Makna Tersirat di Balik Nasihat Ibnu Arabi tentang "Kepala Ikan"

 
Makna Tersirat di Balik Nasihat Ibnu Arabi tentang
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Alkisah, di Tunisia ada seorang nelayan sholeh. Ia tinggal di gubuk yang dibangun dari tanah liat. Hari-harinya digunakan untuk mencari ikan. Namun, ikan yang diperolehnya dikirim ke fakir miskin. Ia hanya menyisakan satu ekor ikan yang menjadi santapannya setiap hari.

Waktu berlalu, ia mulai berguru kepada seorang sufi kondang, yakni Imam Ibnu Arabi. Lama, berguru, akhirnya si nelayan itu kemudian dikenal juga sebagai sufi besar.

Pada suatu saat, ia memanggil muridnya, “Tolong kamu pergi ke guruku, Syaikhul Akbar Ibnu Arabi. Mohon pada beliau agar memberikan nasihat kepadaku. Jiwaku buntu.”

Maka berangkatlah seorang santri yang diperintahkan tadi itu menuju ke Andalusia, Spanyol.

Sesampainya di Spanyol, si murid mencari rumah Imam Ibnu Arabi. Betapa terkejutnya santri itu, apa yang dilihatnya berbeda jauh dengan apa yang ada di benaknya. Ia berpikir, rumah Ibnu Arabi sangat sederhana seperti rumah gurunya. Namun yang ada di depan matanya adalah rumah yang sangat mewah.

Masuklah ia ke pekarangan rumah Ibnu Arbi. Sepanjang jalan ia melewati ladang yang tertata rapi, serta berbagai binatang peliharaan dengan kandangnya yang bersih.

Dalam heran, ia bergumam, "Bagaimana mungkin sufi seperti Ibnu Arabi bergelimpangan dengan kemewahan."

Ketakjubannya semakin meningkat. Ia melihat dinding rumah itu dibuat dari marmer dengan hamparan karpet merah yang mahal di lantainya. Sementara itu, pelayannya mengenakan pakaian sutra yang mahal.

Kemudian si murid meminta untuk bertemu dengan Ibnu Arabi kepada salah seorang pelayannya. Pelayan tersebut menjawab bahwa Ibnu Arabi sedang berkunjung ke khalifah dan akan segera kembali.

Benar juga, tidak lama kemudian Ibnu Arabi pulang dengan rombongannya. Syaikhul Akbar Imam Ibnu Arabi dikawal oleh pasukan istana yang lengkap. Imam Ibnu Arabi muncul dengan pakaian yang indah dan surban layaknya seorang sultan.

Tak lama kemudian, si santri mulai menghadap ke Ibnu Arabi. Ia disuguhi makanan yang lezat. Setelah beberapa lama, akhirnya ia menyampaikan apa yang dititipkan oleh gurunya. Imam Ibnu Arabi lalu berkata, “Katakanlah pada gurumu, masalahnya adalah ia masih terlalu terikat kepada dunia.”

Santri tadi lalu pulang kembali ke kampungnya. Ia kemudian menemui guru yang seorang nelayan itu. Sebenarnya ia ingin bercerita atas semua yang didadaptakannya. Namun agak ragu ketika mengingat jawaban Imam Ibnu Arabi yang terasa aneh itu.

"Lalu beliau berkata apa?" tanya gurunya dengan bersemangat.

"Apakah ia menitipkan jawaban atas pertanyaanku itu. Nasihat apa pula yang dia berikan untukku?” 

Pertanyaan gurunya itu semakin membuat santri itu bingung. Awalnya, ia tidak ingin saran dari Imam Ibnu Arabi dikemukakan kepada gurunya. Saat itu ia berpikir, seharusnya sangat tidak layak untuk disampaikan, mengingat yang ia tahu tentang mewahnya kehidupan Imam Ibnu Arabi, sementara kehidupan gurunya itu tampak sangat fakir dan sederhana. 

Namun karena gurunya terus mendesak, menagih soal jawaban Imam Ibnu Arabi, akhirnya si santri itu pun terpaksa bercerita tentang apa yang dialaminya dan nasihat apa yang diberikan oleh Imam Ibnu Arabi kepada gurunya.

Ketika itu, si santri menjadi lebih terkejut ketika melihat reaksi gurunya tersebut. Nelayan yang menjadi gurunya itu tiba-tiba air matanya terurai, dan kemudian berkata, “Dia benar. Ia benar-benar tidak peduli dengan semua yang ada padanya. Sedangkan aku, setiap malam ketika aku menyantap kepala ikan, selalu aku berharap seandainya saja itu seekor ikan yang utuh.” 

Kepala ikan yang dimaksud itu tidak lain adalah persis seperti nasihat Imam Ibnu Arabi yang mengatakan tentang keterikatan diri kepada dunia. Meski tampak miskin, fakir, sederhana, tetapi hatinya selalu terpaut dengan dunia, maka selama itu akan terus merasa gelisah dan buntu. Sementara Imam Ibnu Arabi yang tampak begitu bergelimang kemewahan secara lahiriahnya, tetapi hatinya tidak pernah terikat dan terpaut sama sekali dengan dunia. Karena dunia itu hanya ada di genggaman belaka, dan tidak sampai di bawa ke dalam hati. Hati itu hanya untuk Allah SWT. 

Demikianlah pesan tersirat nasihat Imam Ibnu Arabi kepada muridnya yang sedang buntuh hatinya. Semoga bermanfaat. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 19 Maret 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.

___________

Penulis: Nurul Huda (Pegiat Literasi, Tinggal di Jakarta)

Editor: Hakim