Marah dalam Islam Menurut Al-Qur’an dan Hadis

 
Marah dalam Islam Menurut Al-Qur’an dan Hadis
Sumber Gambar: ilustrasi.Png

LADUNI.ID, Jakarta - Rasanya hampir semua orang pernah marah. Entah meluapkan emosi kemarahannya ke luar, atau memendamnya di dalam diri, marah umumnya membawa hasil yang terasa kurang enak bagi diri sendiri maupun orang lain.

Saat kita marah, biasanya kita akan kehilangan akal sehingga rawan mengucapkan kata atau melakukan perbuatan yang diluar kendali kita. Mungkin pada saat marah kita merasa sah-sah saja melakukan suatu perbuatan tertentu. Tapi, coba  ingat-ingat kembali reaksi  setelah kita sudah tenang kembali, kita sadar kalau perbuatan marah kita tidak ada gunanya?

Dalam hadis Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam yang diriwayatkan Imam Bukhari, disebutkan ada seorang laki-laki yang berkata pada Rasulullah, “Berilah aku wasiat.” Rasulullah pun menjawab, “Janganlah engkau marah.” Lelaki itu lalu mengulang kembali permintaannya, namun setiap kali ditanya pertanyaan yang sama, jawaban Rasulullah masih belum berubah, “Janganlah engkau marah.”

Marah sebenarnya bukan berarti tidak boleh. Kadang, menahan amarah itu sendiri susah. Tapi, yang perlu diperhatikan adalah bagaimana kita mengatur dan mengeluarkan emosi kemarahan kita.

Dalam hadis lainnya yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad disebutkan “Jika salah seorang di antara kalian marah, diamlah.” Kenapa diam? Karena dengan diam, kita mendapat kesempatan untuk berjeda, menenangkan diri, dan berpikir secara sadar apa yang seharusnya dilakukan. Diam juga menahan kita dari melakukan hal-hal spontan yang merugikan.

Di dalam Al-Quran, kemarahan ditunjukan pada kisah Nabi Musa dan Nabi Yunus yang ditunjukan dalam bentuk marah yang berbeda.
Hal ini tertera pada surat Al-A’raf ayat 7:150 yang berbunyi:

وَلَمَّا رَجَعَ مُوْسٰٓى اِلٰى قَوْمِهٖ غَضْبَانَ اَسِفًاۙ قَالَ بِئْسَمَا خَلَفْتُمُوْنِيْ مِنْۢ بَعْدِيْۚ اَعَجِلْتُمْ اَمْرَ رَبِّكُمْۚ وَاَلْقَى الْاَلْوَاحَ وَاَخَذَ بِرَأْسِ اَخِيْهِ يَجُرُّهٗٓ اِلَيْهِ ۗقَالَ ابْنَ اُمَّ اِنَّ الْقَوْمَ اسْتَضْعَفُوْنِيْ وَكَادُوْا يَقْتُلُوْنَنِيْۖ فَلَا تُشْمِتْ بِيَ الْاَعْدَاۤءَ وَلَا تَجْعَلْنِيْ مَعَ الْقَوْمِ الظّٰلِمِيْنَ (١٥٠)

“Dan ketika Musa telah kembali kepada kaumnya, dengan marah dan sedih hati dia berkata, “Alangkah buruknya perbuatan yang kamu kerjakan selama kepergianku! Apakah kamu hendak mendahului janji Tuhanmu?” Musa pun melemparkan lauh-lauh (Taurat) itu dan memegang kepala saudaranya (Harun) sambil menarik ke arahnya. (Harun) berkata, “Wahai anak ibuku! Kaum ini telah menganggapku lemah dan hampir saja mereka membunuhku, sebab itu janganlah engkau menjadikan musuh-musuh menyoraki melihat kemalanganku, dan janganlah engkau jadikan aku sebagai orang-orang yang zalim.”(Qs.Al-A’raf 7:150)

Ayat ini menceritakan tentang Nabi Musa yang pulang dari bukit Thur dengan keadaan sedih dan marah. Hal ini karena Beliau melihat penyelewengan yang dilakukan oleh kaumnya ketika mereka ditinggal oleh Nabi Musa untuk bermunajat kepada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Pada saat itu kaumnya malah menyembah sapi dan menjadi pengikut samiri.

Setelah itu, Nabi Musa menarik kepala Harun secara emosi karena beliau mengira bahwa Harun yang membiarkan penyelewengan itu terjadi. Nabi Musa mengira bahwa Harun tidak menghentikan atau mencegah hal tersebut. Dari ayat tersebut bisa dilihat ketika Nabi Musa marah, beliau sampai mencengkeram rambut Harun. Namun, bisa terlihat bahwa Nabi Musa masih bisa mengendalikan amarahnya, sehingga beliau masih bisa mendengarkan penjelasan dari Harun.

Selain Nabi Musa, ada juga kisah tentang Nabi Yunus ketika marah.

Hal ini digambarkan pada surat Al-Anbiya 21:87 yang berbunyi:

وَذَا النُّوْنِ اِذْ ذَّهَبَ مُغَاضِبًا فَظَنَّ اَنْ لَّنْ نَّقْدِرَ عَلَيْهِ فَنَادٰى فِى الظُّلُمٰتِ اَنْ لَّآ اِلٰهَ اِلَّآ اَنْتَ سُبْحٰنَكَ اِنِّيْ كُنْتُ مِنَ الظّٰلِمِيْنَ ۚ (٨٧)

“Dan (ingatlah kisah) Zun Nun (Yunus), ketika dia pergi dalam keadaan marah, lalu dia menyangka bahwa Kami tidak akan menyulitkannya, maka dia berdoa dalam keadaan yang sangat gelap, ”Tidak ada Tuhan selain Engkau, Maha Suci Engkau. Sungguh, aku termasuk orang-orang yang zalim.”
(Qs. Al-Anbiya 21:87)

Dari ayat di atas, kita bisa mengetahui bahwa Nabi Yunus marah hingga pergi meninggalkan kaumnya. Hal ini dilakukan oleh Nabi Yunus karena Beliau mengira bahwa kaumnya tidak menghiraukannya, maka dari itu Beliau pergi meninggalkan mereka. Ketika Nabi Yunus pergi, kaumnya menyadari kesalahan mereka dan akhirnya mereka kembali ke jalan yang benar. Menurut beberapa ahli tafsir, Nabi Yunus pergi karena Beliau tidak menerima takdir yang diberikan oleh Allah Subhanahu Wa Ta’ala.

Marah yang muncul pada Nabi Yunus dan Nabi Musa ini merupakan akibat dari kemungkaran yang dilakukan oleh kaumnya. Marah yang digambarkan pada kedua ayat di atas adalah kemarahan yang berkaitan dengan agama Islam. Hal ini seolah mengisyaratkan bahwa seseorang harus bisa mengendalikan diri apabila emosi marah tersebut muncul.

Pada kisah Nabi Musa tergambar amarah yang terlampiaskan sampai ke kontak fisik. Nabi Musa saat itu sampai mencengkram kepala Harun. Menggambarkan bahwa seseorang ketika marah bisa saja tidak terkendali hingga melakukan kontak fisik dan bisa saja membahayakan seseorang. Sedangkan pada Nabi Yunus digambarkan marah yang justru membuatnya berpaling.

Nabi Yunus seolah tidak peduli kepada kaumnya yang sudah munkar. Cara pelampiasan amarah yang dilakukan Nabi Yunus pada ayat tersebut merupakan sebuah bentuk protes, tetapi tanpa adanya perlawanan kontak fisik.

Ada banyak sekali manusia yang marah dan terkadang dia justru tidak peduli lagi karena benar-benar dalam keadan marah.

Di dalam hadis Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa sallam, ada yang menjelaskan tentang larangan marah. Seperti yang sudah diketahui, emosi marah ini bisa melahirkan kekuatan fisik yang besar. Kekuatan tersebut bahkan bisa menguasai hati dan pikiran manusia. Emosi marah yang muncul bisa juga melahirkan nafsu yang besar dan merusak akal sehat.
Berikut adalah hadis tentang larangan marah yang berbunyi:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : أَوْصِنِيْ ، قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). فَرَدَّدَ مِرَارًا ؛ قَالَ : (( لَا تَغْضَبْ )). رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

 

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam ia berkata: Wahai Rasulullah, sampaikanlah suatu perkataan kepadaku dan ringkaslah mudah-mudahan aku memahaminya. Rasulullah Shallallahu ’Alaihi Wa sallam bersabda:  Jangan marah. Lalu aku mengulanginya berkali-kali, semuanya dibalas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dengan sabda, Jangan marah!” (HR. Ahmad)

Marah itu bahan dasarnya api. Selain itu, marah juga mengalir dalam darah. Merasa tidak kalau kita marah, rasa emosi kita tinggi dan terasa panas?

Oleh karena itu, kalau dalam Islam saat kita marah, kita dianjurkan untuk mengambil air wudhu untuk “mendinginkan”. Selain itu, kita juga disarankan untuk mengambil posisi lebih rendah dibanding posisi kita sebelumnya untuk membuat peredaran darah kita mengalir ke seluruh badan, agar kita menjadi lebih rileks. Misalnya kita marah saat sedang berdiri, maka kita dianjurkan untuk duduk. Bila masih marah saat duduk, kita dianjurkan untuk terlentang, bahkan menutup mata atau tidur, untuk membuat kita tenang. Menahan emosi agar kita tidak cepat marah memang tidak mudah. Tapi, bukan berarti tidak bisa dilakukan. Hanya perlu latihan agar kita bisa mengalirkan emosi kita pada hal-hal yang tepat.

___________
Catatan: Tulisan ini terbit pertama kali pada Senin, 8 April 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan
Editor : Sandipo

Sumber : Al-Qur’an dan Hadis