Tiga Agama Samawi yang Menjadikan Puasa Sebagai Ritual Keagamaan

 
Tiga Agama Samawi yang Menjadikan Puasa Sebagai Ritual Keagamaan
Sumber Gambar: Pinterest, Ilustrasi: laduni.ID

Laduni.ID, Jakarta - Ritual puasa tentunya banyak terdapat di berbagai ajaran agama, baik itu dari masa umat terdahulu sampai sekarang. Meskipun untuk tata laksana (teknis dan mekanisme) berpuasa masing-masing ajaran agama berbeda tergantung seperti apa puasa yang dimaksud dalam kitab suci dan tradisi (sunnah) masing-masing, namun pada kesempatan ini penulis hanya membatasi pada 3 (tiga) ajaran Abrahamic (samawi) dalam melihat seperti apa dan bagaimana agama Yahudi, Kristen, dan Islam memberikan muatan, maksud, dan makna Puasa secara garis besar.

Puasa dalam bahasa Sansekerta berarti upawasa. Dalam Perjanjian Lama (the Old Testament) bahasa Ibrani ialah tsum, tsom, dan inna nafsyo. Dalam Perjanjian Baru (the New Testament) bahasa Yunani nesteuo, nesteia dan nestis. Dalam Al-Qur’an puasa disebut shaum atau shiam.

Sebelum masuk kedalam pembahasan utama, menarik untuk menyingkung kata puasa yang resmi menjadi bahasa Nusantara khususnya bahasa Indonesia. Lahirnya kata puasa berawal dari upawasa yang berasal dari bahasa Sansekerta yang berarti upa (dekat) dan wasa (Tuhan) dengan secara utuh mempunyai arti mendekatkan diri kepada Tuhan, sehingga dari kata upawasa ini kemudian berkembang menjadi puasa.

Masing-masing penganut ajaran agama memberikan gambaran proses tata-laksana (teknis dan mekanisme) puasa secara berbeda-beda namun tujuannya tidak jauh berbeda, penjelasan singkatnya antara lain:

Pertama, umat Yahudi  (Yudaisme) menjalankan beberapa hari-hari puasa yang ditetapkan dalam ajarannya dan pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti:

1. Puasa Yom Kippur  pada 10 Tishrei (Kalender Ibrani) dikenal sebagai hari Penebusan atau hari Pendamaian, berpuasa untuk mensucikan diri dan membersihkan jiwa. Ini berdasarkan letter dalam Imamat 16:30 TB: “Karena pada hari itu harus diadakan pendamaian bagimu untuk mentahirkan kamu. Kamu akan ditahirkan dari segala dosamu dihadapan Tuhan”. Dan Imamat 23: 27-28 TB: 23:27 “Akan Tetapi pada tanggal 10 bulan yang ketujuh itu ada hari Pendamaian; kamu harus mengadakan pertemuan kudus dan harus merendahkan diri dengan berpuasa dan mempersembahkan korban api-apian kepada Tuhan. 23:28 “Pada hari itu janganlah kamu melakukan sesuatu pekerjaan; itulah hari Pendamaian untuk mengadakan pendamaian bagimu dihadapan Tuhan”.

2. Puasa Gedaliah pada 3 Tishrei (Kalender Ibrani) dikenal sebagai hari puasa guna memperingati pembunuhan Gedalya.

3. Puasa Asarah B’Tevet pada 10 Tevet (Kalender Ibrani) dikenal sebagai hari puasa guna memperingati pengepungan Yerusalem yang berujung penghancuran Bait Allah (Bait Hamikdash) dan Hari peringatan kaum Yahudi yang tewas pada peristiwa Holokaus.

4. Puasa Esther pada 13 Adar (Kalender Ibrani) dikenal sebagai hari puasa yang memperingati 3 (tiga) hari ketika Esther berpuasa sebelum menghadap Raja Ahasyweros atas nama bangsa Israel. Puasa ini kenal sebagai hari raya yang paling menyenangkan sepanjang tahun.  

5. Puasa Shivah Asar B’Tammuz pada 17 Tammuz (kalender Ibrani) dikenal sebagai hari puasa duka yang memperingati Tembok Yerusalem diruntuhkan dan diterobos oleh tentara.

6. Puasa Tisha B’Av pada 9 Av (Kalender Ibrani) dikenal sebagai hari puasa duka yang memepringati hari penghancuran Bait Allah yang pertama dan kedua dilalap api.

Pada puasa Yom Kippur dan Tisha B’Av masuk dalam kategori puasa utama dan dilaksanakan selama lebih dari 24 jam dan 4 (empat) puasa lainnya masuk kedalam puasa kecil, seperti yang dikutip oleh howtofast.net (fasting and Judaism) berikut:

“There are to major fast days and four minor fast days that are par of jewish year. The two major fasts, Yom Kippur and Tisha B’Av, Last just over twenty four hours. They begin before sundown, when it is still light outside, and end after the next sundown, when it is dark oudside and three stars can be seen in the sky. This fast is absolute. The faster may not eat food, drink, brush his teeth, comb his hair, or take a bath. Minor fasts differ in their duration from a major fast. No food or drink is taken from dawn until nightfall”.

Penjelasan diatas memberikan gambaran bahwa puasa utama yang dimaksud dimulai sebelum matahari terbenam (ketika masih ada cahaya atau masih terang) , dan diakhiri setelah matahari terbenam. Artinya ketika sudah benar-benar gelap dan 3 (tiga) bintang mulai terlihat maka baru selesai penyelenggraan tersebut. Puasa yang dijalani diwahjibkan untuk tidak makan, minum, sikat gigi, sisir rambut, atau mandi. Puasa utama tersebut berbeda durasi lamanya dengan 4 (empat) puasa kecil lain yang tidak boleh makan dan minum dari subuh sampai malam.

Namun beberapa penganut Yahudi lain ada yang memilih untuk berpendapat lain, seperti yang dikutip oleh howtofast.net (fasting and Judaism) berikut:

“Other Jews may practice modified forms of fasting. This can be abstaining from food but not water, fasting but not observing bathing restrictions, or not observing some of the fasting days at all”.

Beberapa hal dimodifikasi dalam proses tata laksana (teknis dan mekanisme) seperti tidak makan tetapi boleh minum, berpuasa tapi mandi, atau tidak memperhatikan hari-hari puasa sama sekali. Namun pada 9 Av atau puasa Tisha B’Av seperti yang dikutip oleh tirto.id (Mengenal Kegembiraan dan Ratapan Ibadah Puasa Umat Yahudi), adalah puasa yang paling ketat, karena umat Yahudi saat sebelum matahari terbenam berkumpul di Sinagoga untuk membaca Kitab Ratapan dan dilaksanakan puasa untuk menahan diri dari kenikmatan duniawi (mandi, memakai pelembab memakai sepetu kulit, dan berhubungan sex). Tetapi ketika puasa ini jatuh pada hari “sabat” maka ijtihad-nya ialah ditangguhkan pada hari selainnya.

Kedua, umat kristiani dalam Al-Kitab dan tradisi Agamanya-pun mengisyaratkan hal yang berkaitan dengan puasa sebagai salah satu ritus keagamaan, baik dalam madzhab Katolik maupun Protestan. Namun untuk penentuan waktu pelaksanaannya diserahkan oleh penganutnya karena tidak ada aturan yang mengikat terkait pelaksanaan bagi setiap perseorangan. Sebab inilah puasa dalam ajaran Kristen bersifat sunnah (tradisi) keagamaan, karena puasa bagi penganutnya mengikuti keputusan oleh Gereja.

Seperti halnya Umat Kristen Katolik menurut Sismono dalam bukunya “Puasa pada Umat-Umat Dulu dan Sekarang”, bahwa ajaran Paulus (Paulunisme) dalam perjanjian baru juga Dogma dari Paus di Vatikan Roma ikut serta menentukan aturan-aturan puasa dalam ajaran Katolik yang akhirnya Gereja Katolik membuat perbedaan antara puasa dan pantanan. Pada awal tahun 1966 Paulus VI mengeluarkan fatwa-nya untuk penganut Katolik tentang puasa (berpantang) di hari-hari puasa yang terdiri dari semua hari dalam seminggu dari waktu puasa, hari Pentakosta (Pentecost), Ajaran Kesucian (Immaculate Conception), Hari Natal (Chrismas), dan hari-hari arang batu (Ember Days). Semua ini diputuskan menjadi 2 (dua) saja yaitu Rabu Abu (Ash-Wednesday) dan Jumat Agung (Good Friday). Untuk dua hal ini, berikut gambaran dan tujuannya:

1. Rabu Abu (Ash-Wednesday) dilaksanakan dan dimulai dari hari Rabu sampai Sabtu, lalu disambung dengan minggu pertama hingga minggu ke-empat sampai tengah malam pukul 24:00 malam Paskah. .

2. Jumat Agung (Good Friday) dilaksanakan secara khusus untuk hari sabat (sabtu) sehari sebelum Paskah atau Jumat sebelum Esther.

Pada puasa ini tidak boleh memakan daging (pantangan) melainkan sekali makan atau dua kali (dua suap) yang cukup untuk sekedar mempertahankan tubuh. Namun untuk untuk ketentuan tata laksana (teknis dan mekanisme) puasa pada umat Kristen Protestan sendiri tidak mengaju pada Ftawa Gereja Katolik Roma, melainkan langsung mengacu langsung dalam al-Kitab. Sehingga menurut Sismono (2010) bahwa tatacara pelaksanaan puasa umat kristen Protestan bersifat fleksibel dan diserahkan sepenuhnya kepada jemaat Gereja masing-masing.

Namun dalam Al-Kitab sendiri pembicaraan puasa dimuat dalam banyak letter, seperti:

3. Puasa Mutlak (tidak makan dan minum sama sekali) ini yaitu, Puasa Musa dituliskan dalam Keluaran 34:28, Puasa Esther dituliskan dalam Ester 4:16, Puasa Niwiwe dituliskan dalam Yunus 3:7, Puasa Yesus dituliskan dalam Matius 4:2 dan Lukas 4:1-2, Puasa Yohanes dituliskan dalam Matius 11: 18, Puasa Paulus dituliskan dalam Kisah Para Rasul 9:9.

4. Puasa Normal (tidak makan dan boleh minum waktu fleksibel) ini yaitu, Puasa Daud dituliskan dalam 2 Samuel 12: 16.

5. Puasa Tarak (berpantang) ini yaitu, Puasa Daniel yang dituliskan dalam Daniel 1: 12, 9: 3, dan 10: 2.

Waktu lamanya berpuasa dalam al-Kitab sangat bervariasi, sesuai konteks seperti apa dan siapa yang melaksanakannya. Namun untuk tujuan daripada berpuasa secara garis besar menurut Jentezen Franklin dalam bukunya berjudul “Puasa”, bagi ajaran Kristiani antara lain ialah untuk menjadi pribadi yang baik yang sesuai dengan Al-Kitab dalam kuasa puasa seperti dapat mendekatkan diri pada Tuhan (upawasa). Namun dalam al-Kitab bahwa berpuasa adalah bagian daripada kebenaran, maka siapapun yang berjuang untuk kebenaran akan mendatangkan kegahagiaan, seperti yang dituliskan dalam Matius 5: 6 TB:

“Berbahagialah orang yang lapar dan haus akan kebenaran, karena mereka akan dipuaskan”.

Ketiga Islam, yang agama ini berbeda dengan 2 (dua) agama seperti yang telah dijelaskan diatas, maka puasa Ramadhan (kalender hijiriyah/Islam) bagi umat Islam adalah bagian daripada rukun Islam. Artinya, Islam menjadikan puasa sebagai rukun (dasar keyakinan, tiang utama)  menjadi seorang muslim. Sehingga ketika anak seorang Muslim telah mencukupi syarat wajib sebagai orang berpuasa (berakal, baligh, dan mengetahui wajibnya berpuasa), maka syarat khususnya berpuasa harus dicukupi (sehat dan tidak dalam keadaan musafir) dan puasa menjadi keharusan yang mengikat (kewajiban) untuk dijalani.

Puasa yang akan dibahas terkait mengenai puasa wajib dibulan Ramadhan, karena puasa dalam Islam-pun sangat kompleks dan banyak puasa-puasa yang dilaksanakan diluar bulan Ramadhan. Meskipun diluar bulan itu puasa bersifat fleksibel dan situasional sesuai sunnah daripada Rasulullah Salallahu ‘alaihi Wassalam (tradisi keagamaan dan peristiwa-peristiwa penting lainnya).

Perintah kewajiban berpuasa di bulan Ramadhan diatur sangat detail, baik dari ketentuan dan proses tata laksana (teknis-mekanisme) dalam Al-Qur’an seperti Menahan diri dari makan, minum berhubungan seksual serta hal lain yang dapat membatalkan seperti menuruti hawa nafsu semata, banyak lagi Sabda Rasulullah Shalallahu ‘alaihi Wassalam memberikan keterangan hal-hal yang dilarang dan disunnahkan dalam berpuasa. Semua itu tidak lain ialah agar umat Islam bertakwa kepada Tuhan (upawasa).

Beberapa ayat Al-Quran menjelaskan tentang puasa, antara lain:

1. Perintah pelaksanaan wajibnya puasa dan agar umat Islam yang bertakwa pada Tuhan, dalam QS. Al-Baqarah 183-185.

2. Hal yang dilarang berpuasa (orang sakit dan orang yang dalam perjalan/musafir) dan dilaksanakan di hari lain sesuai jumlah yang ditinggalkan, dalam QS. Al-Baqarah: 184-185.

3. Bagi orang yang sakit dan berat melaksanakan puasa atas kondisi yang tidak memungkinkan dengan membayar fidyah dengan memberi kepada orang miskin, dalam QS. Al-Baqarah: 184.

4. Puasa untuk mencapai dan meningkatkan iman, bagian daripada perintah Tuhan, berpuasa adalah suatu bentuk mendekatkan diri pada Tuhan, dengan berpuasa secara tulus dan sempurna maka berdo’a kepada Tuhan-pun akan dikabulkan, Dengan berpuasa mereka berada dalam kebenaran, dalam QS. Al-Baqarah 186.  

5. Boleh melakukan hubungan suami-isteri di saat menjelang berbuka puasa (malam hari), Tuhan mengampuni dan memberi maaf orang yang berpuasa, dalam QS. Al-Baqarah: 187.

6. Puasa dari terbit Fajar hingga datangnya malam (terbenam matahari), QS. Al-Baqarah: 187.

Puasa bagi 3 (tiga) Agama yang disebut mempunyai bunyi yang senada, bahwa dengan berpuasa maka dapat meningkatkan kualitas spiritual manusia dan sekaligus sebagai wadah pensucian diri untuk mendekatkan diri pada Tuhan.

Meskipun secara teknis dan mekanisme dalam berpuasa berbeda-beda, apalagi ada beberapa tujuan lain berpuasa bagi kalangan Yahudi dan Kristiani ialah suatu bentuk duka-cita, namun bagi penulis itu merupakan sebuah tradisi yang di-anut dalam ajarannya. Karena dalam ajaran Islam sendiri tidak ada memuat mengenai puasa sebagai bentuk duka-cita, melainkan ada puasa sunnah (tradisi Islam/sunnah Rasul) menganjurkan puasa pada peristiwa-peristiwa tertentu, seperti: puasa Haji (sunnah puasa 1-7 Dzulhijjah dan puasa Arafah 9 Dzulhijjah), puasa Muharram (sunnah Asyura tanggal 10 Muharram), Puasa hari putih (puasa sunnah Ayyamul Bidh yang dilaksanakan pada tanggal 13,14,15 Hijriyah), dan lainnya.    

Demikian kiranya, dapat ditarik sebuah makna oleh penulis bahwa puasa ternyata berpangkal pada rohani yang melibatkan jasmani, demi mencapai titik klimaks spritualitas untuk mendekatkan diri pada Tuhan yang Maha Esa. Wallahu A’lam. []


Catatan: Tulisan ini telah terbit pada tanggal 9 Mei 2019. Tim Redaksi mengunggah ulang dengan melakukan penyuntingan dan penyelarasan bahasa.
__________________
Editor: Kholaf Al Muntadar