Hukum Kencing Dengan Berdiri

 
Hukum Kencing Dengan Berdiri
Sumber Gambar: Jum'at Kliwon, 19 Mei 2023 laduni.id

LADUNI.ID, Jakarta – Dalam ajaran Islam sendiri, Rasulullah mengajarkan umatnya untuk tidak kencing sambil berdiri, karena supaya percikan air seni tak terkena pakaian atau badan, sebab dengan kencing sambil berdiri percikan air seni akan lebih jauh, bahkan memerciki badan dan dapat terkena pakaian atau celana tanpa kita ketahui. Untuk mencegah terkena najis ini maka kencing sambil jongkok yaitu pilihan terbaik.

Buang hajat dengan cara berdiri adalah pekerti yang tidak baik dan tidak dibenarkan oleh syariat.
Dalam hal ini Sayyidah ‘Aisyah menjelaskan:

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُوْلَ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوْهُ مَا كَانَ يَبُوْلُ إِلَّا جَالِسًا

“Diriwayatkan dari ‘Aisyah radliyallahu ‘anha beliau berkata, ‘Barangsiapa yang berkata bahwa Rasulullah kencing dengan berdiri, maka jangan kalian benarkan. Rasulullah tidak pernah kencing kecuali dengan Jongkok’.” (HR. Imam An-Nasa’i)

Dalam hadis yang lain, Rasulullah secara tegas melarang kencing dengan cara berdiri. Larangan tersebut seperti yang tercantum dalam hadis riwayat Sahabat Jabir bin Abdillah:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَنْ يَبُولَ الرَّجُلُ قَائِمًا

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam melarang kencing dengan berdiri,” (HR. Imam Baihaqi).

Lantas apakah larangan dalam hadis di atas mengarah pada hukum haramnya kencing dengan cara berdiri? Atau hanya sebatas dimakruhkan?

Para ulama menghukumi kencing dengan cara berdiri sebagai perbuatan yang makruh selama tidak ada uzur (kendala). Sehingga pelakunya tidak sampai terkena dosa, meski perbuatan itu sebaiknya tetap dihindari.
Hukum makruh ini akan hilang tatkala seseorang memiliki uzur, seperti terdapat penyakit atau luka yang menyebabkan dirinya terasa berat (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan duduk.
Perincian hukum demikian, seperti yang dijelaskan oleh Syaikh Sulaiman Al-Bujairami:

ويكره أن يبول قائما من غير عذر لما روي عن عمر رضي الله عنه أنه قال : ما بلت قائما منذ أسلمت ، ولا يكره ذلك للعذر لما روى {النبي صلى الله عليه وسلم أتى سباطة قوم فبال قائما لعذر} ـ

“Makruh kencing dengan berdiri tanpa adanya uzur, hal ini berdasarkan perkataan Sahabat Umar radliyallahu ‘anhu: ‘Aku tidak pernah kencing dengan berdiri sejak aku masuk Islam’. Namun kencing dengan berdiri tidak dimakruhkan tatkala terdapat uzur, berdasarkan hadis ‘Nabi Muhammad mendatangi tempat pembuangan kotoran (milik) sekelompok kaum, lalu kencing dengan berdiri karena adanya uzur,” (Syaikh Sulaiman Al-Bujairami, Kitab Hasyiyah Al-Bujairami ala Al-Khatib, juz 2, hal. 158).

Hadis yang menjadi pijakan tidak makruhnya kencing dengan cara berdiri dalam referensi di atas, seolah-olah kontradiktif dengan hadis Sayyidah ‘Aisyah yang disebutkan di awal, yang tidak membenarkan bahwa Rasulullah pernah kencing dengan berdiri.

Dalam menyikapi hal ini, tidak ada penjelasan yang lebih tegas dari apa yang disampaikan oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani dalam karya monumentalnya, Fath Al-Bari:

والصواب أنه غير منسوخ والجواب عن حديث عائشة أنه مستند إلى علمها فيحمل على ما وقع منه في البيوت وأما في غير البيوت فلم تطلع هي عليه

“Hal yang benar bahwa kedua hadis yang kontradiktif di atas tidaklah di-naskh (tidak diberlakukan salah satunya). Dalam menjawab hadis ‘Aisyah, bahwa beliau melandaskan perkataannya berdasarkan pengetahuan beliau semata (tentang cara kencing Rasulullah SAW). Maka hadis Sayyidah ‘Aisyah diarahkan atas apa yang terjadi di rumah, adapun di selain rumah, Sayyidah ‘Aisyah tidak mengetahui secara pasti,” (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Kitab Fath Al-Bari, juz 1, hal. 330).

Diriwayatkan dari ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, beliau berkata,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بَالَ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ؛ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا جَالِسًا

“Siapa saja yang mengabarkan kepada kalian bahwa Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam buang air kecil sambil berdiri, janganlah kalian benarkan.
Beliau tidaklah buang air kecil kecuali sambil duduk.” (HR. Imam An-Nasa’i no. 29, Imam At-Tirmidzi no. 12 dan Imam Ibnu Majah no. 307, shahih)

Hal ini karena ketika buang air kecil sambil berdiri kemungkinan besar akan menyebabkan terperciknya air kencing ke badan atau ke pakaian.

Akan tetapi, jika terdapat kebutuhan (hajat) untuk buang air kecil sambil berdiri, maka diperbolehkan. Sebagaimana sebuah hadis yang diriwayatkan dari Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu,

رَأَيْتُنِي أَنَا وَالنَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَتَمَاشَى، فَأَتَى سُبَاطَةَ قَوْمٍ خَلْفَ حَائِطٍ، فَقَامَ كَمَا يَقُومُ أَحَدُكُمْ، فَبَالَ، فَانْتَبَذْتُ مِنْهُ، فَأَشَارَ إِلَيَّ فَجِئْتُهُ، فَقُمْتُ عِنْدَ عَقِبِهِ حَتَّى فَرَغَ

“Aku ingat ketika aku berjalan-jalan bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau lalu mendatangi tempat pembuangan sampah suatu kaum di balik tembok dan buang air kecil sambil berdiri sebagaimana kalian berdiri. Aku lalu menjauh dari beliau, namun beliau memberi isyarat kepadaku agar aku mendekat. Aku pun mendekat dan berdiri di belakang beliau hingga beliau selesai.” (HR. Imam Bukhari  dan Imam Muslim no. 273)

Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam meminta Sahabat Hudzaifah untuk mendekat karena ingin menjadikan badan Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu sebagai penutup (pembatas) beliau yang sedang buang air kecil sehingga aman dari pandangan orang lain.

Hadis riwayat Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu di atas tidaklah bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh ibunda ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha.
Hadis ‘Aisyah menceritakan mayoritas keadaan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam ketika beliau buang kecil. Sedangkan hadis Sahabat Hudzaifah radhiyallahu ‘anhu menjelaskan bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam pernah buang air kecil sambil berdiri dalam sebagian kondisi (keadaan). Para ulama menjelaskan bahwa perbuatan Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam tersebut menunjukkan bolehnya buang air kecil sambil berdiri. Atau ketika itu tidak memungkinkan bagi beliau untuk buang air kecil sambil Jongkok.

Terdapat dua syarat ketika buang air kecil sambil berdiri, yaitu:
1. Aman dari terkena percikan air kencing
2. Aman dari dilihat orang lain.

Bagaimana dengan tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang terdapat di fasilitas umum? 
Sering kita jumpai tempat buang air kecil sambil berdiri (urinoir) yang disediakan di fasilitas umum, dalam kondisi berjejer di toilet dan disediakan untuk kaum laki-laki.
Fasilitas semacam ini tentu bermasalah, karena belum memenuhi persyaratan ke dua.

Di antara adab yang perlu diperhatikan ketika buang air kecil adalah menjauh dari pandangan orang lain. Yang menjadi kewajiban adalah menjaga tertutupnya aurat, dan disunnahkan (dianjurkan) untuk menutupi semua anggota badan dari pandangan orang lain.

Diriwayatkan dari ‘Abdullah bin Ja’far radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata,

أَرْدَفَنِي رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ خَلْفَهُ. فَأَسَرَّ إِلَيَّ حَدِيثًا لَا أُحَدِّثُ بِهِ أَحَدًا مِنَ النَّاسِ وَ كَانَ أَحَبَّ مَا اسْتَتَرَ بِهِ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِحَاجَتِهِ، هَدَفٌ أَوْ حَائِشُ نَخْلٍ. قَالَ ابْنُ أَسْمَاءَ فِي حَدِيثِهِ: يَعْنِي حَائِطَ نَخْلٍ

“Suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam memboncengku di belakangnya, lalu beliau membisikkan satu hadis yang tidak aku ceritakan kepada seorang pun. Dan sesuatu yang paling disukai oleh Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam untuk dijadikan sebagai penghalang ketika buang hajat adalah bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma.” Ibnu Asma’ berkata, “Yaitu (semacam) pagar dari pohon kurma.” (HR. Imam Muslim no. 342)

Dalam hadis di atas, yang dicontohkan oleh Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam adalah beliau menjadikan sesuatu yang cukup tinggi sebagai penghalang badan beliau, misalnya bukit pasir atau rerimbunan pohon kurma. Sehingga tidak ada yang bisa melihat beliau ketika sedang buang air kecil.

Adab semacam ini tidaklah bisa kita laksanakan ketika buang air kecil di urinoir tersebut, karena tidak ada sekat antara urinoir satu dengan yang lainnya. Kalaupun ada sekat, sekat tersebut sangat pendek (rendah). Sehingga kita masih bisa melihat orang lain yang sedang buang air kecil.

Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa hukum kencing dengan cara berdiri adalah perbuatan yang dimakruhkan, selama hal tersebut tidak dilakukan karena terdapat uzur yang menyebabkan seseorang merasa kesulitan (masyaqqah) ketika kencing dilakukan dengan cara berdiri. 

Berdasarkan kesimpulan ini, maka sebaiknya sebisa mungkin bagi kita untuk menghindari kencing dengan cara berdiri selain karena uzur, meskipun realitas saat ini banyak sekali ditemukan tempat kencing yang menuntut seseorang melakukan kencing dengan cara berdiri. Tersedianya urinoir di berbagai tempat fasilitas umum dan sudah menjadi mode bagi toilet-toilet kekinian adalah di antara contohnya. Jika masih memungkinkan mencari toilet lain untuk kencing dengan cara Jongkok itu lebih baik. Bila tidak memungkinkan maka kondisi tersebut masuk kategori uzur. Betapapun, kita dianjurkan untuk senantiasa menetapi syariat yang terbaik dan tetap selektif termasuk dalam menyikapi berbagai tren masa kini. Wallahu a’lam.

 

 

Sumber : Kitab Hasyiyah Al-Bujairami ala Al-Khatib, juz 2, Karya Syaikh Sulaiman Al-Bujairami
                  Kitab Fath Al-Bari Juz 1. Karya Ibnu Hajar Al-Asqalani

___________

Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Jumat, 3 Pebruari 2023. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo

Jum’at Kliwon, 19 Mei 2023
Jum’at   : 6
Kliwon   : 8