرسلين

Para ulama sepakat atas kebolehan menambah lafad sayyidina sebelum Muhammad. Syaikh Ibrahim al-Bajuri dan Syaikh Ibn Abdis Salam memilih pendapat bahwa menambahkan sayyidina itu lebih utama, karena hal ini adalah bagian dari etika kepada Nabi, dan berpijak pada kaidah bahwa menjaga etika itu lebih utama daripada mengerjakan perintah, 'Mura’atul Adab afdhalu minal imtitsal.'

Disebutkan dari Syekh Izz ibn Abdissalam bahwa menambah gelar 'sayyid' dalam shalat didasari perbedaan pendapat, apakah yang utama itu mengikuti perintah Rasulullah atau melaksanakan etika? Aku berkata: "Yang jelas bagiku dan yang aku lakukan di dalam shalat, atau lainnya adalah menyebut gelar Sayyid.

أن الإتيان بها فى الصلاة ينبنى على الخلاف هل الأولى امتثال الأمر أو سلوك الأدب؟ قلت: والذي يظهر لي وأفعاله فى الصلاة وغيرها الإتيان بلفظ السيد

Tentang kaidah ini, terdapat dua hadis yang mendukungnya.

Baca Juga: 0330. Hukum Shalat tanpa Penutup Kepala

Pertama, ketika Abu Bakar (Ibn Abi Quhafah) diperintah Nabi untuk menggantikan beliau sebagai imam shalat Shubuh, Abu Bakar tidak mematuhinya, kemudian berkata:

ما كان لابن أبي قحافة أن يتقدم بين يدي رسول الله

“Tidak sepantasnya bagi Abu Quhafah (nama lain dari Abu Bakar) untuk maju di depan Rasulullah.”

Kedua, Ali Ibn Abi Thalib enggan menghapus nama Rasulullah dari lembaran perjanjian Hudaibiyah, padahal itu diperintahkan Rasul, kemudian ia berkata:

لا امحو إسمك ابدا

“Saya tidak akan menghapus namamu selamanya.”

Baca Juga: 0331. Shalat Dalam Bahasa Indonesia, Sahkah?

Kedua kisah ini disebutkan dalam Shahih al-Bukhari dan Muslim. Penetapan atau kerelaan Nabi atas keengganan atau ketidakpatuhan sahabat Abu Bakar dan Ali, karena mendahulukan etika dari pada perintah, menunjukkan bahwa menjaga etika itu lebih utama dari pada melaksanakan perintah.

Oleh: Yusuf Suharto (Tim Aswaja Center PWNU Jawa Timur)