Membumikan Islam yang Ramah Lingkungan

 
Membumikan Islam yang Ramah Lingkungan

Oleh NUR LAILA

LADUNI.ID, Jakarta - Secara biologis manusia adalah makhluk paling sempurna yang hasil akhir dari proses evolusi  penciptaan alam semesta yang memiliki dua dimensi. Di satu pihak terbuat dari tanah (ṭin) yang menjadikannya makhluk fisik, di pihak lain, ia juga makhluk spiritual karena ditiupkan ke dalamnya roh Tuhan. Dengan demikian manusia menduduki posisi yang unik antara alam semsta dan Tuhan, yang memungkinkannya berkomunikasi dengan keduanya.

Secara fisik dan biologis manusia paling maju, paling sempurna, dan termasuk puncak evolusi alam. Selain itu, manusia juga memiliki jiwa rasional yang hanya dimiliki bangsa manusia saja. Jiwa rasional ini memungkinkan manusia mampu mengambil premis-premis rasional yang berguna untuk membimbing, mengatur, dan menguasai  daya-daya dari jiwa-jiwa yang lebih rendah. Dengan demikian, manusia merupakan inti dari alam semesta, dan tidak heran kalau kaum bijak menyebut manusia sebagai mikrokosmos karena mengandung semua unsur yang terdapat dalm makrokosmos (alam semesta) (Mulyadhi Kartanegara, 2007: 12-13). Sehingga manusia memiliki posisi yang unik, yaitu sebagai wakil (Khalῑfah) Allah di muka bumi (Mulyadhi Kartanegara, 2007: 158). Di tuntut untuk bersikap proaktif dan kontributif dalam komitmen dan integritasnya terhadap ekosistem yang ia hadapi, meskipun secara transendental berada di luar sebuah ekosistem yang tidak melibatkan dirinya. Misalnya dalam ekosistem yang berlangsung pada lingkungan hidup  alami. Di situ manusia tidak terlibat langsung namun secara implisit dan secara global ekosistem, manusia termasuk di dalamnya (Herman Khaeron, 2014: 101). Itu artinya manusia harus mencintai lingkungan Hidup sebagai perwujudan kecintaan kepada Allah. Mencintai lingkungan hidup berarti memeliharanya dan menjaganya dari kehancuran, dan tidak malah menghacurkannya (Sudirman Teba, 2003: 93).

Melihat zaman modern saat ini, kebanyakan orang-orang melihat alam hanya dari aspek fisiknya saja, mengabaikan apa yang bagi para sufi merupakan aspek-aspek esensialnya, Yakni: simbolis dan spiritual. Tentu saja tidak ingin diragukan lagi bahwa pandangan sekuler tentang alam telah menghasilkan kemajuan-kemajuan ilmiah dan teknologis hal ini membuat kemajuan-kemajuan yang cukup berarti bagi kemakmuran manusia. Namun kini kita semua menyadari betapa pandangan yang seperti itu telah menciptakan berbagai masalah dalam hubungan kita dengan alam, dan gunung-gunung atas tatanan alam, mengarah kepada apa yang kita kenal “Krisis ekologis”. Manusia modern menjadi semakin teraliensi dari alam, setelah mereka menciptakan jurang yang tak terjembatani antara keduanya: manusia sebagai subjek dan  alam sebagai objek. 

Dengan memandang alam sebagai objek, nafsu mereka (manusia modern) melalui sains dan teknologisnya akan mendominasi alam dan mengeksploitasinya secara agak kasar untuk memenuhi tuntutan mereka yang terus menerus meningkat. Akibatnya alam sekarang dalam proses kehilangan kemampuannya untuk memberikan sumber dayanya yang dermawan dan kaya untuk mempertahankan keseimbangan ekologisnya. Sehingga secara simbolis, ketika terjadi banjir, pemanasan global, dan lain-lain semua itu menunjukan betapa alam “marah” kepada kita atas perlakuan immoral kita atasnya (Mulyadhi Kartanegara,  2007: 155-156).

Lingkungan hidup juga dijelaskan oleh Allah sebagai nikmat yang seyogyanya disyukuri oleh manusia dan harus dipelihara, tidak malah dirusak (Sudirman Teba,  2003: 95, 98). Karena selain ciptaan Tuhan yang memiliki tujuan tertentu, pada alam juga terdapat tanda-tanda (kebesaran, kebijaksanaan, kekuasaan) Tuhan. Allah berfirman: (QS Ali-Imran (3): 190).

إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ١٩٠

Sesunggunya peciptaan langit dan bumi dan pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi mereka yang berakal”. (QS Ali-Imran (3): 190).

Tanpa kita sadari diri kita juga merupakan tanda-tanda-Nya (Mulyadhi Katanegara, 2007: 41). Dengan itu harus tanamkan rasa cinta dalam diri untuk melestarikan lingkungan. Dengan cinta akan menghantarkan seorang saliki ke tangga spiritual atau alam mirᾱj. Maḥabbah (Cinta) kepada Allah dan Ciptaanya dalam rangka mewujudkan maḥabbah kepada Allah di antara ciptaan Allah adalah alam atau lingkungan hidup. Itu berarti bahwa manusia harus mencintai lingkungan hidup sebagai perwujudan kecintaan kepada Allah. Mencintai lingkungan hidup berarti memeliharanya dan menjaganya dari kehancuran, dan tidak malah menghacurkanny (Sudirman Teba, 2003:  93).


Artikel ini ditulis oleh Nur Laila, Mahasiswa IAIN Tulungagung, aktif di Pusat Studi Qur'an Jakarta.