Post Truth di Dunia Seni

 
Post Truth di Dunia Seni

LADUNI.ID - Dalam dunia seni misalnya seni lukis ada penyederhanaan dlm berkarya, contoh seorang Leonardo Da Vinci dlm menciptakan sebuah karya Monalissa atau Perjamuan Malam butuh konsep, teori prinsip seni, unsur2 seni dan ilmu ukur yang sangat matang dan jlimet, dan memerlukan proses yang sangat panjang dgn nilai2 filosofi yang sangat tinggi, bandingkan dgn seniman sekarang mereka dlm berkarya bahkan lepas dari kaedah seni, filosofi seni, prinsip seni, maunya instan, cepat selesai, konsep belakangan, ada yang gayanya dgn melukis sembur,dgn mulut, dgn tubuh dst, bahkan tubuhnya sendiripun dikemas sedemikian rupa eksentrik, pokok gaya dulu supaya populer dimasyarakat dan diterima sebagai karya yang eksentrik.

Musik pun harus disederhanakan menjadi karya amat sederhana dan iringan musik menghentak-hentak, dengan lirik lagu yang juga harus sangat mudah dicerna tanpa nilai filosofis dan puitis yang dalam, contoh karya Mbah Surip, lagu''TAK GENDONG'' satu kalimat dilagukan atau dinyanyikan berulang-ulang dgn irama reggae yang pas, sederhana cepat dicerna oleh pancaindra, yang penting musik itu menghibur dan repetitif dalam menyampaikan pesannya, terus kalimatnya digoreng, dikemas secara filisofis yang tinggi.

Konyolnya lagi, di sini populisme harus diterapkan bukan hanya ke konsumen tapi juga ke produsen. dalam hal ini pelaku seni atau istilah kerennya "seniman". Padahal, seniman itu adalah suatu profesi dimana seseorang harus memiliki kualitas untuk itu, negara Cina atau Jepang untuk menentukan seniman yang layak dpt sertifikasi dan dpt honor dari pemerintah memerlukan proses yang panjang dan jelimet. Dalam populisme, semua orang punya hak dan berhak mengakui dirinya sebagai seniman, tanpa pengetahuan, pendidikan dan bakat untuk itu, yang penting macak eksentrik, sebagai pusat perhatian.

Seni harus digunakan untuk mengakomodasi semua orang sebagai pelaku dan penerima. Itu sebabnya Post-truth membawa dampak sangat negatif terhadap seni. Karya seni yang "tinggi" seperti puisi Chairil Anwar, musik bethoven,barok, tidak lagi dapat diterima, apalagi dicerna, oleh kaum "rakyat" yang memang harus diturunkan kelas intelektualitasnya oleh para politikus populis untuk bisa lebih mudah menerima post-truth. Berbagai istilah disederhanakan definisinya, contoh "komunis" berarti "tidak ber-Tuhan" contoh lagi penyebab gempa bumi adalah kaum LGBT. Isi kitab suci pun harus disederhanakan, dan ini berarti rentan untuk diplintir, orang yang tdk memegang ajaran sunah rosul dianggap bid'ah bahkan dikatakan kafir, kekuburan dikatakan syirik, sholawatan dikatakan bid'ah, ada lagi ustad dadakan karena ikut akademisi, mendadak ustad.

Pada akhirnya, fantasi dan realitas memang selalu tercampur dalam benak kita, seperti kata Einstein, "Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan". Sayangnya, pernyataan ini kini telah disalahgunakan dalam segala sendi kehidupan baik sosial, politik, agama dan apapun untuk menjual kebahagiaan yang penting puas, popularitas terangkat tdk memikirkan dampaknya dikemudian hari.

Oleh: Nonot Sukrasmono