Hukum Menulis Basmallah di Kartu Undangan Menurut Para Ulama'

 
Hukum Menulis Basmallah di Kartu Undangan Menurut Para Ulama'
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Setiap pernikahan di Indonesia selalu mengundang kerabat atau teman, rekan kerja dengan selebaran berupa kartu undangan. Selain berisi  waktu dan tempat acara tersebut diadakan, di dalamnya juga seringkali berisi kalimat-kalimat ayat suci Al-Qur’an seperti lafadz Bismillah atau ayat lainnya.

Bolehkah penggunaan kalimat Bismillah dalam kartu undangan? Hal ini tidak lepas dari sebagian besar masyarakat yang membuang kartu undangan tersebut ke tempat sampah setelah tidak Sesungguhnya yang harus mengetahui pertama adalah bahwa penulisan lafadz Bismillah atau tasmiyah dalam suatu surat atau undangan memiliki dalil yang syar’i.

Sehingga penulisan Bismillah bukanlah hal yang sudah biasa dalam masyarakat, melainkan menjadi hal yang disyariatkan oleh agama.
Dalilnya terdapat dalam sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, “Setiap segala urusan penting yang tidak dimulai dengan basmallah maka akan terputus.” Tak hanya itu saja, Rasulullah pun telah memberikan contoh kepada umatnya bagaimana beliau terlebih dahulu menuliskan lafadz Bismillah sebelum menyatakan suatu isi surat.

Ulama berbeda pendapat soal hukum memproduksi dan menyebarkan undangan yang terdapat ayat Al-Qur’an sebagaimana di atas.  Menurut Syafiiyyah dan sebagian pengikut Hanafiyyah, hukumnya makruh karena dikhawatirkan akan jatuh kemudian terbengkalai atau tercecer di mana-mana yang mengakibatkan mushaf Al-Qur’an terinjak-injak.

Adapun sebagian pendapat pengikut Hanafiyyah yang lain menyatakan boleh-boleh saja.  Sedangkan menurut Malikiyyah, hukumnya Haram, dengan alasan, Al-Qur’an tersebut akan menjadi terhina atau tidak terhormat.  Dalam pembahasan undangan di sini, masing-masing disamakan dengan masalah hukumnya mengukir tulisan Al-Qur’an di tembok.
Hal tersebut dianggap paling mirip dengan kasus menulis ayat di dalam undangan. Mengingat, masing-masing punya satu alasan yang sama, yaitu kekhawatiran akan jatuh kemudian terinjak-injak, menjadikan Al-Qur’an tersebut tidak terhormat.


 كِتَابَةُ الْقُرْآنِ عَلَى الْحَائِطِ- ذَهَبَ الشَّافِعِيَّةُ وَبَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى كَرَاهَةِ نَقْشِ الْحِيطَانِ بِالْقُرْآنِ مَخَافَةَ السُّقُوطِ تَحْتَ أَقْدَامِ النَّاسِ، وَيَرَى الْمَالِكِيَّةُ حُرْمَةَ نَقْشِ الْقُرْآنِ وَاسْمِ اللَّهِ تَعَالَى عَلَى الْحِيطَانِ لِتَأْدِيَتِهِ إِلَى الاِمْتِهَانِ. وَذَهَبَ بَعْضُ الْحَنَفِيَّةِ إِلَى جَوَازِ ذَلِكَ
 

Artinya: “Kepenulisan Al-Qur’an di tembok. Menurut Syafi’iyyah dan sebagian Hanafiyyah berpendapat makruh mengukir tembok dengan Al-Qur’an karena khawatir akan jatuh terinjak kaki-kaki orang banyak. Malikiyyah berpendapat haram mengukir Al-Qur’an dan nama Allah di atas tembok sebab akan mendatangkan penghinaan terhadap Al-Qur’an. Sedangkan sebagian pengikut Hanafiyyah menyatakan boleh-boleh saja.” (Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, [Kuwait, Darus Salasil, 1404-1427 H], juz 16, halaman 234).

Bagi siapa saja yang dengan sengaja membuang undangan yang sudah jelas-jelas terdapat ayat Al-Qur’an dengan tujuan menghina, sedangkan orang tersebut mengetahui tentang keharamannya, maka orang tersebut bisa dihukumi kafir.

  وَأَجْمَعُوا على ان من استخف بالقرآن أو بشئ مِنْهُ أَوْ بِالْمُصْحَفِ أَوْ أَلْقَاهُ فِي قَاذُورَةٍ أو كذب بشئ مِمَّا جَاءَ بِهِ مِنْ حُكْمٍ أَوْ خَبَرٍ أَوْ نَفَى مَا أَثْبَتَهُ أَوْ أَثْبَتَ مَا نفاه أو شك في شئ مِنْ ذَلِكَ وَهُوَ عَالِمٌ بِهِ كَفَرَ

Artinya: Para ulama sepakat bahwa siapa saja yang menghina Al-Qur’an atau bagian-bagiannya atau mushaf atau menaruhnya di tempat yang kotor atau menganggap bohong atas berita yang disampaikan Al-Qur’an baik berupa hukum atau cerita atau menggap fiktif atas hal-hal yang disampaikan Al-Qur’an atau ragu atas itu semua, sedangkan ia tahu atas ketidakbolehan hal tersebut, maka orang itu menjadi kafir.” (Imam Nawawi, Al-Majmu’, Beirut, Darul Fikr, juz 2, halaman 170)  Adapun keharaman menulis salam dengan arab karena semua nama agung disamakan dengan Al-Qur’an, sebagaimana disebutkan sebagaimana berikut:

  وَالْمُرَادُ بِالْمُصْحَفِ مَا فِيهِ قُرْآنٌ، وَمِثْلُهُ الْحَدِيثُ وَكُلُّ عِلْمٍ شَرْعِيٍّ أَوْ مَا عَلَيْهِ اسْمٌ مُعَظَّمٌ

Artinya: “Yang dimaksud dengan mushaf adalah semua benda yang terdapat tulisan Al-Qur’an. Contohnya adalah hadits dan semua ilmu agama atau semua benda yang di situ terdapat nama-nama yang agung.” (Qalyubi dan Umairah, Hasyiyata Qalyubî wa Umairah, [Beirut, Darul Fikr, 1995], juz 4, halaman 177. 

Dengan berbagai pertimbangan di atas, Sehingga tidaklah menjadi persoalan jika seorang yang ingin mengadakan suatu pesta syukuran mencantumkan kalimat Bismillah dalam undangan atau bisa dikatakan hukumnya diperbolehkan. Sementara itu bagi yang menerima undangan hendaknya memahami bahwa dalam surat undangan tersebut terdapat kalimat Illahi yang harus dijunjung tinggi dan tidak boleh dibuang atau dibiarkan begitu saja di lantai atau di jalan.

Caranya adalah dengan menyimpannya secara rapi di suatu tempat. Jika pun dirasa terlalu banyak, maka solusi yang lebih tepat adalah dibakar dibandingkan harus terbuang dalam tempat yang hina. Pembakaran kalimat Al-Qur’an bukanlah sebuah kesalahan karena hal tersebut telah dilakukan juga pada masa Khalifah Utsman bin Affan Radhiyallahu ‘Anhu ketika membakar mushafmushaf Al-Qur’an yang sudah usang atau tidak terpakai. Yang jelas tujuan dari pembakaran tersebut adalah menghindari Al-Qur’an terbuang di tempat yang hina.

Demikian hukum menulis Bismillah di undangan. Semoga penjelasan tersebut segera menghilangkan keraguan-raguan kita ketika akan membuat surat undangan. Selain itu memberi kehati-hatian serta solusi atas penggunaan kalimat Bismillah ketika menerima kartu undangan.

 

 

Sumber : Dari Berbagai Sumber Pendapat Ulama’ NU

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Senin, 8 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan.

Editor : Sandipo